KHUMARAWAIH BIN AHMAD THULUN adalah pemimpin Daulah Thuluniyah yang berkuasa di Mesir saat itu. Di masa ia berkuasa, ada seorang pemuda yang memperoleh warisan harta dari ayahnya, yang ia habiskan, hingga yang tersisa adalah seorang budak perempuan. Namun karena terpaksa, aنhirnya budak itu pun dijualnya, dan saat itu yang membelinya adalah utusan dari Khumarawaih.
Budak wanita itu pun didandani dan disedikan rumah yang bagus, dan ketika sang tuan pemiliknya yang telah menjualnya bertemu dengan budak itu, ia merasa sangat kehilangan. Dengan perasaan sedih, si pemuda pergi menuju pemakaman Al Qarrafah, dan menangis di depan makam ayahnya.
Bertepatan dengan kejadian itu, Khumarawaih pun sedang melakukan ziyarah ke makam beberapa orang shalih, dimana ia rajin melakukan hal itu. Hingga ia melalui makam ayah si pemuda dan menyaksikannya menangis di depannya.
“Siapakah engkau wahai pemuda yang duduk di depan kubur, dan kubur siapa itu?” Tanya Khmarawai kepada si pemuda.
“Ini adalah kubur ayahku.” Jawab pemuda itu. “Kapan ayahmu meninggal?” Tanya Khumarawaih. “Sudah lama bertahun-tahun.” Khumarawaih pun berkata,”benar apa yang engkau katakan. Aku mendatangi pemakaman ini beberapa lama, namun aku baru melihatmu saat ini. Apa yang mengingatkanmu untuk melakukan ziyarah? Tentu ada suatu perkara yang besar.”
“Wahai Tuanku, ayahku meninggalkan untukku harta yang banyak dan aku habiskan dengan membelanjakannya, hingga yang tersisa adalah seorang budak perempuan yang kumiliki dari orang yang paling aku hormati. Namun aku butuh untuk menjualnya, maka aku jual ia kepada wakil amir.” Kata si pemuda.
“Itu pasti si fulanah.” Kata Khumarawaih.
“Ya, aku benar-benar linglung setelah berpisah dengannya.” Kata si pemuda.
Khumarawaih pun menangis setelah mendengar apa yang dikatakan si pemuda. “Budak itu di rumah yang ada padaku, yang sengaja aku sediakan untuknya. Dan aku telah menghibahkan kepadamu rumah itu juga budaknya dan segala yang ada padanya dalam mencari ridha Allah Ta’ala. Jika engkau mau, tinggallah di rumah itu, namun jika tidak bawalah budak itu ke tempatmu, dan keberikan untukmu biaya untuk mencukupi.”
Akhirnya Amir Khumarawaih memerintahkan wakilnya untuk menyerahkan rumah, budak dan segala yang ada padanya kepada si pemuda. (Mursyid Az Zuwar, 1/274)