BERBAGAI tindak kriminal, kini kian marak terjadi di negeri ini. Perampokan, pemerkosaan, bahkan perdagangan manusia pun sudah bukan rahasia lagi. Di penghujung tahun 2012 sebuah situs niaga di Indonesia dilaporkan telah mengiklankan perdagangan manusia berupa penjualan bayi berumur 18 bulan dengan harga Rp. 10 juta.
Pada sisi lain, penemuan bayi di negeri ini kian sering terjadi. Diduga kuat, motif pelaku membuang bayinya itu karena alasan zina, sehingga malu. Tetapi tidak sedikit yang membuang (menggugurkan atau menjual) bayinya karena alasan ekonomi. Bahkan ada di antaranya yang nekad menenggak racun bersama anak-anaknya, karena takut miskin.
Memang benar, di zaman ini, tekanan hidup dan kesulitan mencari nafkah demi penghidupan keluarga terjadi dimana-mana. Tidak saja di Indonesia, tetapi juga di Spanyol, Belanda, Portugis, Yunani bahkan Amerika. Artinya, masalah kesulitan hidup adalah masalah seluruh manusia di dunia.
Akan tetapi, bagaimanapun, Islam tidak mengajarkan umatnya bertindak bodoh. Sesulit apapun situasi yang dialami, harus dihadapi dengan penuh optimisme dan usaha nyata. Tidak boleh berputus asa. Karena putus asa terhadap rahmat Allah itu merupakan sifat tercela. Dan, tidak dimiliki kecuali oleh orang-orang yang kafir. Sebagaimana peringatan Allah kepada Nabi Yusus Alaihissalam.
يَا بَنِيَّ اذْهَبُواْ فَتَحَسَّسُواْ مِن يُوسُفَ وَأَخِيهِ وَلاَ تَيْأَسُواْ مِن رَّوْحِ اللّهِ إِنَّهُ لاَ يَيْأَسُ مِن رَّوْحِ اللّهِ إِلاَّ الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ
“Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (QS: Yusuf [12]: 87).
Setiap Jiwa Ada Rizkinya
Di zaman jahiliyah membunuh anak adalah hal lumrah. Sebab utamanya karena para orang tua di zaman itu, merasa tidak mampu memberi nafkah untuk anak-anaknya. Islam, sangat melarang tindakan biadab ini.
Suatu ketika, Abdullah bin Mas’ud menemui Rasulullah, lalu bertanya. “Ya Rasulullah, apakah dosa yang paling besar? Beliau menjawab, “Engkau menjadikan sekutu bagi Allah, padahal Dia yang telah menciptakanmu.”
“Kemudian apa lagi?” “Engkau membunuh anakmu karena takut ia akan makan bersamamu”. “Lalu apa lagi?” “Engkau berzina dengan istri tetanggamu” (HR. Bukhari Muslim).
Kemudian Allah Subhanahu Wata’ala telah menjabarkan secara gamblang di dalam al-Qur’an.
وَلاَ تَقْتُلُواْ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rizki kepadamu dan kepada mereka.” (QS: al-An’am [6]: 151).
Dalam ayat yang lain Allah juga tegaskan;
وَلاَ تَقْتُلُواْ أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاقٍ نَّحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُم إنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْءاً كَبِيراً
”Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rizki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” (QS: al-Israa’ [17]: 31).
Ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah sangat sayang kepada hamba-hamba-Nya, lebih dari kasih sayang orang tua kepada anaknya, karena Allah melarang umat manusia membunuh anak-anak mereka, demikian penjelasan Ibn Katsir dalam tafsirnya.
Jadi, seorang Muslim tidak boleh takut miskin, meski sesulit apapun beban ekonomi yang sedang dihadapinya. Malahan, situasi buruk itu harus disikapi secara tepat, sehingga dapat menjadikan iman dan takwa kita meningkat, kemudian kita mampu terus bersabar dan ikhtiar. Karena pada hakikatnya, setiap jiwa telah Allah jamin rizkinya secara utuh dan menyeluruh.
Makna Rizki
Anggapan bahwa rizki semata harta dan benda tidak lain hanyalah pandangan orang-orang kafir yang hidup bergelimang dalam kejahiliyahan, kekafiran, dan kebiadaban.
Rizki dalam Islam, bukan semata harta dan benda. Apalagi, yang semata-mata karena hasil usaha (kerja) manusia. Rizki dalam Islam melingkupi semua apa yang ada dalam kehidupan manusia. Berupa waktu, kesehatan, kesempatan, kecerdasan, istri, anak, orang tua, tetangga, teman, lingkungan, hujan, tanaman, hewan piaraan dan masih banyak sekali yang lainnya.
Itulah mengapa Allah mengingatkan manusia bahwa nikmat (rizki) Allah terhadap manusia sungguh tidak akan pernah bisa dihitung. Sebab, Allah telah menyediakan untuk umat manusia apa saja yang manusia perlukan pada segala situasi dan kondisi.
وَآتَاكُم مِّن كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ وَإِن تَعُدُّواْ نِعْمَتَ اللّهِ لاَ تُحْصُوهَا إِنَّ الإِنسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ
“Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS: Ibrahim [14]: 34).
Allah memang memberikan rizki kepada semua makhluk-Nya, tetapi tidak semua mendapatkan rizki yang mulia dari-Nya. Lantas, siapa sajakah mereka itu?
“Maka orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, bagi mereka ampunan dan rizki yang mulia” (QS. 22 : 50).
Terhadap ayat tersebut, Ibn Katsir mengutip pernyataan Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi. “Apabila engkau mendengar firman Allah Ta’ala (wa rizqun karim) ‘Dan rizki yang mulia,’ maka rizki yang mulia itu adalah surga.
Dengan demikian, maka sebaik-baik rizki adalah surga. Jadi, dalam kehidupan dunia ini kita harus mengutamakan dua perkara penting, yakni iman dan amal sholeh. Karena hanya keduanyalah yang dapat mengantarkan setiap jiwa mendapatkan rizki yang mulia.
Sangat tidak patut bahkan sangat tercela bila ada seorang Muslim merasa terhina hanya karena kurang harta. Apalagi kalau sampai berani mengambil keputusan tidak benar dalam hidupnya karena alasan kemiskinan. Sebab, rizki yang paling mulia adalah surga, bukan harta atau benda.
Itulah mengapa, para Nabi dan Rasul tidak pernah berbangga dengan harta dan benda. Bahkan para Nabi dan Rasul itu lebih memilih hidup susah demi rizki yang mulia di sisi-Nya. Namun demikian, Islam tidak mengharamkan umatnya kaya raya. Karena kekayaan yang disertai iman juga bisa mengantarkan seseorang pada derajat yang mulia di sisi-Nya.
Tawakkal
Jika demikian, maka mengapa dalam kehidupan masih ada kaya dan miskin? Itu tidak lain adalah ketetapan-Nya yang harus kita terima dengan lapang dada.
وَاللّهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْرِّزْقِ فَمَا الَّذِينَ فُضِّلُواْ بِرَآدِّي رِزْقِهِمْ عَلَى مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَهُمْ فِيهِ سَوَاء أَفَبِنِعْمَةِ اللّهِ يَجْحَدُونَ
“Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rizki” (QS. An-Nahl [16]: 71).
Terkait hal ini Imam Ghazali dalam kitab terakhirnya ‘Minhajul Abidin’ menegaskan bahwa setiap Muslim hendaknya memahami dengan baik bahwa rizki manusia itu telah dibagikan oleh Allah sebelum kita dilahirkan.
Dan, apa yang dibagikan-Nya itu tidak dapat diganti dan tidak pula berubah. Apabila seorang Muslim menolak pembagian tersebut dan berharap agar diubah, maka berarti ia telah mendekati kekufuran.
Lebih lanjut, Imam Ghazali mengatakan, “Sesungguhnya apa yang ditakdirkan sebagai makanan yang engkau kunyah, maka tidak akan dikunyah oleh orang lain. Maka, makanlah bagian rizkimu itu dengan mulia, jangan engkau memakannya dengan hina”.
Artinya, Allah telah menetapkan rizki kita. Selanjutnya kita menjalankan tugas kita sebagai hamba yaitu berikhtiar, berusaha menjemput rizki tersebut. Soal sedikit atau banyak, terima saja dengan lapang dada. Sebab itu adalah bagian dari ketetapan-Nya.
Dengan demikian, maka sudah seharusnya kita semua bertawakkal kepada Allah SWT. Bekerja secara jujur, disiplin, penuh dedikasi sebagai wujud ketawakkalan kita kepada Allah. Karena tawakkal itu adalah indikasi keimanan paling nyata. “Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman” (QS. 5 : 23).
Berarti, sangat tidak pantas seorang Muslim hidup dalam kebimbangan, kebingungan, apalagi kegelisahan dan keputusasaan dalam soal rizki. Karena setiap makhluk Allah pasti ada rizkinya. Maka, jangan bertindak curang atau berlaku menyimpang, karena kecurangan atau penyimpangan itu adalah bentuk kekufuran yang berakibat pada kesengsaraan dan kebinasaan.*/Imam Nawawi