Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Nesia Andriana
Dari hadis di atas kita juga belajar akan sikap Rasulullah صلى الله عليه وسلم yang bersikap preventif dan sensitif membaca dan menjauhi hal-hal yang bisa menimbulkan prasangka. Rasulullah صلى الله عليه وسلم dapat membaca bahasa tubuh sahabat yang melihatnya, sensitif, lalu mengambil langkah preventif mencegah berkembangnya suu-dhon di hati para sahabat tersebut رضي الله عنهم.
Lalu, bagaimana jika kita yang menjadi “pihak yang melakukan” pelaku su’u-dhon? Apakah mungkin? Tentu saja. Karena, sebagaimana dikatakan dalam hadis di atas, “Syaithan itu mengalir bersama aliran darah”, sedangkan darah itu pasti mengalir di setiap tubuh anak adam.
Terdapat hadis bagaimana Rasulullah صلى الله عليه وسلم menjaga dirinya dari kemungkinan munculnya sikap su’u-dhon ini. Yaitu di antaranya agar tidak berada dalam situasi “tajassus“, memata-matai, yang sangat rentan menyebabkan su’udhon.
Hal ini termuat dalam sebuah hadis panjang yang menceritakan bahwa sudah menjadi menjadi kebiasaan Rasulullah صلى الله عليه وسلم bila dari bepergian, tidak langsung masuk kota, tapi berhenti dulu di suatu tempat seakan-akan memberi kesempatan para sahabat dan keluarganya untuk bersiap-siap menyambutnya… [Abû al-Husein Muslim Ibn al-Hajjâj Ibn Muslim al-Qusyairî al-Naisaburî, Sahih Muslim, Kitab Fadâilu al-Sahâbah, Bab Fadâilu Ummu Sulaym Radiyallâhu ‘Anhâ, No. 6404, Juz 7, h. 146]
Tajassus, atau mengamat-amati atau memata-matai pihak lain yang bukan dalam situasi perang, adalah negatif dan membahayakan sendi-sendiri kebersamaan dan kerukunan dalam masyarakat. Sebagaimana disebutkan dalam hadis:
عَنْ مُعَاوِيَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « إِنَّكَ إِنِ اتَّبَعْتَ عَوْرَاتِ النَّاسِ أَفْسَدْتَهُمْ أَوْ كِدْتَ أَنْ تُفْسِدَهُمْ »
Dari Mu’awiyah ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah bersabda: “Jika engkau mengamat-amati (menulusuri) aurat (aib) orang-orang, berarti engkau merusak mereka, atau hampir-hampir engkau merusak mereka.” [Abû Dâwûd Sulaymânu ibnu al-As‘ats ibnu Ishâqi, Sunan Abû Dâwûd, Kitab Âdâb, Bab al-Nahyi ‘An al-Tajassusi, No. 4888, Dâr al-Risâlah al-‘Âlamiyyah, 2009, Juz 7, h. 250]
Oleh karena itu, setiap kita hendaknya mengingat kaidah ini. Biasanya, sepasang suami-istri yang memata-matai pasangannya, hubungan antara keduanya tidak menjadi lebih baik, bahkan biasanya menjadi lebih buruk.
Emosi dan cemburu harus disikapi dengan lebih bijak dan matang, terutama di zaman digital saat ini. Verifikasi kabar, menahan diri dari sikap reaktif, juga menahan diri dari tajassus atau bahasa orang muda, stalking, juga perlu dikedepankan. Cukuplah mengamalkan hal-hal tersebut dengan niat mengikuti perintah Allah ta’ala dan sunnah Rasul-Nya.
Emosi dan cemburu juga harus diletakkan secara proporsional, dengan tidak mengesampingkan rasa keadilan. Setiap orang bisa khilaf, maka memaafkan itu lebih baik. Juga karena kebaikan dan keburukan akan selalu menyertai setiap sisi kehidupan, dalam setiap interaksi, dengan individu manapun. Demikianlah sifat dunia yang telah ditetapkan Allah subhanahu wa ta’ala, sebagai ajang ujian bagi hamba-hamba-Nya:
كُلُّ نَفۡسٖ ذَآئِقَةُ ٱلۡمَوۡتِۗ وَنَبۡلُوكُم بِٱلشَّرِّ وَٱلۡخَيۡرِ فِتۡنَةٗۖ وَإِلَيۡنَا تُرۡجَعُونَ ٣٥
“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kami akan Menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan kamu akan dikembalikan hanya kepada Kami.” [QS: al-Anbiya’ [21]:35]. Wallaahu a’lam bish showwaab.*
Penulis alumni STIU Darul Hikmah – Bekasi