Menurut Imam al-Ghazali hendaklah hati usai berbuka berada diantara khauf dan rajā’. Inilah pandangan Imam Al-Ghazli dan keistimewaan puasa
Oleh: Qosim Nurseha Dzulhadi
Hidayatullah.com | IMAM Abū Hāmid al-Ghazali (w. 505 H/1111 M) merupakan seorang ulama kenamaan. Luas dikenal sebagai ‘Hujjatu’l-Islām (Argumen Islam) karena kedalaman ilmunya dan pengaruhnya yang luas, bahkan sampai ke Indonesia.
Diantara karyanya yang dikenal luas di Indonesia adalah: Ihyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, Kitāb al-Arba‘īn fī Ushūl ad-Dīn, al-Mustashfā min ‘Ilm al-Ishūl, al-Mankhūl, Fayshal at-Tafriqah, Mukāsyafat al-Qulūb, al-Maqshid al-Asnā, Jawāhir al-Qur’ān, al-Iqtishād fi al-I‘tiqād, dan banyak lagi.
Beliau dikenal sebagai seorang ulama yang “ensiklopedik”. Dikenal luas sebagai Mutakallim, sufi, filsuf, faqīh, dan ushūlī. Dalam Fikih mazhabnya adalah Syāfi‘ī. Karyanya dalam Fikih bukan hanya satu, yaitu: al-Wajīz, al-Wasīth, dan al-Basīth.
Disamping beliau memiliki karya dalam bidang Ushūl al-Fiqh, yaitu: al-Mankhūl dan al-Mustashfā. Benar-benar seorang Faqīh dan Ushūlī sejati. Sehingga karyanya al-Mustashfā diringkas oleh Imam Ibn Rusyd al-Qurtubī (penulis buku Tahāfut at-Tahāfut) dalam karyanya yang bertajuk ad-Dharūrī fī Ushūl al-Fiqh.
Sebagai seorang faqīh tentu Imam al-Ghazali membicarakan hukum-hukum fikih, utamanya yang berkaitan dengan Rukun Islam. Tentang puasa, misalnya, beliau mengulasnya secara rinci.
Mulai dari melihat Hilal, rukun, syarat, sunnah-sunnah dalam puasa, bahkan I‘tikāf. (Lihat, Imam al-Ghazali, al-Wajīz fī Fiqh al-Imām as-Syāfi‘ī, ed. ‘Alī Mu‘awwadh dan ‘Ādil ‘Abd al-Maujūd (Beirut-Lebanon: Syarikah Dār al-Arqam ibn Abī al-Arqam, 1418/1997): (1/236-246).
Mengenai puasa dalam kaca-mata fikih, pandangan Imam al-Ghazali tidak berbeda dengan para fuqaha’. Apalagi dalam Mazhab Syafi’i. Karena beliau berada di mazhab itu.
Namun ketika puasa ditinjau dari sisi tasawuf, pandangan Imam al-Ghazali amat menarik. Pandangannya begitu mendalam, menakjubkan, dan sangat memukau.
Dalam karya besarnya, Ihyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, Imam al-Ghazali menyebutkan bahwa puasa dinisbatkan kepada Allah (berdasarkan Hadits Qudsi فالصوم لي وأنا أجزي به) karena dua hal penting: Pertama, karena puasa itu hakikatnya adalah ‘menahan’ dan ‘meninggalkan’.
Dan puasa itu sendiri adalah ibadah rahasia karena di dalamnya tidak ada amal yang dapat dilihat. Padahal seluruh amal ketaatan dapat dipandang orang. Sementara puasa hanya dilihat oleh Allah.
Dan kedua, puasa adalah mengalahkan musuh Allah. Karena media (tunggangan) setan adalah syahwat. Dan syahwat menjadi kuat karena makan dan minum. (Imam al-Ghazali, Ihyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, ed. Shidqī Muhammad Jamīl al-‘Atthār (Beirut-Lebanon: Dār al-Fikr, 1429/2008): (1/293).
Kecuali itu, Imam al-Ghazali juga menyatakan bahwa puasa itu memiliki tiga derajat: shaum al-‘umūm (puasa orang kebanyakan), shaum al-khushūsh (puasa orang istimewa), dan shaum khushūsh al-khushūsh (puasa orang super istimewa).
puasa pada derajat pertama hanya sebatas menahan perut dan kemaluan dalam memenuhi syahwat. Pada derajat kedua adalah: menahan pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kaki dan seluruh anggota tubuh dari perbuatan dosa.
Sedangkan puasa pada derajat ketiga adalah: puasa hati dari keinginan rendah dan pemikiran duniawi dan menahan hati dari selain Allah ‘Azza wa Jalla secara total.
puasa pada derajat ketiga itu dapat batal dengan hanya memikirkan selain Allah ‘Azza wa Jalla dan Hari Akhirat. Berpikir dalam masalah dunia yang diperkenankan adalah yang menopang Akhirat. Karena berpikir semacam ini merupakan bekal untuk Akhirat, bukan semata-mata dunia. (Imam al-Ghazali, Ihyā’ ‘Ulūm ad-Dīn (1/296).
puasa pada derajat pertama pelakunya merasa puas hanya pada nama, puasa. Dan puasa yang sempurna ada pada derajat ketiga.
Dan, sebagai penyempurna puasa, hendaklah yang berpuasa berbuka dengan makanan yang halal dan tidak berbuka dengan yang syubhat. Dan tidak berlebihan mengkonsumsi makanan dan minuman yang halal. Jika demikian, sama halnya dia makan secara double karena menyatukan makan dan minumnya yang tertunda (karena puasa).
Akibatnya, lambung menjadi lemah dan syahwatnya kembali menguat, rahasia dan faedah puasa akhirnya gugur dan menjadikannya malas Tahajjud. Bisa jadi malah ia tidak bisa bangun sebelum Subuh. Ini semua adalah kerugian karena mungkin manfaat puasa malah tidak menyapanya. (Lihat, Imam al-Ghazali, Kitāb al-Arba‘īn fī Ushūl ad-Dīn (Beirut-Lebanon: Dār al-Minhāj, 1439/2017), 112-113).
Puasa istimewa (khusus) adalah puasa orang-orang shaleh, yaitu: menahan seluruh anggota tubuh dari berbuat dosa dan dilakukan dengan enam hal:
(1) Menjaga pandangan dan menahannya dari melihat hal-hal yang tercela dan dibenci dan menghindarkannya dari hal-hal yang memalingkan hati dari zikir kepada Allah;
(2) Menjaga lisan dari kata-kata tak bernilai, dusta, ghibah, namimah (adu-domba), kata-kata keji, permusuhan, dan debat-kusir. Karena seyogyanya lisan hanya fokus untuk diam dan sibuk zikir dan membaca Al-Qur’an. Inilah puasa lisan;
(3) Menahan pendengaran dari mendengarkan setiap yang makruh (dibenci). Karena setiap yang haram dikatakan haram pula didengarkan;
(4) Menahan anggota tubuh yang lain (tangan dan kaki) dari hal-hal yang dibenci (tak disukai); menahan perut dari hal yang syubhat ketika berbuka. Karena tidak ada artinya puasa, yaitu menahan diri dari makanan yang haram, tetapi berbuka dengan yang haram;
(5) Tidak berlebihan dalam mengkonsumsi makanan yang halal ketika berbuka. sehingga perutnya penuh. Padahal, tidak ada satu tempat yang lebih dibenci oleh Allah dari perut yang penuh dengan benda yang halal; dan
(6) Hendaklah hati usai berbuka berada diantara khauf (rasa takut) dan rajā’ (penuh harap). Karena orang yang berpuasa tidak tahu apakah puasanya diterima sehingga dia tergolong kepada hamba-hamba Allah yang didekatkan kepada-Nya (min al-muqarrabīn) atau ditolak sehingga termasuk pada golongan tercela (min al-mamqūtīn). (Imam al-Ghazali, Ihyā’ _‘Ulūm ad-Dīn (1/297-298).
Apa yang disampaikan oleh Imam al-Ghazali tersebut sangat dalam dan sarat makna. Karena beliau membongkar rahasia keistimewaan puasa jika kita mau dan sanggup melakoninya.
Sehingga puasa kita tidak sia-sia karena selama ini mungkin hanya puasa sebatas nama. Derajatnya masih di level pertama: hanya tidak makan-minum dan tidak kontak biologis (bagi yang sudah menikah).
Padahal seluruh anggota tubuh harus “dipuasakan”. Bahkan, hati pun harus puasa. Sehingga ia tidak berpikir kecuali tentang Allah dan kampung akhirat.
Semoga puasa kita semakin naik derajatnya. Beranjak ke derajat kedua, bahkan semoga bisa sampai ke derajat ketiga; puasa super khusus atau super istimewa. Wallāhu a‘lam bis-shawāb.[]
Penulis alumni PKU Gontor