Ibn Al-Jauzi dalam bukunya Shaid Al-Khatir menulis, “Setiap orang yang tidak memikirkan akibat dan tidak mempersiapkan diri menghadapi sesuatu yang mungkin terjadi adalah orang yang tidak punya akal yang sempurna.”
Ungkapan tersebut seperti menjelaskan bahwa tidak ada kecerdasan tanpa taqwa. Sebab Rasulullah menegaskan bahwa orang yang cerdas itu adalah yang mengendalikan hawa nafsu dan berbuat untuk kehidupan setelah mati.
Oleh karena itu, tidak ada perkara yang lebih patut diperhatikan, diprioritaskan dalam pemabahasan dan pelaksanaan dalam hidup keseharian selain daripada iman dan taqwa.
Dan, inilah esensi daripada tugas utama setiap Muslim, yakni membuktikan keimanan dan ketaqwaan. Tidak ada gunanya pengetahuan, gelar dan pengakuan segenap umat manusia jika nihil dalam amalan.
Fudhail bin Iyadh berkata, “Seorang berilmu belumlah beranjak dari kebodohan atas apa yang diilmuinya, hingga dia mengamalkannya.”
Sayangnya, manusia sekarang lebih sering galau hanya karena belum punya ini dan itu, belum sampai pada ini dan itu, dan sama sekali tidak risau bahwa dirinya dalam sehari-hari meninggalkan sholat, tidak berinfak, suka memandang rendah sesama dan sama sekali tidak menyebut nama Allah baik dengan lisan maupun hati.
Padahal, perkara hakiki yang dipandang terus-menerus oleh Allah adalah iman dan taqwa kita. Lantas bagaimana kita menghidupkan iman dan taqwa sehari-hari sepanjang hayat?
Pertama menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai spirit dalam kehidupan
Al-Qur’an dan Sunnah bukan semata bacaan, melainkan juga manual perilaku yang harus diamalkan oleh setiap Muslim. Oleh karena itu, sebuah keniscayaan untuk menjadikan keduanya sebagai basis dalam membangun spirit, dan merasuk di dalam diri kita melalui cara berpikir, bertindak dan berkata-kata.
Orang yang demikian akan menjadi ulul albab, yang diterangkan oleh Ibn Katsir dalam tafsirnya adalah tipe orang yang sempurna akalnya lagi bersih, memahami hakikat berbagai hal secara nyata dan benar, yang mengambil sikap secara jelas dan terang, seta bertindak secara tepat dan bermanfaat. Mereka mempunyai hati yang senantiasa berdzikir dan berpikir, secara terus-menerus lagi mendalam, sehingga semakin teguh keimanan dan meningkat ketaqwaan.
وَهَٰذَا كِتَٰبٌ أَنزَلْنَٰهُ مُبَارَكٌ فَٱتَّبِعُوهُ وَٱتَّقُوا۟ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan Al-Quran itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat.” (QS. Al-An’am [6]: 155).
Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman.
وَٱتَّبِعُوٓا۟ أَحْسَنَ مَآ أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُم مِّن قَبْلِ أَن يَأْتِيَكُمُ
ٱلْعَذَابُ بَغْتَةً وَأَنتُمْ لَا تَشْعُرُونَ
“Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya,” (QS. Az-Zumar [39]: 55).
Kedua, meletakkan segala sisi kebendaan sebagai kendaraan, bukan raja di dalam hati
Kadangkala manusia terlena oleh adanya kepemilikan benda-benda, mulai dari kendaraan, rumah hingga aset berharga lainnya, sehingga setiap hari hati dan pikirannya habis memikirkan dan mencintai semua yang semu itu.
Sikap seperti ini mesti dijauhi. Jangan sampai seperti Tsa’labah. Setelah berkembang, iman dan taqwa malah dikesampingkan. Akibatnya, ketaatan, ibadah, kepeduliaan dan kesungguhan dalam menegakkan agama diletakkan di waktu-waktu sisa, kalau sempat dan tidak ada pekerjaan.
Demikianlah Tsa’labah. Kala dalam kesulitan hidup, ibadah begitu taat. Namun, begitu menggenggam kekayaan, hatinya lalai dan iman taqwa pun ditinggalkan, sampai-sampai berani menolak membayar zakat, sehingga hidup dikerahkan hanya untuk bermegah-megahan, hingga lupa akan kematian.
أَلْهَىٰكُمُ ٱلتَّكَاثُرُ
حَتَّىٰ زُرْتُمُ ٱلْمَقَابِرَ
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur” (QS. At-Takatstsur [102]: 1 -2).
Ketiga, jelas menempatkan tujuan
Kendala tidak kalah sulit yang dihadapi oleh hati yang imannya kembang kempis adalah pemahamannya tentang tujuan dan sarana. Kadang terbalik, sarana jadi tujuan dan tujuan jadi sarana.
Contohnya dalam pendidikan, gedung sekolah dan belajar, tujuannya adalah belajar, bukan sarana gedung. Andai tidak ada gedung pun belajar harus tetap berjalan. Dan, sejarah telah membuktikan hal ini. Meski di zaman sekarang, sarana lebih mendapat prioritas perhatian daripada belajar itu sendiri.
Dalam bahasa lebih universal, carilah akhirat jangan lupa dunia. Bukan malah cari dunia tidak lupa akhirat, apalagi sampai cari dunia lupakan akhirat. Seorang Muslim itu teguh, tujuannya satu, yakni kebahagiaan di akhirat yang pasti Allah berikan juga kebahagiaan di dunia.
وَابْتَغِ فِيمَا آَتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآَخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi.” (QS. Al Qashshash [28] : 77).
Ibn Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah segala sisi kehidupan kita, termasuk potensi, skill dan keahlian mesti diarahkan kepada tercapainya kebahagiaan hidup di akhirat dengan tetap memanfaatkan kebahagiaan dunia yang Allah halalkan, seperti makanan, minuman, menikah, dan hidup dengan kebaikan-kebaikan. Namun, jangan dibalik, kejar dunia lupa akhirat.
Dalam hal ini, Ibn Qayyim Al-Jauziyah berpesan dalam kitabnya Itgatsatul Lahfan min Mashaidisy Syaithan bahwa menjauhi dunia dan menempatkan diri di akhirat (mesti menjadi priroitas), sehingga senantiasa muncul kesadaran bahwa diri kita sebenarnya adalah salah satu putra penghuni akhirat. Dia datang ke dunia sebagai perantau yang mengambil sekadar kebutuhannya, kemudian kembali ke negeri asalnya.
Dan, kesadaran semacam itu mustahil hadir di dalam hati tanpa menjadikan iman dan taqwa sebagai perkara terpenting dalam menjalani kehidupan fana ini. Wallahu a’lam.*