Oleh: Ahmad Sadzali, Lc
SUDAH menjadi rahasia umum bahwa hukum di negara kita ini tengah dilanda masalah serius. Permasalahannya cukup kompleks, karena bermula dari proses pembuatan hingga penegakan hukumnya. Masyarakat awam pun dapat merasakannya.
Buktinya, gejala ketidakpercayaan kepada hukum sudah mulai terlihat di tengah masyarakat. Jadi tidak berlebihan jika dikatakan bahwa hukum di Indonesia sedang mengalami krisis yang cukup akut.
Mulai dari proses pembuatan hukum sudah banyak yang bermasalah. Produk hukum setidaknya dapat kita klasifikasikan menjadi tiga hal, yaitu: 1) Peraturan Perundang-Undangan; 2) Vonis; dan 3) Kebijakan Publik. Dari ketiga jenis produk hukum ini, ternyata banyak yang lahir dari tangan-tangan yang masih belum “kompeten” untuk membuatnya.
Misalnya, lihat saja berapa banyak anggota dewan yang seharusnya berfungsi sebagai legislator, namun masih gagap dalam pembentukan perundang-undangan. Di dalam gedung dewan, tak sedikit dari mereka yang hanya menjadi pelengkap voting saja.
Betapa tidak, soalnya mereka dipilih bukan berdasarkan kompetensi sebagai legislator, akan tetapi hanya berdasarkan suara terbanyak. Naasnya lagi, suara terbanyak itu pun diperoleh dari transaksi politik uang. Belum lagi proses pembuatan perundang-undangan yang menggunakan pendekatan bisnis untung rugi, bukan keberpihakan kepada rakyat.
Kemudian soal penegakan hukum, juga masih belum bisa dikatakan benar-benar tegas dan berkeadilan. Bukan maksud untuk mengeneralisir, namun masih banyak dari penegak hukum di negeri ini yang tidak dapat lepas dari belenggu intervensi. Jika tidak diintervensi oleh kekuasaan politik, berarti diintervensi oleh kekuasaan uang.
Dalam kuliah penulis dengan Moh. Mahfud MD, dengan tegas beliau mengatakan bahwa mafia peradilan di negeri ini masih marak terjadi. Kong-kalikong antara tersangka/tergugat, pengacara, jaksa, hingga hakim dalam suatu perkara masih sering terjadi. Dan puncaknya, Mahkamah Konstitusi pun ikut ternodai dengan kasus Akil Mocktar. Dan lagi-lagi, ternyata penegak hukumnya pun masih banyak yang kurang “kompeten” di bidangnya.
Maka menjadi wajib di tengah atmosfer politik menjelang pemilihan presiden ini, isu tentang problematika hukum menjadi salah satu perhatian utama. Ini merupakan pekerjaan besar bagi presiden dan pemerintahan selanjutnya. Persoalan hukum bukan persoalan main-main. Hukum merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari syarat untuk mendirikan negara modern, di samping perlindungan HAM dan demokrasi.
Lantas apa yang salah dengan hukum di Indonesia?
Salah satu yang menjadi penyakit hukum di negara ini adalah terjadinya krisis filsafat hukum. Tak sedikit dari pembentuk maupun penegak hukum yang tidak cukup “kompeten” dalam menggunakan filsafat hukum. Mereka belum berhasil untuk mengungkap hakekat hukum itu sendiri. Akibatnya mereka sering kali lupa menggunakan moral dalam melakukan proses hukum.
Ketidakkompetenan itu sengaja diberi tanda petik, untuk tidak mengatakan orang-orang yang bergulat dalam bidang hukum tersebut benar-benar bodoh atau tidak paham soal filsafat hukum. Di antara mereka mungkin orang yang sangat pandai dan terpelajar dalam ilmu hukum beserta filsafat hukumnya. Tapi mungkin mereka lupa menggunakannya. Atau bisa jadi sengaja tidak menggunakannya.
Filsafat hukum merupakan ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis. Tujuan dan manfaatnya adalah supaya kita dapat berpikir kritis dan radikal terkait persoalan hukum. Dengan begitu, hukum di negeri ini tidak dibentuk dan ditegakkan secara kaku sehingga lepas dari hakekat hukum itu sendiri yang seharusnya menjunjung tinggi keadilan.
Akan tetapi filsafat ini harus dikawal ketat oleh agama. Terdapat nilai-nilai universal dari agama yang dapat digunakan untuk mengawal filsafat hukum. Lebih-lebih nilai-nilai yang terdapat dalam agama Islam. Dengan adanya pengawalan dari agama ini, maka akan membentuk filsafat hukum yang tidak sekuler.
Kolaborasi antara filsafat dan agama ini akan menghasilkan moral. Dari rahim moral inilah seharusnya hukum lahir. Dengan demikian, tak ada satu pun produk hukum yang lepas dari moral. Inilah salah satu tujuan lainnya dari penerapan filsafat hukum dalam proses pembentukan sampai penegakannya. Supaya moral bisa menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hukum itu sendiri.
Mungkin sekarang sudah bukan zamannya lagi menerapkan positivisme ala Hans Kelsen. Aliran positivisme hukum yang menyatakan bahwa hukum itu harus bersifat murni dan dipisahkan dari moral, sudah mulai usang. Di negara-negara Barat pun tengah perkembang pesat kajian-kajian hukum dengan pendekatan sosiolegal. Jadi tujuan hukum saat ini bukan hanya soal kepastian hukum, tetapi juga soal keadilan.
Buktinya, konstitusi UUD 1945 pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, setelah diamandemen sudah tidak lagi mencantumkan “(rechstaat)”. Istilah rechstaat atau civil law yang mengutamakan kepastian hukum tersebut telah dihapuskan dari konstitusi UUD 1945 dalam amandemen ketiga. Artinya, bentuk negara hukum Indonesia berada di tengah-tengah antara rechstaat (civil law) dan rule of law (common law). Rule of law (common law) adalah bentuk lain dari negara hukum yang lebih mengutamakan keadilan.
Perpaduan antara civil law dan common law inilah selanjutnya yang memicu lahirnya hukum progresif. Hukum progresif secara sederhana dapat dipahami bahwa hukum akan terus menjunjung tinggi hukum tertulis (kepastian hukum) sepanjang hukum itu berkeadilan. Namun jika hukum tertulis itu dipandang tidak berkeadilan, maka seorang hakim boleh melanggar hukum tertulis demi sebuah keadilan.
Maka untuk menuju hukum prograsif ini, peranan filsafat hukum sangat diperlukan sekali. Bahkan bisa dikatakan bahwa filsafat hukum adalah palang pintu masuknya. Dengan menggunakan filsafat hukum lah, hukum di Indonesia bisa diterapkan demi kepastian hukum sekaligus demi keadilan.
Akan tetapi jika filsafat hukum ini tidak dipahami dan diterapkan dengan baik, maka yang akan timbul selanjutnya adalah krisis spiritualitas ilmu hukum. Krisis spiritualitas ilmu hukum akan melahirkan krisis spiritualitas hukum. Produk hukum yang dikeluarkan pun kosong dari unsur moral yang berkeadilan.
Inilah yang menjadi tugas besar para pemimpin yang akan datang dalam membenahi hukum di negeri ini. Mereka harus pandai dalam menggunakan filsafat hukum. Bagi mereka yang lupa filsafat hukum, silahkan diingat kembali. Bagi mereka yang sengaja tidak memakainya, silahkan dipakai kembali. Dan bagi mereka yang tidak paham, silahkan mempelajarinya.
Ke depannya, agenda pembangunan hukum harus menjadi salah satu agenda yang diprioritaskan. Bahkan sebenarnya harus menjadi agenda utama. Karena pada dasarnya segala problematika yang dihadapi oleh bangsa ini akan tertumpu pada hukum, baik itu pembentukannya maupun penegakannya.
Bahkan ini tak hanya tugas para pemimpin saja. Masyarakat secara umum juga harus turut berpartisipasi dalam pembangunan hukum. Wallahu’alam.*
Mahasiswa Pascasarjana Fak. Hukum UII, Yogyakarta, asal Martapura