SETIAP orang pasti mampu berkontribusi bagi agamanya (Islam), tergantung sejauh mana ia mentranformasi imannya menjadi energi cinta yang menggerakkan.
Dalam Ihya Ulumuddin Imam Ghazali menulis, “Ketahuilah, makhluk yang keadaanya di akhirat lebih berbagia, adalah yang lebih kuat rasa cintanya kepada Allah Ta’ala.”
Seperti Amr Ibn Jamuh. Sahabat ini mengalami ketidaksempurnaan pada kakinya, dan Rasulullah juga telah memberikan izin untuk tidak ikut dalam perang disebabkan kondisi fisiknya.
Namun, kala Perang Uhud memanggil, Amr Ibn Jamuh berkata kepada Nabi, “Ya Rasulullah, aku amat berharap kiranya dengan kepincanganku ini aku dapat merebut surga.”
Rasulullah pun mengizinkan. Dan, seketika Amr bin Jamuh berdoa kepada Allah agar diberikan syahid kepadanya. Dengan keterbatasan yang disandangnya, ia pun penuh gairah menyambut seruan jihad sampai akhirnya gugur dan syahid menemui Rabbnya.
Kisah Amr Ibn Jamuh mungkin terasa ganjil dalam pandangan rasio manusia secara umum. Namun, apalah arti sebuah rasio, kala hati telah dimabuk kepayang oleh cinta kepada Allah Ta’ala. Jalaluddin Rumi coba menjabarkannya dalam bentuk puisi, “Dalam badai Cinta, akal hanya seekor serangga.”
Dan, kondisi hati yang dimabuk cinta akan menegasikan kerja rasio. Sebagai ilustrasi, seorang anak yang keranjingan game, sanggup bermain seharian tanpa makan sekalipun. Demikian juga orang yang hobi main catur dan domino. Jangankan makan-minum, istri dan anaknya pun bisa ia lupakan. Inilah kondisi hati kala dimabuk cinta. Tetapi, tidak semua cinta pasti mengarah kepada-Nya.
Oleh karena itu, Imam Ghazali memberikan panduan dalam Ihya Ulumuddin agar rasa cinta kepada-Nya semakin tumbuh kuat di dalam hati.
Pertama, kuatnya cinta itu bisa berhasil dengan memutuskan segala hubungan duniawi, dan dengan mengeluarkan kecintaan selain kepada Allah.
Di sini ada ungkapan sederhana yang bisa kita jadikan pedoman dalam hidup, bahwa memutuskan hubungan segala hubungan dengan duniawi tidak berarti berpaling dari kehidupan sebagaimana mestinya, namun menjadikan apapun sebatas sarana alias alat untuk menggapai ridha Allah.
Jika dikaruniai rezeki melimpah, maka ikutilah sifat dermawan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu dan Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu. Jika dilimpahi ilmu oleh Allah Ta’ala, maka jadilah seperti Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.
Andai pun diuji dengan kekurangan, maka jangan pernah mencita-citakan diri akan bahagia dengan banyak menerima harta. Andai pun harta itu seketika tiba, jangan di simpan dalam hati, cukuplah di dalam genggaman tangan, agar tak terguncang jiwa, sehingga menjadi pribadi sombong, angkuh dan pada akhirnya sengsara seperti Tsa’labah.
Demikianlah mungkin yang dimaksud memutus hubungan duniawi, dimana segala apa yang ada pada diri kita, digunakan sebaik mungkin untuk semakin dekat kepada Allah sebagai upaya nyata dari dalam hati bahwa benar-benar ada rasa cinta kepada Allah Ta’ala.
Kedua, menguatkan ma’rifatullah dengan men-tazkiyah (mensucikan) hati dari semua kesibukan dunia, dan sangkut-pautnya yang berlaku sebagaimana berlakunya menanam bibit di dalam tanah sesudah dibersihkannya tanah dari rerumputan.
Menguatkan ma’rifatullah di sini Al-Ghazali membimbing kita untuk melihat segala ciptaan Allah, termasuk nyamuk.
Perhatikanlah, bagaimana Allah Ta’ala menciptakan untuk nyamuk dua bola mata, sehingga ia bisa melihat tempat makannya, lalu ia mendatanginya, padahal kecillah kadar ukuran mukanya.
Perhatikanlah kepada bola mata setiap binatang yang kecil, bola matanya tidak ada pelupuk matanya, karena bentuknya yang kecil. Padahal, pelupuk mata adalah yang mengkilapkan kornea mata dari kotoran dan debu. Allah Ta’ala telah menciptakan untuk nyamuk dan lalat dua tangan (kaki depan), maka kamu lihat lalat, dan kamu mengerti ia selalu menyapu dua bola matanya dengan dua kakinya yang depan itu.
Semoga kamu menyangka, bahwa perbuatannya itu semata-mata kekurangan dan kebodohan (nyamuk).
Namun, ketahuilah, bahwa kebodohan manusia itu lebih besar dari kebodohan nyamuk. Bahkan, bentuk anak Adam di dalam menuruti hawa nafsu, bagaikan bentuk laron yang senang beterbangan kepada cahaya api, sampai ia tidak tahu bahwa di bawahanya ada racun yang menenggelamkan dan membunuh. Maka ia senantiasa mencampakkan dirinya kepada nafsu, sehingga tenggelam di dalamnya, terikat dan binasa untuk selama-lamanya.
Apabila seseorang sering melatih ketajaman ma’rifatullah di dalam hatinya, niscaya akan bertambah kuat cintanya kepada Allah Ta’ala, sehingga ia akan terus membaca, meneliti dan mengkaji dirinya sendiri sebagaimana firman-Nya:
وَفِىٓ أَنفُسِكُمۡۚ أَفَلَا تُبۡصِرُونَ (٢١)
“Dan (juga) pada dirimu sendiri, maka apakah kamu tidak memperhatikan?.” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 21).
Oleh karena itu, kita jangan hanya bisa kagum, heran dan takjub kepada sesama Muslim yang mereka mengalami keterbatasan, baik harta maupun fisik, namun semangatnya dalam membela Allah Ta’ala sangat luar biasa.
Hal itu di antaranya bisa kita saksikan dalam Aksi Bela Islam III atau Super Damai 212, dimana mereka yang mengalami keterbatasan tak mau ketinggalan mewujudkan rasa cintanya kepada Allah Ta’ala dengan megambil peran yang bisa dilakukan.
Jangan pernah berpikir, bahwa mereka yang dari daerah datang ke Jakarta dengan kondisi uang berlebihan, sebagian berangkat dengan kondisi kantong pas-pasan. Tetapi, mereka berangkat dengan optimis dan bahagia. Bagi yang mengalami keterbatasan fisik, ada yang merangkak hadir karena tak bisa berjalan. Bahkan ada yang kakinya sakit dan menggunakan kruk (alat bantu jalan) namun tak mau sekedar hadir, tetapi memberi kontribusi dengan menyatu pada barisan gerakan kebersihan.
Jadi, mari cek ke dalam, adakah rasa cinta di dalam hati kepada Allah Ta’ala? Jika belum, mari tanam, rawat hingga ia menjadi kekuatan yang membuat akal terkagum-kagum akan kedahsyatan gelora cinta kepada agama-Nya.*