Bahagia itu bukan saat kita bisa memiliki segalanya, melainkan saat kita bisa memberi dan berbagi apa yang kita miliki pada orang lain
Hidayatullah.com | SEORANG sahabat Rasulullah ﷺ pada suatu ketika mendapatkan hadiah sebuah kepala kambing yang telah dimasak. Dia merasa bahwa tetangganya yang bernama Fulan beserta keluarganya lebih membutuhkan kepala itu dibandingkan dirinya.
Padahal sebenarnya dirinya sendiri juga miskin. Kemudian kepala itu dia kirimkan ke rumah Fulan, tetangganya itu.
Perasaan bahwa tetangganya dinilai lebih membutuhkan ternyata juga dirasakan oleh Fulan yang menerima kepala kambing tersebut. Orang lain yang menerimapun juga punya perasaan yang sama.
Sehingga kepala kambing tersebut berpindah tangan hingga tujuh kali dari rumah ke rumah. Akhirnya kepala itu kembali kepada sahabat yang pertama kali menerimanya. Subhanallah.
* * *
Beberapa sahabat Rasulullah ﷺ menderita luka hebat saat Perang Yarmuk. Semua hampir mendekati ajal. Semua merasakan rasa haus yang luar biasa.
Dalam kondisi semacam itu, ada satu sahabat yang membawa air minum dalam sebuah kantung kecil. Saat salah satunya diberi kantung air itu, sambil menunjuk ke arah temannya dia berkata, “Berikan saja kepada dia!”
Kantung air tersebut lantas diberikan kepada orang yang dimaksud. Ternyata dia juga mengatakan hal yang sama. Sambil menunjuk ke teman yang lain, ia berkata “Berikan saja kepada dia!”
Demikian terjadi berulang kali, sehingga semua sahabat yang terluka itu wafat, tanpa ada satupun yang meminum air.
* * *
Suatu saat Rasulullah ﷺ kedatangan seorang tamu. Diajaklah tamu tersebut ke rumah salah seorang istri beliau agar bisa dijamu selayaknya.
Namun istri Rasulullah ﷺ mengatakan, “Kami hanya memiliki air putih.”
Rasulullah ﷺ kemudian berkata kepada para sahabatnya, “Barangsiapa yang memuliakan tamuku ini, dia akan mendapatkan surga.”
Seorang laki-laki tanpa pikir panjang dengan tegas menjawab, “Saya.”
Diajaklah tamu Rasulallah itu ke rumah. Sesampainya di rumah dia berkata kepada istrinya, “Muliakanlah tamu Rasulullah ﷺ!”
“Kita tidak punya makanan kecuali makanan untuk anak kita.”
“Siapkan makanan itu, pura-puralah meperbaiki lentera dan tidurkanlah anak-anak kita!”
Pada saat malam tiba, tamu Rasulullah ﷺ itu diajak ke meja makan. Setelah makanan dihidangkan, istri sahabat itu mendekati lentera, berpura-pura memperbaikinya, kemudian memadamkannya.
Itu semua dilakukan agar tamu itu merasa nyaman memakan hidangan itu sendirian. Karena makanan yang tersisa hanya untuk porsi satu orang.
Tamu itu menikmati makanan itu sendiri. Dalam kegelapan, dia merasa tuan rumah juga ikut makan.
Saat keesokan harinya sahabat itu menghadap Rasulullah ﷺ, dia disambut dengan senyuman.
Rasulullah ﷺ berkata, “Allah ridha dengan yang kalian lakukan berdua tadi malam.” Kemudian turunlah Surat Al Hasyr ayat 9 yang isinya memuji sikap para sahabat Rasulullah ﷺ tersebut.
وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ
“Mereka mendahulukan orang lain atas diri mereka, meskipun mereka sendiri dalam keadaan kekurangan.”
Kisah ini layak kembali kita renungkan, di tengah gelombang sikap egoisme dan mementingkan diri sendiri mulai mempengaruhi masyarakat kita. Bahagia itu bukan saat kita bisa memiliki segalanya, melainkan saat kita bisa memberi apa yang kita miliki untuk orang lain.*