Hidayatullah.com– Ini kisah saya lainnya sebagai penerjemah salah seorang imam Palestina dalam program SIRAMAN MANIS 1437 H. Saya ditugaskan Sahabat Al-Aqsha mendampingi Syeikh Nezar Abdel Raouf Al-Sheyab.
Setelah 10 hari kami di Timika, Papua, dengan kisah menarik tentangnya, sampailah kami di Batam, Kepulauan Riau. Saya sendiri memang menetap di Kota Industri ini. [Baca: Cerita Syeikh Nezar yang Terjebak Perang Antar Suku di Timika]
Dengan segala hiruk pikuk masyarakat Batam, merupakan tantangan tersendiri bagi para dai dalam berdakwah di sini.
Sesampainya di Bandara Hang Nadim, Batam, kami langsung disambut hangat oleh Umar Said, Ketua BMH Batam. Ia ditemani seorang ustadz sekaligus sopir yang begitu sigap membantu mengangkat barang-barang Syeikh Nezar. Kami pun segera menuju tempat istirahat.
Jujur, saya cukup was-was dengan kondisi Syeikh. Di balik wajah gantengnya, terlihat jelas mata sayup, wajah letih, serta senyumannya yang seakan berkata “izinkan saya istirahat”.
Tentunya hal ini dimaklumi. Perjalanan kami dari Timika menghabiskan waktu 12 jam dalam perut burung besi, transit di Bali dan Jakarta. Namun hal ini tidak sedikit pun melemahkan semangat kami dalam mengemban amanah.
Di Batam, kami serasa seperti baru keluar dari pintu waktu. Dari Papua yang penuh hutan belantara, “tiba-tiba” sekarang di hadapan kami sebuah kota metropolitan.
Pada road show di sini, terasa begitu antusias dan ramainya masyarakat Batam menghadiri kegiatan dakwah Nezar. Termasuk menginginkan shalat bersama sang syeikh. Dengan sedih hati kami terpaksa tidak bisa melayani semua permintaan. [Baca juga: Sahabat al Aqsha Hadirkan 12 Imam Palestina ke Indonesia]
Mendadak Dibatalkan
Namun, dakwah memang tidak selalu manis. Beberapa waktu lalu, di salah satu masjid besar di Batam, jadwal Syeikh Nezar menjadi imam isya, tarawih, dilanjutkan dengan ceramah agama.
Tiba-tiba, di tengah acara, saat jamaah mau shalat isya, saya didatangi beberapa orang pengurus masjid. Mereka menyatakan membatalkan seluruh acara syeikh yang sudah disepakati.
Hal ini disebabkan adanya kegiatan Safari Ramadhan salah satu pejabat di kota tersebut. Malam itu kami benar-benar menjadi penonton. Mungkin karena sibuk, ketua pengurus masjid tak sempat menyapa ketika tiba di masjid. Kami mencoba memahami situasi.
Di sisi lain, saya merasa ingin pulang saja dari masjid. Tapi demi kemaslahatan dakwah, kami mencoba bertahan dan mengikuti acara sampai selesai. Usai itu, kami langsung izin pulang ke panitia.
Kami anggap ini sebuah pembelajaran untuk selalu bersiap menghadapi kondisi apa pun dalam dunia dakwah. Yang pasti, hanya kepada Allah Subhanahu Wata’ala kami serahkan semua ini.* N Nurman Abuhilyah