SATU penelitian baru ini yang diterbitkan dalam American Journal of Psychiatry, telah menemukan hubungan antara pelecehan anak dan pengurangan materi abu-abu di otak yang bertanggung jawab untuk pengolahan informasi.
Pelecehan anak, yang terkait dengan perlakuan tidak semestinya pada anak, berbentuk semua bentuk kekerasan fisik dan emosional, seperti pelecehan seksual, penelantaran, kelalaian, dan setiap eksploitasi lainnya merugikan kesehatan, pengembangan, martabat, atau kelangsungan hidup anak di bawah usia 18 tahun.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, di seluruh dunia sekitar 20% wanita dan 5-10% pria melaporkan telah mengalami pelecehan seksual saat semasa anak-anak, sementara 23% orang melaporkan pelecehan fisik selama masa kanak-kanak.
Penelitian sebelumnya telah mengungkapkan, kekerasan terhadap anak dapat menyebabkan perubahan dalam struktur otak. Tapi tim yang terlibat dalam studi terbaru ini, termasuk Joaquim Radua, seorang peneliti di FIDMAG Sisters Hospitallers Foundation for Research and Teaching di Spanyol, mengatakan studi neuroimaging yang menyelidiki sejauh mana perubahan ini (struktur otak) menunjukkan “tidak konsisten.”
Dengan alasan ini, para peneliti berupaya melihat seberapa banyak penganiayaan pada anak mempengaruhi struktur otak.
Temuan menunjukkan ‘konsekuensi serius dari pelecehan anak pada perkembangan otak’.
Tim ini menganalisa data dari 12 penelitian yang digunakan berbasis voxel morfometri (VBM) –metode neurorimaging yang menilai perbedaan anatomi otak antara dua kelompok individu.
Studi, seperti dilaporkan Medical News Today (22/6/2014), melibatkan 56 anak-anak atau remaja, dan 275 dewasa dengan riwayat pelecehan pada masa kanak-kanak, serta 56 anak-anak dan 306 orang dewasa yang tidak mengalami pelecehan anak.
Menggunakan meta-analisis teknik neuroimaging 3D yang dibuat oleh Radua — disebut “penandaan diferensial pemetaan”– tim mampu menentukan volume materi abu-abu di setiap individu.
Mereka menemukan, orang yang mengalami pelecehan anak memiliki volume jauh lebih kecil dari materi abu-abu di daerah otak tertentu, dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki riwayat pelecehan anak.
Secara rinci, mereka yang memiliki riwayat pelecehan anak mengalami pengurangan materi abu-abu di kanan orbitofrontal /superior temporal gyrus mereka, amygdala, parahippocampal, gyri temporal tengah, dan inferior frontal kiri dan gyri pos pusat.
Tim mencatat bahwa penurunan yang paling konsisten dari volume materi abu-abu di antara mereka yang terkena pelecehan anak berada di prefrontal ventrolateral dan daerah limbik- temporal –daerah yang terkait dengan kontrol kognitif.
Daerah otak ini berkembang relatif terlambat setelah anak mengalami pelecehan.Tim mengatakan, hal ini yang mungkin menyebabkan mengapa beberapa korban pelecehan anak biasanya memiliki kontrol kognitif yang lemah.
Selain itu, tim peneliti menemukan bahwa pengurangan materi abu-abu di bagian kanan orbitofrontal-temporal-limbik dan wilayah inferior frontal kiri bagi mereka yang memiliki riwayat pelecehan anak, akan tetap dalam kondisi semacam itu jika tidak dilakukan pengobatan. “Jadi kelainan-kelainan semacam ini berhubungan untuk penganiayaan/pelecehan anak,” kata Radua.
“Temuan ini menunjukkan konsekuensi serius dari kondisi masa kanak-kanak yang merugikan pada perkembangan otak,” katanya lebih lanjut.
“Kami berharap hasil penelitian ini akan membantu mengurangi risiko kondisi masa kanak-kanak, dengan mengembangkan pengobatan guna menstabilkan perubahan morfologis ini.”
Pada 2012 Medical News Today melaporkan pernyataan dari American Academy of Pediatrics, bahwa kekerasan mental pada anak-anak bisa sama merusak seperti kekerasan fisik.*