BANYAKNYA kesibukan dan beragamnya informasi yang hilir mudik dalam genggaman tangan hari ini, boleh jadi semakin menjauhkan diri dari hal yang seharusnya tidak boleh berpisah, yakni senantiasamengingat Allah.
Di dalam Al-Qur’an Allah berfirman;
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَن تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِّنْهُمْ فَاسِقُونَ
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati (khusyuk) mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka, lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasiq.” (QS. Al-Hadid [57]: 16).
Ayat ini penting dan langsung menukik pada apa yang dialami sebagian besar umat Islam, dimana karena alasan pekerjaan, bisnis dan karir, sedikit yang memerhatikan hal-hal mendasar bagi kesehatan hati, sehingga dalam upaya mengingat Allah menjadi sangat sulit dan mudah lelah, apalagi kalau mau dengan khusyuk.
Sementara dalam kemubahan dan kesia-siaan, hati merasakan kenyamanan meski berujung dengan kembali pada kegelisahan.
Terhadap ayat di atas, Ibn Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa seharusnyalah seorang Muslim menjadikan hatinya lunak ketika berdzikir, mendapatkan nasihat dan mendengar Al-Qur’an, lalu memahaminya dan tunduk patuh kepadanya; mendengar dan menaatinya.
Baca: Meneduhkan Hati
Mengapa hati kita harus khusyuk Ibn Katsir menyampaikan hujjah pada hadits Rasulullah yang diriwayatkan Qatadah, “Sesungguhnya yang pertama kali diangkat dari manusia adalah kekhusyukannya.”
Secara bahasa “khusyuk” berarti tunduk, rendah hati, atau merendahkan diri di hadapan Allah Ta’ala, sehingga tidak ada sikap lain, kecuali patuh dan taat.
Di dalam Al-Qur’an sendiri khusyuk disebutkan dalam beberapa ayat, yang lingkupnya meliputi; tidak menjual ayat-ayat Allah (QS. 3: 199), kemudian khusyuk dalam sholat (QS. 23: 3), khusyuk dalam bersuara (QS. 20: 108), kemudian khusyuk dalam pandangan (QS. 79: 9), dan khusyuk karena terhina (QS. 42: 45).
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata, “Khusyuk adalah sebuah makna yang tersarikan dari sikap hormat, cinta, rendah hati dan pasrah hati.”
Oleh karena itu, dalam sholat kita diperintahkan khusyuk karena dengan begitu gerakan dan lafal doa dalam rangkaian sholat dilakukan dengan kesadaran jiwa lagi penuh adab dalam pelaksanaannya, sehingga sholat bukan sekedar gerakan badan dan lantunan doa, tetapi komunikasi transenden antara hamba dengan Allah Ta’ala.
Dari sini dapat dipahami bahwa khusyuk adalah amalan hati, dan dalam konteks yang lebih luas, di sini bukan sekadar hati tenang dalam menjalankan ketaatan seperti kala dzikir dan sholat, tetapi lebih jauh adalah sikap tunduk, patuh dan taat terhadap segala perintah Allah dalam segala sisi kehidupan, sehingga ketaqwaan juga memendar dalam pergaulan hidup sehari-hari.
Dr. Danial Zainal Abidin dalam bukunya “Al-Qur’an for Life Excellence” menguraikan bahwa khusyuk harus diamalkan tidak hanya ketika sholat semata, tetapi diaplikasikan dalam setiap ibadah yang kita lakukan agar dampaknya lebih positif.
Karena demikian luas dan pentingnya masalah kekhusyukan ini, dan merupakan perkara pertama yang diangkat oleh Allah, Rasulullah pun membimbing kita dengan untaian doa yang patut kita ucapkan.
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyuk, nafsu yang tidak pernah merasa puas, dan dari doa yang tidak pernah dikabulkan. Ya Allah, berikanlah kepadaku jiwa yang takwa lagi bersih. Sebab hanya Engkau-lah sebaik-baik yang membersihkan jiwa dan yang menguasai serta yang mengarahkannya.” (HR. Muslim).
Semua ini harus dipahami dengan baik, sehingga hati kita benar-benar khusyuk sehingga selamatlah jiwa dan keluarga kita dari sifat orang-orang terdahulu yang mengeras hatinya dan menyukai perbuatan-perbuatan fasiq.
Dalam kata yang lain, siapa yang berupaya untuk khusyuk maka kebeningan dan kesehatan hati akan terpelihara dan tentu saja kebahagiaan dan keberkahan hidup adalah akhirnya.
Agar Hati Khusyuk
Tidak ada cara terbaik yang bisa ditempuh dalam upaya menjadikan hati khusyuk selain dengan membersihkan dan mensucikan hati itu sendiri.
Imam Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menegaskan bahwa kebersihan dan kesucian dalam Islam, tak semata berdimensi fisik, tetapi juga batin. Oleh karena itu, “Kebersihan adalah sebagian dari iman” (HR. Tirmidzi).
Tentu saja, menurut Imam Ghazali yang dimaksud tidak semata membersihkan dan menyucikan dzahir, tetapi juga qalbu (batin).
Ketika Rasulullah menegaskan “Kebersihan adalah bagian dari iman” itu tidak sebatas membangun keindahan lahiriah dengan membersihkan, menyiram dan membasuhkan air pada anggota-anggota tubuh. Tetapi juga batin yang dibersihkan dari kemaksiatan maupun bentuk-bentuk dosa lainnya. Tanpa itu (sibuk membersihkan dzahir dan abai dalam menyucikan hati), maka akan sia—sia dan menjadi hancurlah keimanan seseorang.
Dan, mengapa para Nabi dan Rasul sampai pada kekhusyukan yang luar biasa, menurut Al-Ghazali karena mereka telah menyucikan hati dari berharap selain kepada Allah. Dan, ini hanyalah tingkatan yang bisa dicapai para Nabi dan Rasul dalam soal kebersihan hati.
Lantas bagaimana dengan kita? Berusahalah untuk menyucikan hati dari perbuatan dan akhlak tercela dan sifat-sifat keji lainnya, sehingga ibadah yang kita lakukan benar-benar semakin menguatkan kekhusyukan dalam kehidupan pada berbagai sisi yang kita jalani sehari-hari.
Tekun ibadah sekaligus takut terperosok ghibah. Rajin beramal dan menjauhkan diri dari para peramal (dukun, klenik dan sebagainya). Semangat berbagi sekaligus berjuang membuang sifat iri-dengki. Serta tak pernah putus sholat sekaligus takut tiada sadar suka berkhianat. Demikianlah hati yang khusyuk.*