Hidayatullah.com | SALAH satu platform media sosial yang paling terkenal di jagat raya internet, Facebook, telah melakukan rebranding untuk memberi sinyal dan merangkul ide-ide futuristik dengan mengangkat istilah metaverse.
Gambaran sederhana yang diungkapkan oleh Facebook tentang metaverse adalah sebuah seperangkat ruang virtual, tempat seseorang dapat membuat dan menjelajah dengan pengguna internet lainnya yang tidak berada pada ruang fisik yang sama dengan orang tersebut dengan menggunakan headset realitas virtual, kacamata augmented reality, aplikasi smartphone dan atau perangkat lainnya. (Jakarta, CNBC Indonesia, desember 2021).
Selintas, gagasan Facebook tentang metaverse sangat fantastik dan sangat futuristik. Dengan satu gambaran sederhana bahwa pada akhirnya manusia akan bisa saling terhubung satu sama lain tanpa sekat ruang dan waktu. Melakukan interaksi bersama mulai dari ekonomi, sosial, budaya dan lain sebagainya.
Sehingga banyak perusahaan besar yang pada akhirnya tertarik untuk berinvestasi mengembangkan teknologi metaverse untuk menopang dan mengembangkan misi perusahaannya. Tak terkecuali, di Indonesia, juga mulai melirik bisnis virtual di dunia digital bernama metaverse ini. Hingga PT Angkasa Pura II dan Telkom University Gelar Rapat Virtual di Metaverse pada 4 Februari 2022.
Interaksi didunia metaverse lebih mudah dilakukan, tinggal klik, transaksi dan segala urusan selesai. Hingga dalam waktu sekejap dapat mengantarkan berjuta keuntungan dan dalam waktu sekejap pula dapat menimbulkan kerugian.
Hal yang menjadi bagian resiko terbesar dalam bisnis di dunia virtual. Pada akhirnya, hal tersebut membangkitkan rasa penasaran yang berujung pada aksi kepesertaan diri dalam meramaikan dunia virtual bernama metaverse.
Namun sayang, dunia metaverse pada akhirnya hanya menyentuh sebagian besar kaum elit berduit saja. Dan faktanya perputaran kekayaan dunia pun, hanya berputar diantara mereka saja, para elit berduit.
Sedangkan kaum papa tidak bisa merasakan langsung manfaat dari dunia metaverse ini, sebab tidak bisa masuk kedalam komunitas metaverse yang butuh modal besar untuk masuk menjadi bagian komunitasnya. Minimal modal untuk membeli kuota internet.
Kaum papa menjadi kaum termarjinalkan, dan akan tersingkir secara sistematis dalam kehidupan. Sebab keberadaannya tidak pernah dianggap dan tidak pernah masuk hitungan komunitas dunia metaverse
Alhasil teknologi digital bernama metaverse, hanya akan bisa dinikmati oleh kaum elit berduit dan menjadi ajang gengsi bisnis virtual mereka, dan tidak banyak menyumbangkan kebaikan bagi khalayak ramai di dunia nyata.
Metaverse hanya akan menciptakan banyak manusia hidup dialam halusinasi. Kaki berpijak dibumi, namun kepala dan pikiran entah berada dimana, terkungkung dalam dunia maya.
Selain itu, metaverse juga hanya akan menciptakan manusia-manusia yang kecanduan dalam berinteraksi didunia maya, bermain game online tak kenal waktu, yang berpotensi merusak mata, otak dan akal manusia sebab masif terpapar radiasi.
Inilah kenyataan pahit dunia metaverse saat ini, saat ada dalam gengganan kapitalisme. Metaverse digunakan sebagai gengsi kaum elit berduit dan belum mampu memberikan manfaat untuk seluruh umat manusia tanpa kecuali.
Pertanyaanya, apakah penggunaan teknologi tersebut betul-betul akan digunakan sebagai sarana mengedukasi manusia dengan kebenaran, kebaikan dan keselamatan. Dan apakah betul-betul akan digunakan sebagai fasilitas untuk memudahkan aktivitas menyeru kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar?
Sebab dunia metaverse memungkinkan orang untuk saling bertemu dan melakukan interaksi sosial diantaranya melakukan berbagai macam pengalaman bersama dan transaksi elektronik. Kita tidak bisa menahan laju perkembangan teknologi virtual digital yang begitu masif.
Namun kita harus memanfaatkan keberadaan teknologi tersebut dalam kebaikan. Sehingga teknologi tersebut dapat menjadi teknologi tepat guna dan berdaya guna bagi kehidupan real/nyata di masyarakat.
Dengan adanya kecanggihan dunia maya ciptaan manusia yang bernama metaverse, saat dimanfaatkan untuk menyebarkan kebaikan, maka interaksi manusia tidak hanya terfokus dan mencukupkan diri di dunia maya saja, namun akan terdorong untuk merealisasikannya di dunia nyata, dengan mengimplementasikan pengalaman menarik penuh kebaikan didunia maya, menjadi nyata di dunia nyata.
Metaverse seharusnya mendorong manusia berlomba-lomba di dunia nyata untuk saling memberikan manfaat dan menularkan kebaikan sebanyak mungkin, bukan menularkan keburukan dan saling memanfaatkan dalam keburukan.
Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” (HR. Ahmad, ath-Thabrani dan ad-Daruqutni ). Wallahualam.*/Ayu Mela Yulianti, SPt, pemerhati kebijakan publik