SIAPA tidak bisa menggunakan waktu untuk peningkatan mutu dirinya (baca iman takwa) maka ia tidak akan pernah mampu merasakan nikmat dan bahagia dari melakukan apapun yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan.
Sederhana saja, ambil contoh perihal shalat Subuh misalnya. Jika diri ini biasa melakukan shalat Subuh dengan bangun 30 menit sebelum adzan, atau bahkan lebih awal, misalnya pukul 03.00, maka mendirikan shalat Subuh akan menghadirkan rasa dan pengalaman yang berbeda. Dibanding dengan yang ketika adzan, baru bangun, lantas buru-buru wudhu dan nyaris semua dilakukan dengan kurang tenang.
Dalam Fastabiqul Khairat berarti semua mesti direncanakan, disiapkan dan diazamkan bahkan didoakan, agar Allah memudahkan terwujudnya segala macam rencana positif yang diniatkan.
Ketika seorang Muslim memiliki mental Fastabiqul Khairat maka hidupnya akan diwarnai dengan keteraturan dan optiisme karena setiap mengamalkan kebaikan diawali dengan perencanaan dan kesungguhan. Atau sekiranya ada agenda penting yang diluar rencana dan itu positif menurut Allah dan Rasul-Nya, maka hal itu pun akan disegerakan.
Berkaca pada Abu Bakar
Abdurrahman bin Abu Bakar radhiyallahu anhu pernah bercerita kepada kami, “Paa suatu ketika saat Rasulullah usai melaksanakan shalat Subuh, tiba-tiba beliau mengarahkan pandangannya ke arah para sahabatnya seraya mengatakan, “Adakah di antara kalian yang hari ini ia berpuasa?”
Umar bin Khaththab menjawab, “Wahai Rasulullah, aku tidak berniat untuk puasa pada hari ini, sehingga di pagi ini aku tidak berpuasa.”
Lalu Abu Bakar berkata, “Aku berpuasa wahai Rasulullah, sebab sejak semalam aku telah berniat puasa, sehingga di pagi ini aku pun berpuasa.”
Rasulullah pun melanjutkan, “Adakah salah satu dari kalian yang hari ini menjenguk orang sakit?”
Umar mnenjawab, “Wahai Rasulullah, usai menjalankan shalat tentunya kami masih berada di sini…. Lantas bagaimana kami bisa menjenguk orang sakit?”
Abu Bakar berkata, “Telah sampai kabar kepadaku bahwa saudaraku Abdurrahman bin Auf sedang sakit, sehingga dalam perjalanannku ke arah masjid ini aku telah menyempatkan diri menjenguknya.”
Rasulullah masih melanjutkan pertanyaannya, “Adakah salah satu dari kalian yang hari ini bershadaqah?”
Umar menjawab, “Wahai Rasulullah, usa menjalankan shalat tentunya kami masih berada di sini.”
Abu Bakar menjawab, “Saat aku memasuki masjid aku melihat seorang pengmis sedang meiminta-minta, ketika itu aku mendapati sepeotorong roti di tangan Abdurrahman (salah seorang putranya), lalu aku pun meminta untuk bisa diberikan kepada pengemis itu.”
Setelah itu, Rasulullah pun bersabda, “Bergembiralah engkau (wahai Abu Bakar) dengan surga.”
Sedangkan kepada Umar Rasulullah bersabda, “Semoga Allah menyayangi Umar, semoga Allah menyayangi Umar, sebab segala kebaikan yang diinginkannya telah didahului seluruhnya oleh Abu Bakar.” (HR. Thabrani).
Manivestasi Fastabiqul Khairat
Fastabiqul Khairat itu adalah suatu konsep yang menghendaki segenap umat Islam segera melakukan aksi kebaikan untuk mendapat ridha-Nya. Jika ada yang lain juga melakukan, maka berusahalah untuk melakukan dengan kualtias terbaik (Ahsanu Amala) dan terus-menerus. Dalam Islam dikenal istilah Adwamuha wa in qalla (terus-menerus alias ajeg meski sedikit).
Secara operasional, tentu Fastabiqul Khairat butuh yang namanya perencanaan atau mudahnya adalah pelaksanaan dari konsep Planning, Organizing, Actuating and Controlling (POAC), sehingga waktu tidak ada yang terbuang percuma, energi tersalurkan pada peningkatan mutu diri secara keseluruhan. Dan, selamat dari bisik-bisik setan yang merugikan. Itulah beberapa keuntungan dari fastabiqul Khairat.
Pertama, tidak ada waktu yang terbuang percuma
Mari perhatikan bagaimana Sayyidina Abu Bakar selepas Subuh sudah mengerjakan semua amalan yang Rasul tanyakan. Artinya, Abu Bakar paling siap. Mulai dari meniatkan puasa, medengar sahabat yang sakit serta bersegera menjenguknya, hingga memberi sedekah kepada orang miskin. Tentu, Sayyidina Abu Bakar radhiyallahu anhu akan lebih antusias dalam mengerjakan kebaikan-kebaikan lainnya selepas Subuh.
Membiasakan diri ber-Fastabiqul Khairat akan menyelamatkan diri kita pada kesia-siaan waktu. Bahkan seseorang akan mengetahui posisi dirinya dengan senantiasa ber- Fastabiqul Khairat, sehingga tidak ada waktu terbuang, karena semua dihadapi dengan perencanaan dengan sebaikl-baiknya.
Kedua, energi tersalurkan pada peningkatan mutu diri secara keseluruhan. Fastabiqul Khairat akan menyelamatkan hdiup kita pada penyalahgunaan energi, semua terarah pada amalan-amalan yang Allah ridhai.
Sebagai contoh, ketika diri sendiri ingin membiasakan diri membaca Al-Qur’an dengan memahami terjemah dan maknanya, lantas merencanakan waktu sekitar 3 jam dalam 24 jam untuk mengamalkan hal tersebut, maka 3 jam itu akan memberikan dampak kecerdasan intelektual dan spiritual sekaligus. Pada saat yang sama perilaku hidup atau akhlak diri akan semakin baik, seiring dengan peningkatan ilmu yang diperoleh dari konsistensi membaca Al-Qur’an selama 3 jam dalam setiap 24 jam.
Ketika Fastabiqul Khairat menjadi karakter, maka insya Allah apa yang Buya Hamka tulis dalam bukunya “Pribadi Hebat” akan juga kita raih. Sebab dengan Fastabiqul Khairat akan hadir rasa cinta dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan yang baik yang Allah ridhai.
Buya Hamka menulis, “Keinginan dan kecintaan kepada pekerjaan meimbulkan beberapa kemajuan:
1. Menambah tinggi mutu pekerjaan
2. Menggiatkan dan memajukan yang mengakibatkan tumbuhnya kegembiraan
3. Mendorong kita agar lebih kuat melaksanakan sehingga menimbulkan inspirasi untuk menerobos segala pagar kesulitan.
Ketiga, selamat dari bisik-bisik setan yang merugikan. Pada dasarnya manusia diciptakan dengan fitrah bekerja. Ketika akal, hati dan motorik manusia tidak bekerja melakukan kebaikan yang Allah ridhai, maka semua komponen penting dalam jiwa-raga manusia itu tetap akan bekerja. Tetapi, boleh jadi menyimpang dari yang seharusnya.
Mengapa banyak orang bisa berkomentar tetapi tidak bisa menciptakan dan membuktikan sesuatu? Karena hidupnya tidak diatur dan dirinya tidak ingin ber- Fastabiqul Khairat. Mengapa banyak orang ngomongnya negatif dan nyaris waktunya habis untuk mengoreksi orang lain, karena dia tidak mau ber- Fastabiqul Khairat.
Demikianlah pentingnya Fastabiqul Khairat itu, maka mari kita mulai dalam diri untuk mengamalkannya, karena begitu banyak manfaat penting yang amat kita butuhkan ketika Fastabiqul Khairat itu menjadi bagian dari kehidupan kita semua. Wallahu a’lam.*