SETIAP orang pasti akan menemui suatu masa dimana ia mesti menempuh perjalanan. Setidaknya sedari kecil, hampir semua orang pernah melakukan perjalanan dari rumah ke sekolah, masjid, pasar atau madrasah. Dan, seiring bergulirnya waktu, jangkauan perjalanan kian jauh, sehingga tidak jarang mesti meninggalkan keluarga dalam waktu yang tidak sebentar.
Dalam sejarah peradaban Islam, perjalanan yang hingga kini manfaatnya bisa dirasakan sangat penting bagi kelangsungan hidup kaum Muslimin adalah perjalanan perawi hadits, katakanlah Imam Bukhari yang tidak jemu-jemu melakukan perjalanan untuk mendapatkan hadits-hadits Nabi Muhammad Shallallahu alayhi wasallam. Diriwayatkan tidak kurang dari 16 tahun Imam Bukhari menghabiskan waktu untuk berjalan memburu hadits.
Fenomena Alam
Menariknya, Al-Qur’an juga memberikan penekanan cukup kuat terhadap aktivitas yang kini biasa disebut dengan traveling ini.
أَفَلَمۡ يَسِيرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَتَكُونَ لَهُمۡ قُلُوبٞ يَعۡقِلُونَ بِهَآ أَوۡ ءَاذَانٞ يَسۡمَعُونَ بِهَاۖ فَإِنَّهَا لَا تَعۡمَى ٱلۡأَبۡصَٰرُ وَلَٰكِن تَعۡمَى ٱلۡقُلُوبُ ٱلَّتِي فِي ٱلصُّدُورِ ٤٦
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (QS: Al-Hajj [22]: 46).
Dengan demikian, perjalanan sejatinya erat hubungannya dengan kondisi hati dan panca indera kaitannya dalam upaya langsung meneguhkan keimanan kita kepada Allah Ta’ala.
Seperti yang belakangan ini dialami oleh saudara-saudara kita yang melakukan perjalanan dengan burung besi ke beberapa daerah yang terkena musibah asap, seperti Riau dan Pontianak. Acapkali mereka mesti menginap di hotel karena penundaan penerbangan karena asap tebal di daerah tujuan. Dalam situasi seperti itu, tidak ada pilihan selain menunda.
Secara empiris, tentu ini tidak mengenakkan, mungkin terasa amat menyebalkan. Tetapi, kalau diri mau berpikir dan memahami, tentu akan timbul ketenangan dalam hati dan penguatan iman, bahwa kalau Allah berkehendak lain, apa saja bisa tertunda bahkan tidak terjadi sama sekali, meski segenap daya telah dikerahkan agar semua bisa berjalan sesuai rencana.
Sementara itu, di langit Jakarta, terutama beberapa saat setelah lepas landas, lalu kita melihat melalui jendela pesawat ke bawah, maka pandangan mata yang biasa termanjakan dengan kecerahan sinar mentari, beberapa pekan terakhir ini tidak bisa dinikmati. Ada asap yang menyelimuti. Beruntung asap itu tidak sampai turun menyapa kita di permukaan tanah (semoga tidak pernah terjadi).
Demikianlah fenomena alam negeri ini untuk saat ini. Asap telah menjadikan banyak aktivitas manusia terkendala, bahkan sebagian telah menjadi korban. Oleh karena itu, berjalanlah di muka bumi dan amatilah fenomena alam agar bekerja akal kita dan tercerahkan hati kita bahwa Allah benar-benar Maha Kuasa.
Kemurahan Allah Ta’ala
Hal yang melekat dalam setiap perjalanan adalah munculnya rasa lelah. Oleh karena itu, seorang Muslim idealnya memahami bagaimana tuntunan Islam kala seorang Muslim dalam perjalanan. Misalnya mengetahui bahwa dibolehkannya menjama’ dan mengqashar sholat fardhu. Bahkan, andaikata perjalanan itu sangat penting dan bertepatan dengan bulan Ramadhan, Allah pun memberikan rukhsoh (keringanan) untuk tidak berpuasa (mengganti di hari yang lain).
Subhanallah, terhadap orang yang melakukan perjalanan amat jelas dan konkret kasih sayang yang Allah berikan. Oleh karena itu, jangan karena alasan lelah dalam perjalanan, lantas sholat ditinggal. Padahal, sudah ada keringanan dari Allah Ta’ala.
Doa Mustajab
Tidak cukup disitu, Allah juga memberikan jaminan dikabulkannya doa mereka yang dalam perjalanan. Safar (perjalanan jauh) adalah kesempatan untuk banyak berdo’a. Sebab di situlah waktu mustajab, dan dikabulkan do’a.
ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لَا شَكَّ فِيهِنَّ: دَعْوَةُ الْمَظْلُومِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ، وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ عَلَى وَلَدِهِ
“Tiga waktu diijabahi (dikabulkan) do’a yang tidak diragukan lagi yaitu: (1) do’a orang yang terzholimi, (2) do’a seorang musafir, (3) do’a orang tua pada anaknya.” (HR. Ahmad, At Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Dengan demikian, jadikanlah setiap perjalanan kita sebagai media terbaik untuk memohon kepada Allah Ta’ala, sehingga sepanjang perjalanan hati kita terus tersambung dengan Allah dan semakin tertutup pintu setan untuk menjerumuskan kita pada dosa dan kemaksiatan dalam perjalanan.
Jadi, buat siapa saja yang hobi traveling alias bepergian, hendaknya tidak semata-mata memikirkan keindahan alam dan kesenangan diri. Tapi juga mesti berpikir bagaimana menguatkan iman dalam dada. Karena dalam perjalanan ada banyak pelajaran dan keutamaan yang langsung Allah berikan. Wallahu a’lam.*