SIAPAPUN kita pasti bisa merasakan –setidaknya melihat perilaku generasi muda sekarang—yang banyak banyak meniru-niru (menjiplak) gaya hidup artis Barat, Korea, Jepang, dan negara-negara lainnya. Jika anak-anak mereka sibuk bangga dengan artis dan bintang Korea, tak sedikit pula dengan ibunya yang juga ikut mewarnai rambutnya dengan warna rambut artis kesukaan mereka juga dengan pakaian yang tidak semestinya.
Meminjam istilah bapak sosiologi dunia, Ibn Khaldun dalam karya monumentalnya, “Muqaddimah”, umat Islam di Indonesia, saat ini, sebagian besar terjangkiti virus inferiorisme.
Yaitu virus tidak percaya diri dengan dirinya, agamanya, dan selalu melihat apa yang ada di luar dirinya, bahkan di luar agamanya sebagai yang lebih baik.
Maka tidak heran jika anak-anak muda kita sangat bangga dengan model rambutnya yang seperti artis Korea, bangga kursus musik, gitar, main drum namun tak bangga dan tak malu jika tidak bisa mengaji. Mereka juga bangga dengan artis-artis luar negeri, menjadikannya idola dalam hidup. Foto para artis tersimpan di lemari dan kamar-kamar mereka, di sisi lain, ia justru tidak sahabat Nabi, para ulama salaf serta tokoh-tokoh pejuang Islam.
Tentu ada banyak faktor, mengapa terjadi fenomena seperti ini. Tetapi faktor paling penting dari segala faktor adalah tidak adanya pengetahuan dalam diri mayoritas setiap Muslim untuk mendalami ajaran agamanya, sehingga semua tindak-tanduknya tak pernah didasari oleh al-Quran dan As Sunnah.
Karenanya, bukan hal aneh jika anak-anak remaja mereka hari ini begitu paham dan mengenal secara detil artis-artis Korea atau nama-nama dan profil pemain sepak bola legendaris dunia. Namun sayang, mereka tidak sanggup menghapal nama-nama tokoh pejuang agama mereka yang telah ikut menghantarkan agama ini menjadi menyebar luas di seluruh dunia hingga Indonesia.
Jika anak-anak remaja Muslim itu sangat mengenal dengan baik nama, hobi serta latar-belakangan semua artis asing, lantas mengapa mereka tidak begitu mengenal dengan dekat sosok dan pribadi Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam, empat Sahabat Utama beliau; Abu Bakar Ash Shidiq, Umar ibnu Khatab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib?
Padahal, perkara siapa meniru siapa bukanlah perkara remeh. Tidak mungkin seorang Muslim yang baik akan mengidolakan artis yang tidak jelas akhlaknya. Oleh karena itu, kewajiban kita semua sebagai Muslim hari untuk ikut andil dalam urusan ini.
Meneladani Para Sahabat
Suatu hari, seorang kafir Quraisy bertanya kepada Abu Bakar, “Wahai Abu Bakar, bagaimana pendapatmu tentang Muhammad yang pergi ke Masjidil Aqsha lalu ke langit dalam semalam. Apakah itu rasional?”
“Jika yang mengatakan itu adalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam, sahabat tercintaku, lebih dari itu pun saya percaya,” jawab Abu Bakar dengan tegas.
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam sendiri pernah bersabda tentang Abu Bakar ini. “Allah mengutusku kepada kalian kemudian kalian mengatakan: ‘Engkau (Muhammad) dusta’, namun Abu Bakar berkata: ‘Ia (Muhammad) benar’. Ia telah melindungiku dengan diri dan hartanya. Bisakah kalian membiarkan Sahabatku ini bersamaku?’ (Maksudnya tidak melukai hatinya).
Abu Bakar juga terkenal dengan kemauan kuatnya untuk meneladani segala amal sholeh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam. Dua hari setelah wafatnya Nabi akhir zaman itu, Abu Bakar menemui Aisyah guna menanyakan ada tidak amalan Nabi yang belum diamalkan oleh dirinya.
Aisyah menjawab, “Semua amalan Nabi telah engkau ikuti, kecuali menyuapi nenek Yahudi yang buta yang berada di sudut kota Madinah ini”. Mendengar jawaban istri Rasulullah itu pun, Abu Bakar bergegas melakukan amalan Nabi yang belum dilakukannya.
Kesetiaan dan totalitas Abu Bakar dalam iman dan takwanya, menjadikannya sebagai manusia yang dijamin dipanggil masuk dari seluruh pintu surga.
Kala itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam bersabda bahwa siapa yang gemar mengerjakan sholat akan dipanggil daripintu shalat. Siapa yang banyak berjihad akan dipanggil dari pintu jihad. Lalu, siapa yang gemar sedekah akan dipanggil dari pintu sedekah. Dan, siapa yang gemar puasa (sunnah) akan dipanggil dari pintu Rayyan.
Kemudian Abu Bakar berkata: “Tidak terlalu mengherankan jika orang-orang itu dipanggil dari masing-masing pintu tersebut. Apakah ada orang yang dipanggil dari semua pintu itu, wahai Rasulullah?” Nabi kemudian menjawab: ‘Ya, ada, dan aku berharap engkau termasuk di antara mereka, hai Abu Bakar.” (HR. Bukhari Muslim).
Adalah Mundzir Al As’ad dalam kitabnya “Baraa’atush Shahabah Minan Nifaq” mengetengah kan perkataan Syeikh Muhammad Abu Syuhbah menjelaskan definisi para ulama dan ahli hadits tentang sahabat.
Para Sahabat adalah orang yang bertemu dengan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam di dalam keadaan mukmin dan meninggal di dalam keimanan. Sedang mereka yang murtad dan meninggal di atas kemurtadan batal sebutannya sebagai sahabat.
Menurut para jumhur, Sahabat Nabi adalah mereka yang lebih lama bersahabat dengan Nabi, mendengar dari Nabi, berperang bersama Nabi (berkurban dengan jiwa dan hartanya untuk membela Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam), mereka lebih berhak untuk dimuliakan dan didahulukan dari pada yang lain.
Allah Subhannahu wa Ta’ala telah menginformasikan kepada kita bahwa sahabat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam memiliki sifat dan kedudukan yang mulia, di antaranya: termasuk ummat Islam yang adil dan pilihan (QS. 2:143); sebagai ummat terbaik (QS. 3:110); memiliki karakter berkasih-sayang terhadap orang beriman dan keras terhadap orang kafir, ruku’ dan sujud hanya mencari karunia dan keridhaan Allah Ta’ala. Dan hal ini digambarkan pula di dalam kitab-kitab sebelum Al Qur’an (Qs. 48:29); Mereka termasuk orang-orang yang telah mendapat jaminan diampuni kesalahan-nya oleh Allah Ta’ala (Qs. 9:117); Mereka adalah orang-orang yang telah mendapat predikat ridwanullah ‘alaihim ajma’in/ telah diridhai oleh Allah Ta’ala (Qs. 9:100/ 48:18-19).
Dan merekalah orang-orang yang akan masuk Surga lebih dahulu dan di antara mereka ada 10 orang yang dijamin sebagai ahli surga.
وَالسَّابِقُونَ السَّابِقُونَ
فِي جَنَّاتِ النَّعِيمِ
ثُلَّةٌ مِّنَ الْأَوَّلِينَ
وَقَلِيلٌ مِّنَ الْآخِرِينَ
“Dan orang-orang yang beriman paling dahulu. Mereka itulah yang didekatkan kepada Allah. Berada dalam jannah keni’matan. Segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu, dan segolongan kecil dari orang-orang yang kemudian.” [QS: al Waqi’ah [56]:10-14)
Dan masih banyak ayat yang menggambarkan tentang sifat dan kedudukan Sahabat yang seharusnya menjadi contoh dan tauladan anak-anak kita.
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam pun telah bersabda tentang kedudukan para sahabat, yang artinya: ”Sebaik-baik manusia adalah pada abadku, kemudian abad sesudah-nya kemudian abad sesudah itu.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, At-Tirmidzi, dll).
Sebagai penutup, marikah kita ajarkan pada anak-anak kita tentang bagaimana seharusnya berislam dalam kehidupan ini. Bentengi mereka dari berbagai virus “budaya asing” yang justru menjauhkan mereka dari kecintaan pada agamanya sendiri dengan membaca Al-Qur’an, Hadits, Shirah, sampai biografi sahabat-sahabat Nabi.
Rasulullah n bersabda:
من تشبه بقوم فهو منه
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk kaum itu.” (HR. Abu Daud, Ahmad dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Irwaul Gholil 5/109.)
Yang paling dikhawatirkan Nabi: “Sesungguhnya kalian akan mengikuti jalan-jalan orang sebelum kalian sedikit demi sedikit sampai seandainya mereka masuk kelubang biawak kalian juga akan mengikuti mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits lain Rasulullah mengatakan;
يُبْعَثُ كُلُّ عَبْدٍ عَلَى مَا مَاتَ عَلَيْهِ
“Setiap hamba akan dibangkitkan sesuai dengan keadaannya ketika meninggal.” (HR. Muslim no. 2878).
Nah, relakan Anda jika anak-anak kita yang kita rawat semenjak bayi, justru dibangkitkan di aherat bersama orang yang mereka cintai dan mereka idolakan seperti; Adele, Lady Gaga atau artis Gangnam Style, Jae-sang? Jika itu yang terjadi, Andalah yang akan dimintai pertanggungjawaban di aherat kelak, bukan yang lain.*/Imam Nawawi