CAHAYA yang paling populer dalam hidup ini adalah matahari. Namun, bagi manusia yang beriman, cahaya tak sebatas penerang seperti matahari, rembulan atau lampu, tetapi juga amal perbuatan.
Sebaliknya, kegelapan dalam Islam tak semata berupa malam, tetapi kondisi hati yang jauh dari cahaya tauhid. Dimana kala cahaya tauhid sirna, maka hati dan akal manusia seketika diselimuti oleh kegelapan yang pekat.
Dan, sumber utama cahaya dalam kehidupan ini tiada lain adalah Allah Subhanahu Wata’ala.
۞ ٱللَّهُ نُورُ ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَٱلۡأَرۡضِۚ مَثَلُ نُورِهِۦ كَمِشۡكَوٰةٍ۬ فِيہَا مِصۡبَاحٌۖ ٱلۡمِصۡبَاحُ فِى زُجَاجَةٍۖ ٱلزُّجَاجَةُ كَأَنَّہَا كَوۡكَبٌ۬ دُرِّىٌّ۬ يُوقَدُ مِن شَجَرَةٍ۬ مُّبَـٰرَڪَةٍ۬ زَيۡتُونَةٍ۬ لَّا شَرۡقِيَّةٍ۬ وَلَا غَرۡبِيَّةٍ۬ يَكَادُ زَيۡتُہَا يُضِىٓءُ وَلَوۡ لَمۡ تَمۡسَسۡهُ نَارٌ۬ۚ نُّورٌ عَلَىٰ نُورٍ۬ۗ يَہۡدِى ٱللَّهُ لِنُورِهِۦ مَن يَشَآءُۚ وَيَضۡرِبُ ٱللَّهُ ٱلۡأَمۡثَـٰلَ لِلنَّاسِۗ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَىۡءٍ عَلِيمٌ۬ (٣٥)
“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. An-Nur [24]: 35).
Dengan demikian, untuk menjadi pribadi yang selamat dari pekatnya kegelapan, seorang Muslim harus memperhatikan iman dan takwanya.
Seperti pengendara mobil, tanpa lampu di malam hari tidak mungkin dirinya bisa menyusuri jalanan yang gelap gulita. Demikian pun hidup manusia, akan mengalami banyak kecelakaan jika iman dan taqwa tidak benar-benar diperhatikan.
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَءَامِنُواْ بِرَسُولِهِۦ يُؤۡتِكُمۡ كِفۡلَيۡنِ مِن رَّحۡمَتِهِۦ وَيَجۡعَل لَّڪُمۡ نُورً۬ا تَمۡشُونَ بِهِۦ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٌ۬ رَّحِيمٌ۬ (٢٨)
“Hai orang-orang yang beriman (kepada para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hadid [57]: 28).
Sebagai Muslim yang hidup di dalam rumah, tentu saja cahaya diri akan terpelihara dan semakin kuat jika di dalam rumah sendiri energi atau sumber cahaya itu senantiasa kita usahakan untuk terus eksis.
Pertama dengan dzikrullah
“Permisalan rumah yang terdapat di dalamnya penyebutan Allah dengan yang tidak, seperti permisalan seseorang yang hidup dan yang mati.” (HR. Bukhari).
Setiap orang mungkin punya hobi, mulai dari menonton, mendengarkan musik, tapi jangan sampai rumah diri sebatas pada kegemaran, sementara lupa untuk melakukan aktivitas dzikrullah, mulai dari memperbanyak istighfar, membaca Alquran atau pun bersholawat kepada Nabi.
Tanpa dzikrullah, boleh jadi kesenangan di dalam rumah tetap ada, tapi apalah arti semua itu jika rumah yang kita huni terkategori rumah yang gelap dalam pandangan-Nya, sehingga kita tidak termasuk orang yang mendapatkan petunjuk dari-Nya.
“Wahai Anak Adam, sempatkanlah untuk menyembah-Ku, maka Aku akan membuat hatimu Kaya dan menutup kefakiranmu. Jika tidak melakukannya maka Aku akan penuhi tanganmu dengan kesibukan, dan Aku tidak menutupi kefakiranmu.” (HR. Ahmad).
Dari sini cukuplah diri memahami bahwa sekaya apapun manusia, kala rumahnya gelap, hatinya kelam, pada akhirnya akan terpuruk pada kesengsaraan. Semakin kaya, dirinya semakin haus akan kekayaan. Semakin berkuasa, dirinya semakin lapar akan kejahatan.
Kedua, sholat
“Barangsiapa yang menjaga sholat, maka aginya cahaya, petunjuk dan keselamatn pada hari kiamat. Dan barang siapa yang tidak menjaga sholat tersebut maka dia tidak akan mendapatkan cahaya, petunjuk, keselamatan. Dan, nanti di hari kiamat akan dikumpulkan bersama Qarun, Firaun, Haman dan Ubay bin Khalf.” (HR. Ahmad).
Jadi, jangan sekali-kali meremehkan apalagi meninggalkan sholat. Terangilah rumah kita dengan sholat, terutama sholat-sholat sunnah, sebab bagi kaum Adam, sholat lima waktu wajib dilaksanakan secara berjama’ah di masjid, kecuali udzur.
Ketiga, berdoa
رَبَّنَا لَا تُزِغۡ قُلُوبَنَا بَعۡدَ إِذۡ هَدَيۡتَنَا وَهَبۡ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحۡمَةًۚ إِنَّكَ أَنتَ ٱلۡوَهَّابُ (٨)
“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau palingkan hati kami kepada kesesatan setelah Engkau berikan petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah rahmat dari sisi-Mu kepada kami, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi.” (QS. Ali Imran [3]:8).
Doa di atas, sebisa mungkin selalu dilantunkan, baik selepas sholat atau pun dalam kondisi dimana hati gelisah, tenang atau apapun. Sebab, nilai manusia secara hakikat dalam pandangan Allah hanyalah pada kondisi hatinya. Bukan rupa, apalagi harta.
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk rupa dan harta kamu sekalian, tetapi Allah melihat kepada hati dan amalmu yang ikhlas.” (HR. Muslim).
Dalam kata lain, hati yang diberikan cahaya oleh Allah akan mudah untuk menghindarkan tempat tinggalnya dari kegelapan yang menjadikan awal dari segenap aktivitas kehidupan jauh dari ridha Allah Ta’ala.
Seperti kehidupan yang pasti gelap dan mati tanpa cahaya matahari, seperti itulah hati manusia kala tempat tinggalnya jauh dari cahaya Ilahi. Wallahu a’lam.*