Oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi
“Inilah Al-Quran yang tidak ada keraguan di dalamnya, sebagai hidayah bagi orang-orang yang bertakwa”
—QS. Al-Baqarah [2]: 2—
JIKA dicermati, maka ayat di atas menyiratkan dua poin penting: Pertama, Al-Quran adalah kitab suci yang tida ada keraguan di dalamnya. Dan kedua, Al-Quran merupakan kitab hidayah (petunjuk) bagi orang-orang yang bertakwa.
Al-Quran, seperti dikatakan oleh Syekh Muhammad ‘Abduh (w. 1905 M), merupakan kitab hidayah.
Dalam Tafsir al-Manar beliau sebutkan demikian;
“Wahai umat Islam! Sungguh, Allah telah menurunkan kitab-Nya kepada kalian sebagai hidayah dan cahaya. Agar Dia mengajari kalian hakikat al-Kitab dan al-Hikmah. Dan, supaya Dia mensucikan diri kalian dan mempersiapkan untuk kalian kebahagiaan dunia dan akhirat. Ia tidak menurunkan Al-Quran sebagai satu undang-undang duniawi yang kosong tanpa makna, sebagaimana hukum-hukum yang ada. Ia juga bukan buku medis untuk mengobati badan. Di samping ia juga bukan kitab sejarah manusia yang menerangkan peristiwa dan kejadian. Pun, ia sebagai kitab seni yang menjelaskan ragam usaha dan mendulang manfaat…” (Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar (Kairo: Dar al-Manar, Cet. II, 1366 H/1947 M), 1: 4).
Dan orang-orang yang bertakwa sifatnya kemudian dijelaskan oleh Allah;
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ
والَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ وَبِالآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ
أُوْلَـئِكَ عَلَى هُدًى مِّن رَّبِّهِمْ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Yaitu, yang beriman kepada perkara-perkara yang ghaib, mendirikan shalat, menginfakkan sebagian rezeki yang dikaruniakan kepada mereka, beriman kepada wahyu (dan ajaran) yang dibawa oleh nabi Muhammad, beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan sebelum kenabian Rasulillah Shallallahu ‘alaihi Wassallam dan yakin adanya hari akhirat. Mereka inilah yang benar-berada berada di atas hidayah Allah dan mereka pulalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Baqarah [2]: 3-5).
Sifat-sifat orang yang bertakwa di atas disebutkan oleh Qatadah. Dan Rasulullah kemudian memberi syarat dalam sebuah sabdanya, “Seseorang tidak akan sampai kepada derajat orang-orang yang bertakwa sampai mampu meninggalkan hal-hal yang sejatinya tidak bermasalah (dalam hukumnya) karena menghindari hal-hal yang bermasalah (dalam hukumnya secara syariat).” (HR. Al-Tirmidzi dan Ibn Majah).
Mu’adz ibn Jabal punya berita besar mengenai orang-orang yang bertakwa ini. Dimana salah seorang sahabatnya Abu ‘Afif pernah ditanya oleh Syaqiq ibn Salamah mengenai Mu’adz ibn Jabal. Katanya kepada Abu ‘Afif, “Wahai Abu ‘Afif tidakkah engkau ingin cerita tentang satu hal dari Mu’adz ibn Jabal?” Dia kemudian berkata, “Baiklah! Aku pernah mendengar Mu’adz berkata, ‘Manusia akan ditahan pada hari kiamat di satu tempat. Lalu seorang penyeru berkata, ‘Mana orang-orang yang bertakwa?’ Maka mereka pun – orang yang bertakwa itu – berdiri dalam satu sisi Allah yang Pengasih. Mereka tidak terhalangi oleh Allah dan tidak pula tertutupi. Aku kemudian bertanya kepada Mu’adz, ‘Lalu, siapakah orang-orang yang bertakwa itu?’ Dia menjawab, ‘Mereka adalah sekelompok manusia yang memelihara diri mereka dari berbuat syirik dan menyembah berhala. Mereka juga mengikhlaskan ibadah mereka hanya untuk Allah. Lalu mereka pun berjalan cepat memasuki surga.” (Imam Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim (Beirut-Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet. I, 1419 H/1998 M), 1: 74).
Dan mengenai Firman Allah dalam QS. 2: 2 di atas, Imam al-Farrā’ memiliki pandangan yang sangat menarik. Menurutnya,
“ Allah telah berjanji kepada Nabi-Nya untuk menurunkan satu kitab yang tidak dapat dihapus oleh air dan tidak akan lapuk meski banyak diulang-ulang. Dan ketika Al-Quran diturunkan, Dia berfirman, ‘Inilah Kitab yang telah Aku janjikan kepadamu akan diturunkan di dalam Taurat dan Injil serta turun kepada lisan para nabi sebelummu.”
Dikatakan pula bahwa Allah telah berjanji kepada Bani Israil untuk menurunkan satu kitab dan mengutus di tengah-tengah mereka seorang rasul dari keturunan Ismail.
Dan frase la raiba fihi (tidak ada keraguan di dalamnya) menegaskan bahwa Al-Quran berasal dari sisi Allah. Dan kitab ini benar (haqq) dan jujur (shidq). Sehingga tidak layak untuk diragukan.
Sehingga ia benar-benar layak dan sangat tepat menjadi bimbingan dan penjelasan sempurna bagi ahli takwa. (Syekh ‘Ala’ al-Din ‘Ali ibn Muhammad ibn Ibrahim al-Baghdadi (dikenal dengan al-Khazin) (w. 725 H), Tafsir al-Khazin (Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil), editor: ‘Abd al-Salam Muhammad ‘Ali Syahin (Beirut-Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet. I, 1415 H/1995 M), 1: 36-37).
Orang yang bertakwa adalah yang melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya sebagai dinding antara dia dan azab. Sehingga dengan ketaatan kepada Allah mampu memelihara dirinya dari siksa Allah. Dan orang yang bertakwa disebutkan secara khusus sebagai pemuliaan atas mereka. Atau, karena merekalah yang benar-benar meraih hidayah. Sehingga posisi takwa hanya menjadi milik mereka. Sehingga mereka disebutkan secara khusus di sini. (Imam Abu al-Muzhaffar al-Sam’ani Manshur ibn Muhammad ibn ‘Abd al-Jabbar al-Tamimi al-Maruzi al-Syafi’i, Tafsir al-Qur’an, tahqiq: Abu Tamim Yasir ibn Ibrahim (al-Riyadh: Dar al-Wathan, Cet. I, 1418 H/1997 M), 1: 43).
Jadi, kata huda (hidayah) merupakan sifat dari Al-Quran itu sendiri. Dengan demikian, Al-Quran kandungannya murni hidayah untuk orang-orang yang bertakwa, meskipun ia berfungsi sebagai hidayah pula bagi seluruh manusia (QS. 2: 185). Disamping ia menjadi hidayah, penawar, dan rahmat bagi orang-orang beriman (QS. 41: 44, 17: 82). Sehingga, menurut para Sahabat Nabi Saw. Al-Quran benar-benar menjadi nur (cahaya) bagi orang-orang yang bertakwa, sebagaimana dituturkan oleh al-Suddi, dari Abu Malik, dari Abu Shalih, dari Ibn ‘Abbas, dari Murrah al-Hamadani, dan Ibn Mas’ud.
Dan hidayah, kata Imam Ibn Katsir, adalah apa yang bersemayang di dalam hati berupa iman. Inilah satu hal yang tidak mungkin seorang makhluk Allah dapat dapat memasukkannya ke dalam hati hamba-hamba-Nya kecuali Allah. Karena hanya Dia yang dapat memberikannya. “Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi hidayah kepada orang yang engkau cintai.” (QS. Al-Qashash: 56). Allah pun menegaskan,“Sungguh bukan urusanmu memberi hidayah kepada mereka.” (QS. 2: 272). Dalam firman-Nya yang lain Allah juga menjelaskan, “Siapa saja yang Allah sesatkan, maka dia tidak punya seorang pun yang memberi hidayah kepada-Nya.” (QS. Al-A’raf [7]: 186). Dan firman-Nya yang lain, “Siapa yang telah Allah beri hidayah, itu karena hanya Dialah pemberi hidayah itu. Dan siapa disesatkan maka engkau tidak akan dapat memberikan kepadanya seorang pembela dan pembimbing pun.” (QS. Al-Isra’ [17]: 97). (Imam Ibn Katsir,Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 1: 74).
Dan Al-Quran Al-Karim yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam adalah ‘hidayah’ dari Allah Subhanahu Wata’ala untuk manusia (QS. 2: 185), karena hanya Al-Quran ini yang dapat memberi hidayah untuk seluruh manusia agar dapat menempuh kehidupan terbaik di dunia ini, sebagai bekal akhiratnya. Bahkan, ia memberi kabar gembira kepada orang-orang yang beriman, yaitu mereka yang beramal-saleh bahwa di sisi Allah telah tersedia bagi mereka balasan yang besar dari amal-amal itu (QS. 17: 9).
Maka, sudah sepatutnya seorang Mukmin di bulan Ramadhan yang mulia ini semakin mendekatkan dirinya kepada Kitabullah. Karena hanya Al-Quran yang mampu menjelaskan arti kehidupan kepadanya secara detail.
Karena ia merupakan “surat” Allah bagi orang-orang yang bertakwa. Konon lagi puasa ini merupakan “jembatan” seorang Mukmin untuk menuju derat ketakwaan itu (QS. 2: 183). Fa’tabiru ya ulil albab!