GENERASI unggul yang hadir dalam perjalanan sejarah kehidupan manusia tidak pernah lahir tanpa pengasuhan orang tuanya sendiri, terutama ibu. Imam Syafi’i, tumbuh menjadi ulama lintas zaman karena didikan ibunya yang luar biasa. Demikian pula dengan Imam Bukhari, perawi hadtis terpercaya itu juga tumbuh dalam perawatan langsung ibunya sendiri.
Bahkan di dalam Al-Qur’an, Nabi Musa juga memiliki ketangguhan mental berkat cinta kasih ibunya. Pun demikian halnya dengan Nabi Ismail yang memiliki ketaatan luar biasa, semuanya karena peran orang tuanya sendiri, utamanya sang ibu, Siti Hajar.
Namun, kini peran penting dan strategis ini tidak menjadi pilihan favorit banyak kaum hawa. Kebutuhan ekonomi telah menjadi alasan kuat para orang tua, baik ayah dan ibu terjun semua ke dunia kerja. Bahkan, tidak jarang karena alasan kerja, banyak anak dititipkan kepada kakek dan nenek, sebagian malah menitipkannya di penitipan anak (baby care).
Melelahkan
Merawat anak dengan tangan sendiri memang sangat melelahkan, demikian pengakuan seorang ibu tiga anak yang merupakan sarjana pendidikan dari sebuah universitas pendidikan di Bandung.
Akan tetapi fakta yang dihindari banyak kaum hawa itu justru menjadikan dirinya tertantang untuk bisa menikmati merawat tiga anaknya sendiri. Lelah baginya adalah sebuah mahar untuk masa depan anak-anaknya.
“Merawat anak dengan tangan sendiri memang sangat melelahkan, apalagi ketika anak sudah lebih dari satu dan dua. Lelahnya memang sangat luar biasa, bukan fisik semata, tetapi juga pikiran dan perasaan. Terlebih kala semuanya menangis dengan permintaan yang berbeda-beda. Tetapi inilah mahar yang harus dibayar oleh seorang ibu untuk masa depan putra-putrinya,” jelasnya.
Fisik menjadi lelah karena anak yang belum mengerti, sehingga sering kali menghamburkan apa pun yang dilihatnya menarik untuk dijadikan mainan. Akibatnya rumah tidak pernah bersih dan rapi. “Nah kalau sudah seperti itu, otomatis harus dibersihkan lagi, bukan sekali dua kali, tapi berkali-kali” terangnya.
Namun, rasa lelah itu sekejap terbayar kala melihat senyum anak-anak. Kadang teringat juga kelak mereka akan menjadi penerus perjuangan. Hanya saja, kala sudah sangat lelah, lebih baik istirahat dengan mengajak anak bermain, meskipun rumah kadang masih berantakan. Jika tidak demikian, maka emosi akan cenderung negatif.
Istirahat dan bermain bersama anak adalah cara terbaik untuk menstabilkan emosi, sehingga energi positif kembali terhimpun dan kembali bisa digunakan untuk merawat anak di masa-masa berikutnya.
Harapan
Demikianlah sekelumit cerita hari-hari seorang ibu merawat tiga anak yang masih balita semua. Penuh tantangan untuk bisa mengendalikan diri. Setiap hari harus bisa sabar, lemah lembut dalam merawat anak-anaknya.
Namun demikian, di balik interaksi yang menguras energi, pikiran dan perasaan dalam merawat anak itu, seorang ibu akan memiliki harapan yang lebih besar terhadap masa depan anaknya.
“Kala anak-anak tertidur semua, seketika muncul harapan yang begitu besar di dalam hati agar Allah menjadikan mereka anak-anak yang sholeh-sholehah dan memiliki kemampuan tertentu yang menjadikannya bermanfaat bagi kehidupan umat di masa depan,” ucapnya.
“Kala harapan itu muncul, rasa cinta juga semakin kuat, bahkan rasanya ikatan batin ini dengan anak-anak semakin tak terpisahkan. Ada perasaan bahagia yang tak bisa terucapkan. Sangat membahagiakan, meski itu masih sebuah harapan,” imbuhnya.
Manivestasi Iman
Dalam konteks merawat dan mendidik anak, tugas ini sebenarnya bukan semata tugas naluriah kemanusiaan, lebih dari sekedar apa pun, merawat anak dengan penuh kesungguhan dan pengorbanan adalah manivestasi dari iman.
Di dalam Al-Qur’an, Allah berfirman;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahrim [66]: 6).
Jika dalam masa balita saja seorang ibu harus demikian lelah, maka kala dewasa, mungkin fisik sudah tidak menjadi tantangan. Tetapi, moral dan spiritual sungguh tak bisa dikendalikan hanya dengan intruksi, butuh keteladanan.
Keterlibatan yang intensif seorang ibu dalam merawat dan mendidik anaknya sejak dini dengan tanganya sendiri akan memudahkan tugas-tugas berikutnya seorang ibu dan ayah dalam mengarahkan akhlak anak.
Dari sini dapat kita lakukan pendekatan logika, mengapa Nabi Ismail begitu taat kepada ayah dan ibunya dalam hal ibadah kepada Allah Ta’ala? Ternyata itu semua terjadi tidak lain karena sejak lahir, balita, anak-anak dan remaja, Nabi Ismail tidak pernah dididik, kecuali oleh ibunya sendiri.
Hal inilah yang belakangan diungkap oleh seorang professor psikologi perkembangan Amerika Serikat, Thomas Lickona, bahwa tumbuh kembangnya intelektual dan moral setiap anak lahir dari rumah mereka sendiri. Artinya, tidak mungkin akan muncul generasi unggul dari rumah yang anak-anaknya tidak mendapat hak pendidikan yang benar dari kedua orangtuanya.
Implementasi Cinta
Selain manivestasi iman, merawat anak dengan tangan sendiri merupakan implementasi cinta. Demikian disampaikan oleh Thomas Lickona dalam bukunya Character Matter.
“Sejumlah studi menunjukkan pentingnya kasih sayang orang tua untuk pertumbuhan kesehatan anak-anak. Cinta membuat anak merasa aman, signifikan, dan berharga. Ketika anak-anak merasa dicintai, mereka menjadi terikat secara emosional kepada orangtua. Keterikatan itu membuat mereka lebih responsif terhadap otoritas dan menerima nilai-nilai yang diajarkan orangtua,” tulisnya.
Lebih dari itu, Lickona menegaskan bahwa cinta kepada anak itu berarti menghabiskan waktu dengan anak-anak. Artinya, sehari semalam, sangat ideal orang tua, utamanya ibu senantiasa ada di samping anak-anak.
Dalam konteks ini, maka apa yang Allah tegaskan di dalam friman-Nya agar kaum hawa tidak keluar dari rumah kecuali penting, bermakna lebih kompleks, karena kaum ibu harus konsentrasi dan bersungguh-sungguh merawat dan mendidik anak-anaknya di rumah. Bukan malah yang lainnya.
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَ
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.” (QS. Al-Ahzab [33]: 33).*