Hidayatullah.com | BERINTERAKSI dengan pasangan hidup menjadi hal yang amat penting. Bahkan para ulama memandang romantika kehidupan suami-istri adalah bagian dari pengamalan Dien ini.
Para ulama dikenal sebagai ahli ibadah. Namun bukan berarti kehidupan keluarganya kering dari bisikan cinta. Mereka bahkan selalu romantis!
Bagaimana interaksi suami-istri para ulama salafush-shalih? Simak kisah dalam tulisan seri kedua di bawah ini, yang dinukil dari berbagai kitab karya para ulama.
Para Ahli Ibadah pun “Romantis”
Abu Utsman al-Hirri (289H) adalah seorang ulama Naisabur yang shalih. Suatu saat beliau ditanya, “Wahai Abu Utsman, amalan apa yang engkau harapkan bisa sebagai bekal menghadap Allah dari apa yang telah engkau lakukan?”
Abu Utsman lalu berkisah:
Waktu aku tinggal di ar-Rai, para penduduknya mendesakku agar menikah, namun aku menolaknya. Setelah itu datanglah seorang wanita yang menyatakan, “Wahai Abu Utsman, aku telah jatuh cinta kepadamu, hingga aku tidak bisa tidur. Dan aku memutuskan memohon kepada Allah agar bisa menikah denganmu.”
Aku pun menjawab, “Engkau masih memiliki ayah?”
Wanita itu menjawab, “Ya, dia adalah seorang penjahit.”
Akhirnya, aku berjanji akan menikahinya dan ia pun bergembira. Kemudian dilakukanlah akad nikah dengan para saksinya. Namun setelah resmi menjadi pasangan sah dan melihat fisiknya, aku akhirnya mengetahui bahwa salah satu mata istriku buta dan kakinya pincang, serta memiliki wajah amat buruk. Saat itu aku mengucapkan, “Ya Allah segala puji bagi-Mu atas apa yang engkau takdirkan kepadaku.”
Abu Utsman menjelaskan bahwa keluarganya mencela atas keputusan menikahi wanita itu, “Namun aku tetap berusaha membahagiakan wanita itu. Sampai suatu saat ia menginginkan agar aku tetap bersamanya, maka aku rela meninggalkan majelis demi untuk menjaga perasaannya. Kehidupan yang demikian itu aku jalani hingga 15 tahun dan terkadang aku merasa tersiksa dengan keadaaan demikian. Namun aku sama sekali tidak pernah mengeluhkan hal itu kepadanya, hingga akhirnya ia wafat.”
Abu Utsman pun menutup kisahnya, “Maka dari amalanku, yang aku harap bisa menjadi bekal kepada Allah adalah usahaku untuk menjaga perasaannya.” (Shifat ash-Shafwah, 4/105, 106).
Abu Utsman al-Hirri adalah ulama yang menjaga shalat dan amalan shalih lainnya. Ternyata ia melihat bahwa amalan yang menolongnya kelak bukanlah hal itu, namun usahanya dalam membahagiakan sang istri.
Demikianlah yang terjadi. Meski termasuk golongan ulama dan ahli ibadah, baik dari pihak suami dan istri sangat menjaga hubungan baik keduanya.
Hal yang hampir sama dilakukan oleh Syaikh Abdullah al-Manufi, murid dari Syaikh Khalil, penulis Mukhtashar al-Khalil yang menjadi rujukan fiqih Maliki. Ulama Mesir yang dikenal sebagai ulama tawadhu’, sungguh-sungguh berkhidmat kepada gurunya hingga wafat. Ulama yang selalu menjaga makanan yang dikonsumsi serta selalu menjaga perkataan dan perbuatan di hadapan sang istri.
Syaikh Abdullah al-Manufi sendiri menikah dengan seorang budak perempuan yang sudah tua, yang selalu keluar ingus dari hidungnya. Meski demikian, Syaikh Abdullah selalu menyiapkan sandal untuk istrinya tersebut. Ia bahkan pernah mengatakan kepada istrinya, “Tolong maafkan saya, saya tidak pantas menjadi suami Anda.” (al-Kawakib ad-Durriyah, 3/41).
Para ahli ibadah amat menjaga perasaan pasangan. Begitupun para ahli ibadah dari kalangan wanita, semisal Ummu Huraisy. Ia amat berhati-hati dengan makanan yang dikonsumsi.
Ummu Huraisy dinikahi oleh seorang tentara yang memperoleh gaji dari negara. Demi kehati-hatiannya, ia memilih tidak makan dari gaji suaminya, namun makan dari jerih payahnya sendiri.
Jika sang suami datang, Ummu Huraisy memperlihatkan seolah-olah sedang makan. Ia meletakkan piring makanan di depannya, namun jari-jarinya selalu berada di luar piring tersebut. (Shifat ash-Shafwah, 4/39).
Kisah di atas tidak otomatis menunjukkan bahwa Ummu Huraisy menganggap gaji suaminya yang berasal dari penguasa adalah harta yang haram. Ini karena sebagian ulama dan ahli ibadah memilih wara’ (berhati-hati) terhadap harta dari penguasa. Ummu Huraisy berusaha mengikuti nasihat ulama tanpa harus mengecewakan suaminya.
Kisah lain. Suatu hari Ahmad bin Abu al-Hiwari dikhitbhah oleh seorang wanita yang bernama Rabi’ah. Ulama ahlli ibadah ini sebenarnya kurang berminat menikah. “Demi Allah, aku tidak memiliki minat terhadap wanita karena kesibukanku terhadap kondisi diriku sendiri,” katanya.
Rabi’ah menjawab, “Demi Allah, aku lebih sibuk terhadap diriku sendiri dibanding dirimu. Dan aku sendiri tidak memiliki syahwat terhadap laki-laki. Hanya saja aku memiliki harta banyak peninggalan dari suamiku dan aku ingin membelanjakannya untuk saudaraku ahli ibadah. Aku mengetahui bahwa engkau orang shalih, hal itu aku lakukan agar menjadi jalanku menuju Allah.”
Ahmad kemudian meminta waktu untuk meminta izin kepada guru beliau. Ternyata sang guru menjawab, “Nikahilah dia. Sesungguhnya dia adalah wali Allah, perkataannya adalah perkataan para shiddiqin.”
Akhirnya Ahmad menikahi Rabi’ah. Tidak hanya itu, Ahmad juga menikah dengan tiga wanita lainnya. Sedangkan Rabi’ah memberikan makanan-makanan yang lezat dan memperlakukan Ahmad dengan baik, dan mengatakan, “Pergilah dengan aktivitas dan tenagamu kepada para istrimu.” (Thabaqat al-Auliya, hal 26).* Toriq/ Majalah Suara Hidayatullah edisi Januari 2017