RUMAH yang terletak di jalan Bima Sakti No 71 Jogjakarta itu kecil dan sempit. Ukuranya sekitar 5 x 7 meter. Tampak barang-barang elektronik bekas tumplek blek. Tak pelak, di ruang depan hanya tersisa tempat untuk penjual dan pembeli. Itupun sempit. Di depan toko ada spanduk usang yang bertuliskan: “Dibeli hidup/mati laptop, LCD Proyektor, CPU, Monitor, TV satuan dan borongan.”
Usaha jual-beli elektronik yang bernama Cumbo Computer ini tidak sepi pelanggan. Saat itu ada pelanggan yang sedang men-servise-kan Stick Play Station.
“Alhamdulillah, kami sudah punya mitra dan banyak pelanggan. Jadi, meski tempatnya agak sempit dan jauh dari pusat kota, tapi tempat ini sudah tidak asing lagi bagi orang yang hunting barang elektronik bekas,” ujar Pasaribu, pemilik Cumbo Computer di sela-sela kesibukannya kepada situs ini medio Juli lalu.
Bagi sebagian orang, bisnis seperti ini boleh dibilang kurang familiar. Kendati begitu, bukan berarti prospeknya suram. Buktinya dari usaha yang telah dilakoni lelaki kelahiran Sibolga, Sumatera Utara ini telah menghasilkan profit yang menggiurkan. Per bulan ia bisa mengantongi omset lebih dari Rp 100 juta. Lelaki yang berjenggot tipis dan memiliki dua titik hitam di keningnya karena bekas sujud itu juga bisa mempekerjakan sepuluh karyawan. Kini ia juga memiliki satu toko di daerah Bimokerto. Bahkan, beberapa bekas karyawanannya sekarang ada yang telah membuka usaha serupa dan terbilang sukses.
“Ya, meski untungnya tidak begitu banyak paling tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan bisa memberikan lapangan kerja untuk orang lain,” tutur lelaki murah senyum dan humoris ini.
Model usaha suami dari Sofia ini boleh dibilang sederhana: jual-beli barang. Hanya bermodal iklan di berbagai media lokal di Kota Budaya itu. Para pelanggan pun sudah tahu kemana mereka harus menjual barang bekas mereka atau men-servise-kan barang elektronik yang rusak. Namun, katanya, dari jumlah prosentase antara jual-beli dan servise, sekitar 20 persen hanya servise.
Tidak hanya itu, ia juga melayani jual beli mebel bekas. Bidikannya para mahasiswa yang ngekos atau ngontrak. Kendati simpel, namun tidak mudah melakoni bisnis yang satu ini. Pasalnya, yang namanya bisnis barang second yang terpenting adalah kepercayaan. Karena itu, ia begitu menjaga kepercayaan pelanggan.
“Trust pelanggan adalah aset berharga bagi usaha kami. Karena itu, hal tersebut harus benar-benar dijaga,” tuturnya.
Bersakit-sakit dahulu
Debut bisnis Pasaribu dilakoni saat ia masih mahasiswa di jurusan komputer di Kota Gudek itu. Ketika itu ia sempat pindah kampus hingga tujuh kali. Alasanya, katanya, untuk mencari teman sebanyak-banyaknya. Meski boleh dibilang orangtua cukup mampu, tapi ia tidak mau mengandalkan kiriman .
“Malu, masak sudah besar masih minta dikirim orangtua,” tuturnya.
Untuk memenuhi biaya hidup ia melakukan usaha apapun. Dari menjadi loper koran hingga tukang juru parkir di sebuah swalayan pernah dilakoninya hingga lebih setahun lamanya. Meski untungnya tidak seberapa. Salah seorang temanya yang tahu Pasaribu mahasiswa hanya bisa memuji: “Hebat, mahasiswa mau hidup mandiri sebagai tukang loper koran dan juru parkir.”
Hobinya di dunia komputer menginspirasinya untuk terjun bebas di dunia bisnis komputer. Awalnya ketika itu, teman kuliahnya menawarinya untuk membuka rental komputer yang kemudian disebut Ababil. Ada sekitar empat orang yang bergabung.
“Saat itu aku sebagai tehnisinya,” ujarnya.
Sayangnya, usahanya itu tak tahan lama. Para temanya bubar. Setali tiga uang dengan Pasaribu yang kemudian mendirikan usaha baru. Bisnis komputer masih menjadi bidikannya. Namun, kali ini ia mencari keberuntungan di bisnis jual-beli eleltronik bekas. Bisnis itu boleh dibilang nekad.
Pasalnya, waktu itu ia hanya memiliki uang Rp 300 ribu. Untuk menyewa ruko saja tidak cukup, apalagi untuk membeli komputer bekas. Pertolongan Allah selalu datang kepada orang yang mau berusaha. Pemilik rumah yang dikontraknya mau dicicil. Padahal, waktu itu biaya kontraknya sekitar Rp 3 juta setahun. Namun, ia bisa melunasinya tiga bulan kemudian.
Tempat berjualan sudah ada. Kini tinggal barangnya. Pasaribu tidak memiliki barang satupun yang hendak dijual. Otaknya terus diputar. Ia tidak mau menyerah begitu saja dengan keadaan yang tidak memihak kepadanya. Jurus tidak ada rotan akar pun jadi ia jalankan. Di etalase depan kontrakanya dipasang bok atau wadah komputer dan perlengkapanya: speaker, mouse, flashdisk dan sebagainya. Sayang, usahanya belum dilirik orang. Tak ada yang tertarik datang dan membelinya.
Ia lalu membuat leaflet yang berisi: Jual-beli komputer. Selebaran iklan itu ia sebar dan tempel di tempat umum. Selama semalam ia menyebarnya dan hanya berjalan kaki. “Berangkat selepas isya hingga dini hari,” ujarnya. Usahanya itu berhasil. Beberapa hari kemudian ada orang yang kepepet karena hendak ikut sebuah Multi Level Marketing (MLM) lalu menjual seperangkat komputer seharga Rp 800 ribu. Cukup murah. Dua bulan kemudian ada orang yang membelinya seharga Rp 1500.000.
“Itu kesan paling indah di awal masa-masa sulit,” ujarnya sambil mengenang.
Uang sebesar itu ia gunakan untuk membeli perlengkapan komputer. Namun, tentunya masih sangat sedikit. Ia masih menyiasatinya dengan memasang bungkus bekas di etalase. Dan ketika itu dua orang yang bertugas menjaga tokonya.
“Jadi, kalau ada orang beli dan tidak ada maka saya yang mengambilkan di toko lain sedangkan yang satunya mengajaknya ngobrol agar tidak pergi,” tuturnya.
Pasaribu telah menyediakan sepeda onthel. Setiap kali ada pembelian dan harus mengambil barang di tempat lain ia segera mengayuh sepedanya. Padahal tempatnya cukup jauh.
“Badan saya hingga basah keringat. Padahal, untungnya masih sedikit karena ngambil barang di tempat lain,” ungkapnya.
Karena tiap kali ada pembeli Pasaribu harus goes sepeda dan mencari barang, lambat-laun para pembeli akhirnya tahu. Untung saja, mereka tidak pergi ke toko lain dan tetap sabar menunggu. “Mungkin karena kasihan atau memang sudah nyaman,” selorohnya.
“Jimat” dari seorang ustadz
Tak ada gading yang tak retak. Sekuat-kuatnya semangat bisnis Pasaribu ternyata pernah kandas juga. Bisnis yang hanya bermodalkan wadah kardus komputer tak kunjung menuai hasil. Di saat badai putus asa itu menghantamnya ia pergi kepada seorang ustadz yang biasa mengisi ceramah di sebuah masjid. Sang ustadz tersebut ternyata memberinya “jimat” untuk kesuksesan usahanya.
“Kalau mau sukses berbisnis harus disertai ibadah yang kuat kepada Allah. Kerja keras saja tidak cukup,” tutur Pasaribu menirukan petuah sang ustadz.
Jimat itu adalah shalat dhuha, shalat tahajud, dan sedekah. Sejak itu, ia pun mengamalkan wejangan itu setiap hari. Ia juga diajarkan sang ustadz agar tidak sungkan meminta rezeki sebanyak-banyaknya dari Allah. Allah maha kayak dan akan sanggup memberikan rezeki seberapapun hamba memintanya.
“Sejak itu pula, saya berdoa minta rezeki yang banyak tapi barakah,” ucapnya.
Nasihat sang ustadz manjur. Perlahan tapi pasti, usahanya Pasaribu terus melonjak. Banyak orang yang beli dagangannya hingga akhirnya ia bisa membeli banyak komputer bekas berikut aksesorisnya. Meski lonjakan keuntungan tidak begitu signifikan, tapi palig tidak bisa memutar roda usahanya dan mempekerjakan beberapa karyawan. Ia memiliki prinsip: “Bisnis itu perlu kerja keras dan ibadah. Sekeras-kerasnya kerja tapi kalau ibadah kering maka sulir roda bisnis untuk berputar. Kerja keras itu rodanya sedangkan ibadah olinya.”
Meski usahanya telah berbuah manis, tapi bukan tipe habis manis sepah dibuang. Petuah sang ustadz masih dijalankan, hanya terkadang shalat tahajud yang masih bolong-bolong.
“Agak susah istikomah tahajud. Tapi saya berusaha menuaikannya setiap malam.” Namun, untuk sedekah, ia mengaku masih rutin. Bahkan, kini makin bertingkat.
“Kalau sedekah sih banyak tempatnya. Yang tetap di Baitul Maal Hidayatullah, beberapa Yayasan Panti Asuhan, dan yang lainnya,” ujarnya. Uniknya, dalam bersedekah ia mengkhususkan untuk beberapa hal. Ada yang untuk sedekah khusus tahfidz al Quran, wakaf gedung, dan lain sebagainya.*