Hidayatullah.com | AMIR Syujak ad-Dien asy-Syarzi adalah penguasa Kairo di masa Kamiliyah (630 H). Ia mengisahkan pertemuannya dengan seorang tua berkulit coklat, sedangkan anak-anaknya semua berkulit terang.
Merasa heran, asy-Syarzi pun menanyakan hal itu. Kata laki-laki itu, ibu anak-anaknya adalah seorang wanita bangsa Frank (Eropa). Mereka menikah di masa Malik Nashr Shalahuddin.
Asy-Syarazi semakin penasaran. Akhirnya laki-laki itupun bersedia untuk bercerita.
Ketika muda dulu, laki-laki itu berdagang kapas di Syam. Seorang budak wanita Frank membeli kapas di tokonya. Karena terpesona oleh kecantikannya, ia memilih untuk memberikan kapas dengan cuma-cuma kepada budak tersebut.
Beberapa saat kemudian, budak itu kembali membeli kapas. Lagi-lagi sang pedagang memberikannya dengan cuma-cuma. Hingga akhirnya ia sadar bahwa dirinya telah jatuh cinta berat kepada budak Nasrani tersebut.
Akhirnya laki-laki itu memberanikan diri untuk menyampaikan perasaan kepada wanita tua yang mendampingi sang budak. Tercapailah kesepakatan agar pemuda itu membayar 50 dinar dan menyediakan tempat, sedangkan pihak wanita bersedia diperlakukan apa saja olehnya selama semalam.
Pemuda berkulit gelap itu mempersiapkan rumah yang disewanya di tepi pantai. Tempat tidurnya di atas atap tanpa penutup hingga terlihat bintang-bintang di langit.
Malam pun tiba. Pemuda itu menyiapkan berbagai macam makanan kepada si wanita. Mereka makan bersama, kemudian berbaring hingga larut malam sambil menyaksikan bintang-bintang.
Pemuda tersebut diam-diam berpikir, “Apakah engkau tidak malu bermaksiat kepada Allah di bawah kolong langit dengan wanita Nasrani, hingga akhirnya layak memperolah azab baik di dunia maupun akhirat?”
Akhirnya pemuda tersebut berkata dalam hati, “Ya Allah, sesungguhnya aku telah persaksikan kepada Engkau bahwa aku meninggalkan zina karena malu dan takut kepada Engkau.”
Si pemuda tertidur hingga waktu Shubuh, sedangkan wanita itu bangun saat sahur dalam keadaan marah.
Setelah kembali ke toko kapas, sang pemuda menyesali keputusannya untuk meninggalkan budak Nasrani itu. Hingga ia berpikir, “Siapa engkau ini hingga meninggalkan wanita itu? Apakah engkau Junaid atau as-Sarri as-Saqathi?”
Akhirnya pemuda tersebut memutuskan untuk menemui lagi wanita tua yang selalu bersama budak. Ia meminta kesempatan untuk kedua kalinya. Karena marah disebabkan pengamalan sebelumnya, wanita itu tidak memberikan kesempatan kecuali dengan membayar 100 dinar.
Apa boleh buat, pemuda itu menyetujui. Kesempatan pun datang kembali. Lagi-lagi si pemuda berpikir, dan kemudian meninggalkannya. Wanita itu makin marah besar hingga mengatakan, “Kamu tidak akan melihat saya lagi kecuali dengan 500 dinar!”
Di saat bersamaan ada pengumuman bahwa perjanjian antara pihak Frank (pasukan Salib) dengan umat Islam telah berakhir. Umat Islam diberi kesempatan untuk meninggalkan kota-kota yang dikuasai pasukan Salib. Akhirnya pemuda itu keluar dari Akka (Palestina) menuju Damaskus, dengan masih membawa perasaan cintanya.
Di Damaskus, pemuda itu beralih profesi menjadi pedagang budak. Tiga tahun kemudian, Sultan Malik Nashr Shalahuddin berhasil mengalahkan pasukan Frank di wilayah pesisir. Seluruh wilayah berhasil dikuasai oleh umat Islam.
Pihak kesultanan meminta kepada si pemuda untuk menyediakan budak. Ada seorang budak yang cukup baik dengan harga 100 dinar. Namun rupanya pihak kesultanan hanya bisa membayar 90 dinar karena banyaknya dana yang perlu dibelanjakan untuk hal lain. Akhirnya pihak kesultanan menawarkan tawanan dari bangsa Frank sebagai gantinya yang dihargai dengan 10 dinar.
Pemuda itu memilih tawanan Frank yang berada di bawah penguasaan kesultanan. Tanpa diduga, ia berjumpa dengan wanita Nasrani yang dikenalnya di kota Akka.
Awalnya wanita itu tidak mengenalnya. Si pemuda lalu menjelaskan bahwa dirinya adalah pedagang kapas di Akka yang dulu pernah berteman dengannya. Akhirnya si pemuda mengambil wanita itu seraya mengatakan, “Engkau dulu mengatakan bahwa saya tidak bisa menemuimu kecuali dengan 500 dinar, sekarang saya bisa memilikimu dengan 10 dinar.”
Tanpa diduga wanita tersebut menjawab dengan mengatakan, “Ulurkan tanganmu, saya bersaksi bahwa tiada Ilah kecuali Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”
Si pemuda membalas, “Tidak bisa saya melakukan itu! Kita harus pergi ke qadhi!”
Akhirnya si pemuda membawa wanita itu pergi menemui qadhi dan melangsungkan akad nikah. (Mathali’ al-Budur fi Manazil as-Surur, 1/207).* Toriq/ Majalah Suara Hidayatullah edisi Januari 2017