Hidayatullah.com | SOSOK ulama, sastrawan, dan negarawan yang satu ini namanya terus dikenang hingga sekarang. Karya-karya fenomenalnya seperti novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck hingga Tafsir al-Azhar masih dicari-cari banyak orang. Sebagian karya dan kisah perjalanan hidupnya bisa ditemui di sebuah museum di kampung kelahirannya. Itulah Buya Haji Abdul Malik Karim Amarullah (HAMKA).
Beberapa waktu lalu wartawan Suara Hidayatullah, Sirajuddin Muslim, berkunjung ke museum itu, dalam rangkaian safari jurnalisitik ke Sumatera Barat. Berikut ini catatan perjalanannya. Pemandangan Danau Maninjau yang indah seakan menggerus rasa lelah. Perjalanan menuju ke Museum Buya HAMKA memang bisa meletihkan dan menyebabkan mabuk perjalanan.
Sebelum tiba di Nagari Sungai Batang –lokasi museum itu– saya harus melewati Kelok Ampek Puluh Ampek. Ini adalah tikungan tajam yang berjumlah 44 dari arah Bukittingi menuju Agam.
Bis kecil yang saya tumpangi berhenti di sebuah persimpangan jalan di tepian Danau Maninjau. Jika terus lanjut, arah ke kanan menuju Lubuk Basung, ibukota Kabupaten Agam, sedangkan kiri menuju museum.
Saya kemudian naik ojek, supaya lebih leluasa mengamati kampung halaman Buya HAMKA. Jarak dari persimpangan menuju ke museum kurang lebih 7 kilometer dengan jalur yang berkelok-kelok pula. Pemandangan di kiri kanan yang menghijau sungguh menawan.
Tibalah saya di lokasi museum yang juga rumah mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu. Tepatnya di Nagari Sungai Batang, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.
Danau Maninjau yang indah itu, konon menurut cerita para tetua setempat, dibentuk oleh letusan Gunung Api Sitinjau sekitar 700 tahun silam. Dulu gunung itu berada di tengah-tengah danau, namun kini tak tampak lagi karena telah meletus dan membentuk kawah besar. Kawah itulah yang kini menjadi danau.
Yang unik, air di danau itu seringkali berubah warna. Kadang berwarna putih susu, hitam, kuning, dan biru. Seringkali penduduk sekitar mencium aroma belerang yang dibawa angin dari danau.
Bangunan-bangunan rumah penduduk di tepian danau masih mempertahankan arsitektur rumah lama layaknya zaman Belanda. Rumah-rumah itu tampak unik dan khas. Pintunya lebar dan tinggi, ada ukiran-ukiran dinding yang indah, berlantai dua, ada yang beton ada pula yang terbuat dari kayu. Semuanya masih tampak kokoh meski telah dimakan usia.
Koleksi Buya HAMKA
Museum Buya HAMKA berada di ketinggian sekitar lima meter dari posisi jalan raya. Posisi ini menghadirkan pemandangan indah yang langsung menghadap ke arah barat atau Danau Maninjau. Dengan arsitektur Rumah Gadang yang khas Minangkabau, membuatnya makin sedap dipandang mata.
Ada tulisan besar “Museum Rumah Kelahiran Buya HAMKA”. Letaknya di tebing, berhiaskan tatanan bebatuan. Alhasil, bangunan rumah tersebut terlihat menyatu dengan keindahan alam di sekitar danau.
Museum ini mulai dibangun pada tahun 2000 dan diresmikan tahun 2001 oleh Gubernur Sumatera Barat waktu itu, Zainal Bakar. Sesuai dengan namanya, museum ini mengkhususkan diri pada koleksi benda-benda peninggalan Buya HAMKA. Bangunannya pun merupakan rumah yang ditempati ulama legendaris ini sejak lahir hingga sebelum pindah ke Padang Panjang.
Saya tiba di museum pukul 10 pagi. Museum ini mulai dibuka pukul 08.00 hingga 15.00 waktu setempat. Namun biasanya akan tetap dibuka untuk sementara waktu ketika ada pengunjung yang melewati batas waktu.
Ketika itu ada belasan orang yang berkunjung. Namun kebanyakan mereka bukan orang Indonesia. Ada yang dari Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam.
Di dalam museum itu terdapat banyak barang bersejarah. Mulai dari pakaian, buku-buku koleksi kesukaan Buya HAMKA semasa hidupnya, furniture, karya-karyanya, dan foto-foto. Ada koleksi foto-foto Buya HAMKA bersama Presiden Soekarno, Bung Hatta, dan tokoh-tokoh penting nasional lainnya.
Koleksi tersebut juga menggambarkan masa kanak-kanak Buya HAMKA. Sebagaimana anak-anak lain yang hidup di sekitar danau, beliau sewaktu kecil senang sekali menangkap ikan. Alat penangkap ikan serta jaring yang sering digunakannya masih tersimpan rapi hingga kini.
Foto-fotonya terbilang lengkap dan bisa menggambarkan perjalanan hidup ulama bersahaja ini. Sejak masa kanak-kanak, remaja, pemuda, dewasa, hingga foto lautan manusia yang mengantar jenazahnya ketika wafat pada tahun 1981.
Terpajang pula foto yang menggambarkan kedekatan Buya HAMKA ketika masih remaja dengan Mohammad Natsir. Tokoh yang satu ini pernah menjadi Perdana Menteri Indonesia dan Ketua Partai Masyumi. Dia kelahiran Alahan Panjang, Solok.
Di ruang tamu museum, terdapat sebuah meja tempat pengunjung mengisi buku tamu. Di sebelah ruang tamu, tersusun lima rak buku berkaca tempat menyimpan buku-buku koleksi museum yang jumlahnya sekitar 200 judul. Namun dari sekitar 118 judul karya Buya HAMKA, yang tersimpan di museum ini hanya 28 judul.
Sedangkan di kamar, terdapat tempat tidur dengan kain kelambu berwarna putih. Itulah tempat tidur Buya HAMKA dulu.
Ada sebuah ruang khusus yang dilengkapi kursi-kursi peninggalan orang tua Buya HAMKA, lampu gantung antik, sebuah koper ketika ia pertama kali berangkat haji, 8 buah tongkat, dan baju wisuda lengkap dengan toganya. Ketika itu ia dikukuhkan menjadi Doktor Honoris Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia dan Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir.
Sebagian besar benda-benda peninggalan tersebut merupakan sumbangan dari berbagai pihak. Terutama dari keluarga besar Buya HAMKA sendiri, juga ada dari Universitas Kebangsaan Malaysia.
Ada sebuah buku yang menarik perhatian saya, terselip di antara buku-buku koleksi museum. Judulnya Kenang-kenangan Hidup. Buku ini menggambarkan kecintaan HAMKA kepada kampung kelahiran, ditulis pada tahun 1940-an.
Salah satu isi buku itu adalah sebuah puisi berikut ini:
Kota Melaka tinggallah sayang
Beta nak balik ke Pulau Perca
Walau terpisah engkau sekarang
Lambat laun kembali pula
Walau luas watan terbentang
Danau Maninjau terkenang jua.*