Hidayatullah.com | DARI Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya Rasulullah ﷺ jika selesai shalat Subuh dan mengucapkan salam, beliau memanjatkan doa,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا
”Ya Allah, Aku meminta kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, dan amal yang diterima, juga rizki yang baik.” (HR: Ahmad)
Pelajaran dari hadist tentang doa Rasulullah setelah Subuh di atas menjelaskan banyak hal:
Pelajaran Pertama: Peran Istri Nabi
Hadist di atas diriwayatkan oleh Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha salah satu istri nabi Muhammad ﷺ, hal ini menunjukkan peran besar istri-istri beliau di dalam menyebarkan ajaran Islam, khususnya yang berhubungan dengan masalah-masalah pribadi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak banyak diketahui oleh para sahabat.
Pelajaran Kedua: Lafazh Doa
Lafadh ‘doa’ di atas disunnahkan untuk dibaca setelah selesai shalat Subuh sebagaimana yang disebutkan di dalam lafadh hadist di atas.
Pelajaran Ketiga: Waktu Berdoa
Doa tersebut dibaca setelah mengucapkan salam dan selesai shalat Subuh. Ini menunjukkan kebolehan membaca doa setelah shalat.
Sebagian ulama menyatakan bahwa disunnahkan membaca dzikir dahulu setelah salam, bukan doa. Hal itu karena banyak riwayat hadist yang menjelaskan dzikir-dzikir bakda shalat.
Pelajaran Keempat: Doa Mengandung Tiga Permohonan
Doa yang dipanjatkan Rasulullah selepas Subuh di atas mengandung tiga permohonan yang sangat penting:
Permohonan Pertama: Ilmu yang Bermanfaat
(‘Ilman Nafi’an) artinya ilmu yang bermanfaat. Terdapat tiga pelajaran dari lafadh di atas.
(1). Menunjukkan bahwa ilmu terbagi menjadi dua, ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang tidak bermanfaat.
(2). Menunjukkan bahwa pertama kali yang diperintahkan kepada manusia, adalah menuntut ilmu, sebagaimana firman Allah,
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ
“Ketahuilah, sesungguhnya tidak ada Ilah yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah dan mintalah ampun atas dosa-dosamu.” (QS: Muhammad: 16)
(QS: Muhammad: 19) dan ayat pertama yang turun (QS. Al-‘Alaq) adalah perintah membaca.
(3) Menunjukkan bahwa ilmu adalah dasar dari seluruh perbuatan. Ilmu bagaikan imam (pemimpin) sedangkan amal perbuatan bagaikan makmum (yang dipimpin). Imam al-Bukhari di dalam kitab Shahihnya (1/24) mengatakan;
العِلْمُ قَبْلَ القَوْلِ وَالعَمَلِ
“Ilmu sebelum ucapan dan amal perbuatan.”
Kemudian beliau mengutip firman Allah di dalam (Qs. Muhammad: 19) di atas.
Berkata Imam al-Hasan al-Bashri:
العَامِلُ عَلَى غَيْرِ عِلْمٍ كَالسَّالِكِ عَلَى غَيْرِ طَرِيقٍ، والعَامِلُ عَلَى غَيْرِ عِلْمٍ يُفْسِدُ أَكْثَرُ مِمَّا يُصْلِحُ، فَاطْلُبُوا العِلْمَ لا تَضُرُّوا بِالعِبَادَةِ واطْلُبُوا العِبَادَةَ طَلَباً لا تَضُرُّوا بِالعِلْمِ فَإِنَّ قَوْمَاً طَلَبُوا العِبَادَةَ وَتَرَكُوا العِلْمَ حَتَّى خَرَجُوا بِأَسْيَافِهِمْ عَلَى أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَوْ طَلَبُوا العِلْمَ لَمْ يَدُلَّهَمْ عَلَى مَا فَعَلُوا
“Orang yang beramal tanpa ilmu, seperti orang yang meniti di luar jalan. Orang yang beramal tanpa ilmu lebih banyak merusak daripada memperbaiki. Maka tuntutlah ilmu dengan tidak merusak ibadah, dan beribadahlah dengan tidak merusak ilmu. Karena sesungguhnya terdapat suatu kaum yang banyak beribadah tetapi meninggalkan ilmu, sehingga mereka keluar dengan pedang-pedang mereka untuk memerangi umat Muhammad. Seandainya mereka mau menuntut ilmu, maka ilmu tersebut tidak akan menunjukkan kepada perbuatan tersebut.“
Dengan ilmu yang bermanfaat itu, seseorang bisa mendapatkan rezeki yang thayyib, sebagaimana yang disebutkan pada doa berikutnya.
Permohonan Kedua: Rezeki yang Baik
(Rizqan Thayyiban) artinya rezeki yang baik.
Lafadh di atas menunjukkan beberapa hal:
(1). Rezeki terbagi menjadi dua: rezeki thayyib dan rezeki tidak thayyib. Kadang seseorang mendapatkan rezeki dari Allah dengan rezeki tidak thayyib, seperti orang yang mendapatkan uang dengan cara mencuri dan korupsi, bisa disebut mendapatkan rezeki yang tidak thayyib atau rezeki haram.
(2). Rezeki Thayyib adalah rezeki yang halal. Sebagian ulama membedakan antara halal dan thayyib sebagaimana di dalam firman-Nya,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الأرْضِ حَلالا طَيِّبًا وَلا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. al-Baqarah: 168)
Diantara perbedaan halal dan thayyib adalah :
(a). (Halal) adalah dzatnya halal, bukan barang haram. Di dalam makanan, yang disebut halal adalah binatang yang boleh dimakan seperyi ayam, ikan, kambing, sapi dan unta. Sedangkan (thayyib) adalah cara mendapatkannya dengan cara yang baik, seperti melalui transaksi jual beli, pemberian, warisan, bukan dengan cara mencuri.
(b) (Halal) adalah dzat dan caranya halal. Sedangkan (thayyib) bermanfaat dan bergizi.
(3). Rezeki yang thayyib ini tidak akan didapat seseorang kalau tidak mempunyai ilmu halal dan haram di dalam mencari rezeki. Oleh karena doa ini didahului dengan memohon ilmu yang yang bermanfaat.
Umar bin al-Khattab melarang masyarakat yang tidak mengetahui ilmu halal dan haram untuk melakukan transaksi jual beli di pasar Madinah.
Permohonan Ketiga: Amalan yang Diterima
(‘Amalan Mutaqabbalan) artinya amalan yang diterima oleh Allah.
Untuk mendapatkan amal yang diterima oleh Allah, harus memenuhi dua syarat: (1) ikhlas karena Allah, (2) sesuai dengan tuntunan Rasulullah. Di dalam hadits disebut “Ilman Nafi’an”, yaitu amalannya harus berdasarkan ilmu. Ini sesuai dengan firman Allah,
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُور
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS: Al Mulk: 2)
Berkata al-Fudhail bin Iyadh :
أحسن عملاً أخلصه وأصوبه، العمل لا يقبل حتى يكون خالصاً صواباً ، فالخالص إذا كان لله والصواب إذا كان على السنة
“Yang paling baik amalnya maksudnya adalah yang paling ikhlas dan paling benar. Suatu amal tidaklah akan diterima oleh Allah, sampai mempunyai dua sifat; murni dan benar. Murni adalah jika amal itu dilakukan hanya karena Allah semata, sedang benar adalah jika amal tersebut berdasarkan sunnah.” (lihat Muhammad Syarbini di dalam tafsir as-Siraj al-Munir: 4/ 244).
Setiap hari di dalam shalat lima waktu, kita diwajibkan membaca surat al-Fatihah paling tidak sebanyak 17 kali. Di dalamnya kita memohon kepada Allah seraya mengucapkan: “Ihdina ash-Shiratha al-Mustaqim” (tunjukilah kami jalan yang lurus) artinya tunjukilah kami jalan menuju keikhlasan di dalam beramal dan yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah ﷺ.
Di dalam hadist di atas terselip syarat tambahan agar amal seseorang diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala, yaitu rezeki yang dimakan harus halal, jika rezekinya haram, maka Allah tidak menerima doa dan ibadah seseorang.
Kesimpulan
(1). Hadist di atas menunjukkan bahwa di dalam berdoa, seorang muslim tidak boleh hanya memohon kepentingan dunia saja, kecuali harus diikuti dengan memohon kepentingan Akhirat. Tidak boleh hanya meminta ilmu saja (ini kepentingan dunia), tetapi harus diikuti dengan ‘sesuatu yang bermanfaat’ (ini kepentingan Akhirat). Tidak boleh juga memohon rezeki saja, tetapi harus diikuti dengan memohon ‘sesuatu yang thayyib’. Tidak boleh juga memohon amalan, kecuali harus diikuti dengan memohon ‘sesuatu yang diterima’. Semua ini sesuai dengan firman Allah,
فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ (200) وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (201)
“Maka di antara manusia ada orang yang berdoa: ‘Wahai Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia’, dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di Akhirat. Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: ‘Wahai Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka’.” (QS: al-Baqarah: 200-201)
(2). Kewajiban seorang muslim ada tiga secara berurutan:
(1) Mencari ilmu yang bermanfaat, termasuk di dalamnya ilmu tauhid dan ilmu halal-haram. Dengan bekal ilmu tersebut seseorang akan mampu membedakan antara rezeki yang halal dengan rezeki yang haram. Maka kewajiban kedua adalah
(2) Mencari rezeki yang baik.
(3) Setelah mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan rezeki yang baik, maka Allah akan menerima segala amal perbuatannya yang baik. Wallahu A’lam.*/Dr Ahmad Zain Annajah, Pusat Kajian Fikih Indonesia (PUSKAFI), www.ahmadzain.com