SEORANG sahabat datang dengan wajah murung, sembari menunduk ia menuturkan perihal dirinya yang kalut karena baru menyadari bahwa apa yang selama ini dilakukan atasannya termasuk perbuatan tidak patut dalam kacamata Islam.
“Atasan saya telah meminta yang bukan haknya. Padahal kami di kantor mengerti. Tapi tak satu pun di antara kami yang berani meluruskan kemauannya itu, sehingga ketidakbenaran terjadi dan kini menghantui kehidupan kami semua yang menjadi bawahan,” tuturnya dengan mimik penuh penyesalan.
Waktu bergulir, bulan berganti, tahun beralih, kondisi itu tetap saja menghantui pikirannya. Hingga suatu kesempatan ia bertemu dengan seorang guru yang memberikan nasehat dengan mengutip pendapat Sayyidina Ali Karamallahu Wajhah.
“Nilai seseorang sesuai dengan kadar tekadnya, ketulusannya sesuai dengan kadar kemanusiaannya, keberaniannya sesuai dengan kadar penolakannya terhadap perbuatan jahat dan kesucian hati nuraninya sesuai dengan kadar kepekaannya terhadap kehormatan dirinya.”
Terkadang sebagai Muslim kita sudah cukup baik menjalankan ibadah sholat, peduli seesama dan lainnya. Namun secara pribadi masih sangat lemah dalam hal amar ma’ruf nahi munkar.
Akibatnya, kehidupan bak terasa di bawah bayang-bayang orang lain, hingga kita lebih takut kemurkaan manusia daripada ancaman siksaan-Nya. Padahal jelas, Allah beserta orang yang benar, orang yang sabar dan orang yang bertaqwa.
Fenomena demikian cukup banyak dialami kaum Muslimin. Lebih berbahaya lagi kala hidupnya telah bergantung pada orang yang tidak seiman. Entah dalam hal beasiswa studi, maupun kebutuhan hidup dalam pekerjaan. Ilmu dan kemudahan hidupnya bukan lagi untuk amar ma’ruf nahi munkar, tetapi untuk siapa yang membayar.
Oleh karena itu, anggapan banyak orang terhadap zaman sekarang, bicara tidak harus konsisten, sebab keuntungan itu dinamis, tergantung kemana angin berhembus. Jika demikian prinsip hidup kita, maka sungguh telah merana iman di dalam hati kita.
Logikanya jelas, bagaimanapun orang bertingkah polah, Allah tetap menyayangi hamba-hamba-Nya yang totalitas tunduk-taqwa kepada-Nya. Tidak akan pernah berubah.
Oleh karena itu, dalam hal ini Rasulullah pernah berpesan kepada Ibn Abbas kala masih anak-anak, agar hidup tidak takut kepada siapapun, tidak bergantung kepada siapapun, tidak berharap, meminta, memohon, menyandarkan hidup kepada siapapun, kecuali kepada Allah Ta’ala semata.
Abdullah bin ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma– menceritakan, suatu hari saya berada di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Beliau bersabda, “Nak, aku ajarkan kepadamu beberapa untai kalimat: Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kau dapati Dia di hadapanmu.
Jika engkau hendak meminta, mintalah kepada Allah, dan jika engkau hendak memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah. Ketahuilah, seandainya seluruh umat bersatu untuk memberimu suatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang telah Allah tetapkan untukmu.
Dan andaipun mereka bersatu untuk melakukan sesuatu yang membahayakanmu, maka hal itu tidak akan membahayakanmu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering” (HR. Tirmidzi).
Jadi tidak ada istilah, terhadap segala yang tidak benar atau kemunkaran, sikap kita harus jelas dan tegas, yakni menolak dan mengingatkan siapapun orangnya, entah itu atasan atau siapapun. Sebab hidup dan mati , rizki dan kebaikan hidup kita seutuhnya dan seluruhnya hanya ada di tangan Allah. Dalam kata yang lain, jangan sampai kita kompromi dengan kemunkaran yang justru kita saksikan dan alami sendiri.
Dalam kesempatan lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Mu’adz, “Wahai Mu’adz, tahukah engkau apa hak Allah atas hamba-Nya?” Mu’adz menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Kemudian Rasulullah bersabda, ‘Hak Allah atas hamba-Nya adalah beribadah hanya kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Teladan dari Pemberani
Menjadi seorang pemimpin tak menjadikan Umar nyaman sebagai kelompok elit. Beliau justru blusukan setiap malam tanpa pengawalan apalagi riuh pemberitaan. Hal itu sangat sering dilakukan sendiri olehnya.
Suatu malam, kala melewati sebuah gubuk, khalifah merasa curiga melihat lampu yang masih menyala. Di dalamnya terdengar suara orang berbisik-bisik.
Khalifah Umar menghentikan langkahnya. Setelah mendekat, tampaklah seorang ibu dan anak perempuannya sedang sibuk mewadahi susu.
“Terhitung dari wafatnya ayahmu, penghasilan kita menjual susu terus berkurang. Jika seperti ini terus, ibu khawatir kita akan kelaparan, nak,” ungk ibunya.
Anak gadisnya diam sembari terus membereskan susu yang akan dijajakannya esok hari.
“Nak, bisik ibunya seraya mendekat. “Kita campur saja susu itu dengan air. Supaya penghasilan kita cepat bertambah,” ucap sang Ibu dengan bergairah.
Tak dinyana, putrinya justru tidak sependapat dan segera menolak keinginan ibunya.
“Tidak, Bu! katanya cepat. “Khalifah melarang keras semua penjual susu mencampur susu dengan air. Ia teringat sanksi yang akan dijatuhkan kepada siapa saja yang berbuat curang kepada pembeli,” sanggah sang putri.
“Ah! Kenapa kau dengarkan Khalifah itu? Setiap hari kita selalu miskin dan tidak akan berubah kalau tidak melakukan sesuatu,” timpal sang ibu kesal.
“Untuk apa dengarkan Khalifah itu, dia tidak tahu dengan apa yang kita lakukan. Tengah malam begini tak ada yang berani keluar. Khalifah Umar pun tak ada di sini,” kata ibunya kekeuh memaksa putrinya.
“Bu, meskipun tidak ada seorang pun yang melihat dan mengetahui kita mencampur susu dengan air, tapi Allah tetap melihat. Allah pasti mengetahui segala perbuatan kita serapi apapun kita menyembunyikannya,” tegas sang gadis.
“Aku tidak mau melakukan ketidakjujuran entah diketahui orang ataupun tidak. Aku yakin, Allah tetap selalu mengawasi apa yang kita lakukan setiap saat,” jawabnya lugas.
Andai gadis itu menuruti kehendak sang ibu dengan alasan mendapatkan keuntungan, boleh jadi dia akan merana sepanjang hidup. Tetapi dengan ketegasannya, ia telah sukses menjadi pribadi yang sukses, terbebas dari segala tekanan dan semakin dekat dengan Allah Ta’ala. Keberaniannya telah menjadi sebab dinikahkan dirinya dengan Ashim bin Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu.
Dengan demikian teranglah bagi kita, bahwa berani menjalankan perintah amar ma’ruf nahi munkar tidak akan menjadikan kehidupan kita sengsara. Bahwa mungkin akan dikucilkan itu mungkin konsekuensi, sebagaimana Imam Hambali, Imam Bukhari pernah alami karena berdirii tegak di atas kebenaran iman dan ilmunya. Namun, janji Allah tidak akan pernah berubah. Dan, kemuliaan itu pasti datang dengan warisan membanggakan abadi bagi kehidupan manusia selamanya. Wallahu a’lam.*