Hidayatullah.com | ADA pihak yang menyeru untuk meninggalkan pengamalan doa berbuka puasa Allahumma laka shumtu yang sudah jamak diamalkan oleh masyarakat Muslim. Hal itu disebabkan kerena hadits yang menjadi dasar pengamalan doa tersebut dinilai dhaif. Nah, apa kata para ahlul ilmi dalam masalah ini?
Pendapat Para Ulama Mengenai Status Hadits
عَن معَاذ بن زهرَة أَنه بلغه ” أَن النَّبِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ كَانَ إِذا أفطر قَالَ : اللَّهُمَّ لَك صمت وَعَلَى رزقك أفطرت رواه أبو داود
Artinya: Dari Mu’adz bin Zuhrah, bahwa sesungguhnya ia telah sempai kepadanya bahwasannya Nabi Shallallahu Alalihi Wasallam jika berbuka, ia berkata,”Ya Allah, untuk-Mu puasaku dan atas rizki-Mu aku berbuka.” (Riwayat Abu Dawud)
Al Hafidz Ibnu Al Mulaqqin berkata mengenai hadits ini,”Isnad ini hasan, tetapi ia mursal.” (Al Badr Al Munir, 5/271)
Demikian juga apa yang dikatakan oleh Syeikh Al Islam Zakariya Al Anshari,”Diriwayatkan Abu Dawud dengan sanad hasan, akan tetapi ia mursal.” (Asna Al Mathalib, 1/422)
Maski mursal, namun ada kemungkinan bahwasannya hadits itu bersambung. Al Hafidz Ibnu Hajar berkata, ”Dan memungkinkan kondisi hadits bersambung meski pun Mu’adz seorang tabi’in, karena ada kemungkinan bahwasannya telah menyampaikan kepadanya seorang Sahabat. Dengan i’tibar ini, Abu Dawud menuliskannya di As Sunan, dan dengan i’tibar lainnya ia menulisnya di Al Marasil.” (dalam Al Futuhat Ar Rabbaniyah, 4/341).
Hadits Mursal Hujjah bagi Para Imam
Hadits mursal sendiri merupakan hujjah bagi Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan riwayat paling masyhur dari Imam Ahmad, bahwa ia juga merupakan hujjah. Adapun Imam Asy Syafi’i berhujah dengannya dengan beberapa syarat. (lihat, Al Bahr Al Muhith (4/404), Nihayah As Sul (2/721, 722)).
Bagi Imam Asy Syafi’i, jika ada hadits mursal yang diriwayatkan, sedangkan hadits itu juga diriwayatkan sicara musnad, baik hadits musnad itu shahih, hasan atau dha`if, maka hadits musnad itu menguatkan hadits mursal. (lihat, Fath Al Mughits, 1/256, 257).
Dan dalam hal ini datang pula hadits yang diriwayatkan secara musnad sehingga Al Hafidz Ibnu Hajar pun berkata saat mengomentari Mu’adz yang mursal itu, ”Sesungguhnya Ad Daraquthni dan Ath Thabarani keduanya meriwayatkannya dengan sanad bersambung, akan tetapi ia dhaif, dan ia merupakan hujjah di posisi seperti ini.” (dalam Al Futuhat Ar Rabbaniyah, 4/341).
Maka, meski hadits mursal, hadits Mu’adz di atas merupakan hujah bagi para Imam Madzhab Empat, baik yang menerima hadits mursal secara mutlak atau yang menerima dengan syarat seperi Imam Asy Syafi’i.
Maka tidaklah heran, jika Imam Asy Syaukani mengomentari hadits Mu’adz di atas, ”Di dalamnya terkandung dalil atas disyari’atkannya bagi seseorang yang berpuasa berdoa saat berbuka dengan apa yang terkandung dari do’a itu.” (dalam Nail Al Authar, 4/595).
Adapun hadits yang diriwayatkan secara musnad antara lain dari Anas bin Malik dan Ibnu Abbas, Radhiyallahu `anhum.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ: ” بِسْمِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ، وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ. أخرجه الطبراني
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah ﷺ jika berbuka puasa barkata, ’Dengan nama Allah, Ya Allah untuk-Mu puasaku dan atas rizki-Mu aku berbuka.” (Riwayat Ath Thabarani).
Adapun status hadits Anas bin Malik Radhiyallahu `anhu ini. Al Hafidz Al Haitsami berkata, ”Diriwayatkan Ath Thabarani dalam Al Ausath di dalam periwayatannya ada Dawud bin Zibriqan, dan ia dhaif.” (dalam Majma’ Az Zawa`id, 3/371).
عن ابن عباس رضي الله عنهما, قال: كان النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذا أفطر قال: “اللهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ فَتَقَبَّلْ مَنِّي إِنَّكَ أَنْتَ السَمِيْعُ الْعَلِيْمُ . أخرجه الطبراني, الدارقطنى, ابن السني
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu `anhuma ia berkata,”Nabi ﷺ jika berbuka ia berkata,”Ya Allah, untuk-Mu puasaku dan atas rizki-Mu aku berbuka, maka terimalah dariku, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.’” (Diriwayatkan oleh Ath Thabarani, Ad Daraquthni, Ibnu As Sunni)
Syeikh Mahmud Sa’id Mamduh berkata mengomentari seorang perawi hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu `anhuma di atas,”Dan Abdul Malik bin Harun muttaham.” (dalam At Ta’rif, 5/448)
Walhasil, hadits-hadits mengenai doa berbuka puasa Allahumma laka shumtu, diriwayatkan secara mursal dan musnad. Periwayatan secara mursal derajatnya hasan. Sedangkan periwayatan secara musnad sanad-sanadnya nya dhaif. Mursal dalam posisi itu merupakan hujah bagi para imam dalam Madzhab Empat. Berdasarkan perkataan para ulama di atas, seperti Al Hafidz Ibnu Hajar, juga Imam Asy Syaukani maka hadits berkenaan dengan doa berbuka puasa dengan lafadz di atas boleh diamalkan.
Madzhab Empat Sunnahkan Pengamalan Doa Berbuka “Allahumma laka shumtu”
Madzhab Al Hanafi
Imam Ath Thahthawi Al Hanafi berkata,”Dan dari kesunnahan ketika berbuka, mengatakan,”Allahumma laka shumthu wa bika amantu wa ‘ala rizkika afthartu wa shaumu ghadd min syahri ramadhan nawaitu faghfirli ma qaddamtu wa ma akhkhartu.” (Hasyiyah ‘ala Al Maraqi Al Falah (1/450)
Dalam naskah doa, ditambah dengan kata “wa bika amantu” (dan dengan kepada-Mu aku beriman), juga beberapa tambahan lain, yakni talafudz dengan niat untuk berpuasa besok. Maka dalam hal ini Mulla Ali Al Qari Al Hanafi berkata,”Dan tambahan “wa bika amantu” tidak memiliki asal, meski maknanya shahih. Demikian juga tambahan “wa alaika tawakkaltu wa li shaumi ghadd nawaitu” (dan kepada-Mu aku bertawakkal dan untuk puasa esok aku berniat) dan niat dengan lisan merupakan bid’ah hasanah.” (Mirqat Al Mafatih, 6/304)
Pendapat yang sama dinyatakan dalam beberapa kitab fiqih Al Hanafi seperti Majma’ Al Anhar (1/365), Tabyin Al Haqa`iq (1/342), juga Al Fatawa Al Hindiyah, bahwa berdoa dengan lafadz di atas merupakan kesunnahah.
Madzhab Al Maliki
Dalam madzhab Al Maliki, Syeikh Ahmad Ad Dardir mengatakan,”Dan disunnahkan mengatakan (ketika berbuka), Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizkika afthartu faghfirli ma qaddamtu wa ma akhkhartu. Dan di Hadits: Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizkika afthartu dzahaba adz dzama’u wab talatil uruqu wa tsabatal ajru insya’allah.” (Asy Syarh Al Kabir, 1/515)
Hal yang sama juga disampaikan dalam beberapa kitab madzhab Al Maliki seperti dalam Bulghah As Salik (1/446) dan Mawahib Al Jalil (3/306).
Madzhab Asy Syafi’i
Imam An Nawawi berkata,” Dan disunnahkan berkata saat berbuka: Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizkika afthartu.” (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 6/ 362)
Yang demikian itu menurut Imam An Nawawi merupakan pendapat Imam Abu Ishaq Asy Syirazi dan seluruh pengikut Madzhab Asy Syafi`i (Al Majmu’ Dyarh Al Muhadzdzab, 6/ 362)
Syeikh Al Islam Zakariya Al Anshari menyatakan,”Dan hendaklah bagi orang yang berpuasa berkata setelah berbuka dan dalam naskah lainnya ketika berbuka: Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizkika afthartu, dalam rangka ittiba’.” (Asna Al Mathalib, 1/442)
Madzhab Al Hanbali
Ibnu Qudamah Al Maqdisi berkata,”Dan disunnahkan menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur dan berbuka dengan kurma dan jika tidak ada maka dengan air, dan berkata ketika berbuka puasa: Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizkika afthartu subhanaka allahuma wabihamdika. Allahumma taqabbal minna innaka antas sami’ ul alim.” (Al Muqni` 1/105)
Hal yang sama dinyatakan dalam Al Hidayah (1/161) karya Al Kalwadzani, juga dalam Al Iqna` fi Fiqh Al Imam Ahmad bin Hanbal (1/310) karya Abu An Naja Al Hijawi, demikian pula dalam Al Inshaf (3/235) karya Al Mardawi.
Dengan demikian, pengamalan do`a “Allahumma laka shumtu”, dengan berbagai tambahannya yang telah dinyatakan para ulama dalam kitab-kitab fiqih, merupakan perkara yang disunnahkan oleh para ulama dalam Madzhab Empat. Wallahu a’lam bishawab.*/ Thoriq, mahasiswa Pasca Sarjana Syari’ah Islamiyah Ma’had ‘Ali li Ad Dirasat Al Islamiyah Mesir