“Kelihatannya membawa kemajuan hidup, hakikatnya membuat kerusakan dunia,” demikian kalimat setelah judul “Jalan Kematian Sebuah Peradaban” dalam buku karya Adian Husaini yang berjudul Wajah Peradaban Barat.
Demikianlah hakikat peradaban Barat. Memang benar Barat mendatangkan teknologi dan memberikan banyak kemudahan dalam kehidupan, tetapi pada saat yang sama, penyakit, problem kehidupan juga semakin rumit seiring dengan kecanggihan yang tercipta.
Adian menulis, “Berbagai kemajuan teknologi telah dicapai, dan dalam banyak hal di zaman-zaman belakang ini Barat banyak diikuti bangsa-bangsa lain di dunia. Tragisnya, Barat sendiri sekaligus menciptakan mekanisme dan mesin penghancur untuk dirinya sendiri. Barat telah menciptakan begitu banyak jalan untuk bunuh diri, jalan kematian bagi umat manusia” (Wajah Peradaban Barat halaman 107).
Fritjof Capra termasuk sosok yang dengan tegas menyatakan bahwa hari ini manusia menemukan diri mereka berada dalam suatu krisis global yang serius, yaitu suatu krisis kompleks dan multidimensional yang segi-seginya menyentuh setiap aspek kehidupan kesehatan dan mata pencaharian, kualitas lingkungan dan hubungan sosial, ekonomi, teknologi, dan politik. Yang krisis itu meliputi dimensi-dimensi intelektual, moral, dan spiritual; suatu krisis yang belum pernah terjadi sebelumnyaa dalam catatan sejarah umat manusia.
Pendapat dua pemikir di atas rasanya cukup menjadi bukti bahwa Barat sebagai peradaban mesti kita terima secara kritis, bukan ditelan mentah-mentah. Dalam skala paling kecil saja, lingkup keluarga jelas peradaban Barat tidak bisa dijadikan rujukan untuk membangun bangsa dan negara kita.
Di Barat, wanita yang dianggap telah dewasa akan diberikan kebebasan untuk melakukan apa saja sesuka hati. Tetapi, di bangsa ini yang memegang teguh adat ketimuran yang sejalan dengan ajaran Islam, tidak akan pernah melepas wanita yang ada dalam keluarganya, sebelum menikah.
Komitmen seperti itu hanya akan tetap terjaga manakala keluarga-keluarga di Indonesia memegang erat pendidikan adab di dalam rumah sejak anak-anak masih kecil, belia, remaja hingga dewasa. Negeri ini pun akan selamat dari kehancuran akibat agenda asing dengan proksi yang mereka miliki untuk terus mengadu domba negeri ini melalui pengaruh media yang massif dan sistematis.
Untuk itu, keluarga Muslim di Indonesia mesti memiliki pandangan hidup (worldview) Islam agar terhindar dari pengalihan isu yang dibombardir media yang pro terhadap lunturnya nilai-nilai kebangsaan, ke-Tuhan-an, dan ketimuran. Di antaranya dengan kembali konsentrasi, fokus dan komitmen memenuhi hak pendidikan adab anak di dalam rumah.
Pendidikan adab akan menjadikan anak-anak kita tumbuh dewasa dengan kepribadian cerdas penuh akhlak. Mereka tidak akan berpikir rancu apalagi menimbulkan masalah dan kericuhan di tengah-tengah masyarakat. Hal ini karena pendidikan adab menjadikan anak-anak kita mengenal bagaimana beradab (bersopansantun) terhadap Allah, Rasulullah, orang tua, guru, ilmu, teman, alam bahkan dirinya sendiri selama 24 jam dalam segenap aktivitas hidup sepanjang hayat.
Dan, kalau mengacu pada kitab Bidayatul Hidayah karya Imam Ghazali kita akan semakin terbantu dalam melaksanakan konsep pendidikan adab ini.
Kitab itu membahas masalah adab dengan cukup detail. Mulai dari adab bangun tidur, masuk kamar mandi, berwudhu, mandi, bertayamum, pergi ke masjid, masuk masjid, bahkan adab-adab selepas terbit matahari sampai ke waktu gelincir matahari.
Kemudian ada adab hendak tidur, sholat, adab-adab imam dan makmum, adab hari Jum’at, sampai adab berpuasa.
Selanjutnya ada-adab terhadap Allah Ta’ala, terhadap guru, adab sebagai murid, adab terhadap orang tua dan adab-adab kepada seluruh manusia. Adab terhadap orang yang tidak dikenal, adab dengan sahabat karib dan adab dengan orang-orang yang dikenal (tetapi bukan sahabat).
Lebih jauh dari sekedar materi adab tersebut, pendidikan adab akan menjauhkan anak-anak kita dari cara berpikir dan sikap buruk. Sebab, dalam setiap adab selalu ditekankan pikiran positif dengan keyakinan bulat.
Dalam kitab Ihya Ulumuddin misalnya, Imam Ghazali banyak mengungkapkan adab berdoa kepada Allah, seperti mengangkat tangan, berkeyakinan bahwa doanya dikabulkan, bersikap baik sangka kepada Allah, bersungguh-sungguh dalam berdoa, dan sbeaiknya mengulang doa sebanyak tiga kali. Tidak saja itu, waktu dan saat berdoa juga dipandu dalam Islam, kapan doa yang mustajab, seperti kala sujud, dalam bepergian (safar) atau saat turun hujan. Dengan demikian, kelak akan lahir generasi yang tidak berpikir dan bersikap kecuali right action(melakukan yang benar).
Tidak berlebihan jika kemudian Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas berkesimpulan bahwa kebingungan dan kekeliruan terus-menerus pada berbagai tingkat kepemimpinan masyarakat saat ini karena ketiadaan adab (the loss of adab).
The Loss of adab menciptakan kebingungan dan kekeliruan persepsi mengenai ilmu pengetahuan, yang kemudian berlanjut pada terciptanya ketiadaan adab di masyarakat, sehingga muncullah para pemimpin yan gbukan saja tidak layak memimpin umat, tetapi juga tidak memiliki akhlak yang luhur dan kapasitas intelektual dan spiritual yang memadai.
Oleh karena itu, daripada keluarga kita sibuk merespon gempuran tidak berbobot dari pandangan adab di media lebih baik fokus mendidik anak-anak kita dengan adab. Terutama adab kepada Allah, adab kepada Rasulullah, kepada orang tua, ilmu, guru dan sesama, sehingga anak-anak kita adalah anak-anak yang optimis dengan imannya dalam menjawab tantangan zaman.
عَنْ أَبِي الْعَبَّاسِ عَبْدِ الله ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ، كُنْتُ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا فَقَالَ، يَا غُلاَمُ إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ، احْفَظْ اللَّهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظْ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ، إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلْ اللَّهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ، وَاعْلَمْ أَنَّ اْلأُمَّةَ لَوْ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ، وَلَوْ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتْ اْلأَقْلاَمُ وَجَفَّتْ الصُّحُفُ (رواه الترمذي)
Mari kita renungkan bagaimana Rasulullah menanmkan adab kepada generasi mua. Abdullah bin ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma– menceritakan, “Suatu hari saya berada di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda, “Nak, aku ajarkan kepadamu beberapa untai kalimat: Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kau dapati Dia di hadapanmu. Jika engkau hendak meminta, mintalah kepada Allah, dan jika engkau hendak memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah. Ketahuilah, seandainya seluruh umat bersatu untuk memberimu suatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan andaipun mereka bersatu untuk melakukan sesuatu yang membahayakanmu, maka hal itu tidak akan membahayakanmu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.” (HR. Tirmidzi).
Inilah anak-anak atau generasi penerus bangsa yang akan tampil menjadi pejuang negara, pembela umat dan pelaku terwujudnya kesejahteraan bagi seluruh rakyat NKRI. Jika benar kita memang mendamba peradaban bangsa hidup dan memimpin dunia, inilah (pendidikan adab) yang amat dibutuhkan oleh anak-anak di dalam rumah-rumah kita. Wallahu a’lam.*