Fenome Feminisme?
Fenomena gadis cabe-cabean muncul sejak tiga tahun belakangan ini. Selain ada istilah cabe-cabean, fenomena yang bisa menggambarkan dari revolusi kenakalan remaja adalah bisyar (Habis dipakai dibayar, red), groupies dan sebagainya.
Cabe-cabean identik dengan dunia balap motor liar. Di arena balapan liar, mereka berkeliaran sebagai barang taruhan para joki. Sementara istilah groupie lekat di dunia musik. Ia adalah para ABG yang mencari keintiman dengan para musisi, penyanyi atau selebriti lainnya. Kata groupie mengacu pada kata “group” (kelompok/grup musik).
Mereka tidak hanya menjual diri untuk zina, mereka bahkan tidak segan untuk tidur gratis dengan lelaki yang disukai mereka tanpa bayaran.
Sekjend Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA) Rita Hendrawaty Soebagio mengatakan, tersentak dan kaget. Ia tak menyangka bahwa gaya hidup seperti ini sudah benar-benar berada di Indonesia.
Menurutnya, fenoma lahirnya generasi Bella dan Lisa tak lepas dari paham feminisme dan permisivisme.
“Pemikiran perempuan bahwa ini tubuh gue dan gue berhak mau ngapain dengan tubuh gue adalah salah satu doktrin feminis,” jelasnya pada hidayatullah.com belum lama ini.
“Ini fenomena baru yang harus disadari masyarakat, feminisme sudah masuk tanpa disadari ke tingkat akar rumput masyarakat,” jelas peneliti the Center for Gender Studies (CGS) ini.
Sementara anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ledia Hanifa menjelaskan bahwa perilaku seperti ini jelas tidak hadir karena masalah ekonomi semata tapi rusaknya cara berpikir generasi muda.
“Masyarakat sudah mulai harus diajak berpikir dua arah,” jelas Ledia kepada Selasa (28/01/2014).
“Memikirkan aturan Undang-undangnya itu baik tapi sosialisas agama dan norma ketimuran ke masyarakat jangan ditinggal,” jelasnya.
Saat ini menurut Ledia, sudah ada aturan mengenai perzinahan. Hanya Undang-undang soal perzinahan ini hanya berlaku bagi mereka yang sudah berkeluarga namun berselingkuh.
“Ini momentum umat untuk memperjuangkan aturan dimana seks diluar nikah juga perlu ada penindakan hukum,” tambah Ledia.
Sementara Fahira Idris, Ketua Umum Gerakan Nasional Anti Minuman Keras (GeNAM) yang baru saja memperjuangkan penutupan rumah prostitusi di lingkungannya juga mengaku prihatin dengan adanya informasi seperti ini.
“Prostitusi seperti sesuatu hal yang biasa bahkan dianggap mata pencarian, ini hal serius yang harus dipikirkan oleh masyarakat kita,” jelasnya kepada hidayatullah.com, minggu lalu.
Rita Soebagyo sendiri berpendapat sudah saat sosialisasi feminisme gencar ke masyarakat akar rumput. Mengingat impelementasi gagasan feminisme justru lebih rentan di masyarakat awam. Lebih berbahaya lagi menurut Rita, seseorang menjalankan ide-ide feminisme ternyata tidak perlu menunggu paham apa itu feminisme.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
“Kita perlu melawan RUU Kesetaraan Gender sebagai untuk menunjukkan bahwa umat Islam tidak diam, tapi kita jangan lengah dengan pembinaan internal pribadi dan keluarga kita untuk paham ancaman feminis bisa dijalankan siapa saja tanpa perlu paham apa itu feminisme terlebih dahulu,” jelas aktivis INSISTS ini.
Bagi Rita, Fenomena pergeseran budaya tidak hanya mengancam pada tataran pemikiran. Dalam implementasinya penyimpangan seksual yang terjadi di sebagian kecil masyarakat merupakan hal yang patut di waspadai. Lesbian, Homoseksual (Gay), Biseks (suka pada laki-laki dan perempuan) hingga transgender (Waria/bencong) merupakan gaya hidup yang mulai dipertontonkan secara terbuka.
Gaya hidup rusak itu, menurutnya, awalnya diselipkan dalam tontonan hingga benar-benar menjadi gaya hidup yang diperjuangkan.*