BERSYUKUR adalah pujian untuk yang memberikan anugerah kebaikan. Sikap syukur seorang hamba tidak bisa terlepas dari tiga hal penting –tidak akan bisa dikatakan syukur jika tidak memenuhi ketiganya– yaitu:
– Mengakui nikmat secara implisit.
– Membicarakannya secara eksplisit.
– Mempergunakannya untuk ketaatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Syukur berkaitan erat dengan hati, lisan, dan seluruh anggota tubuh. Hati untuk mengetahui dan mencintai, lidah untuk pujian dan terima kasih, sedangkan anggota tubuh untuk digunakannya dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan menghindari maksiatan kepada-Nya.
Allah telah menempatkan sikap syukur berdampingan dengan keimanan. Ditegaskan bahwa tidak ada yang akan dijatuhi hukuman berupa adzab jika mereka bersyukur dan beriman. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
“Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman?” (An-Nisaa’: 147)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga menegaskan bahwa mereka yang bersyukur adalah orang yang secara khusus akan mendapat karunia dari Allah di antara sekian banyak hamba-Nya. Allah berfirman,
“Dan demikianlah telah Kami uji sebahagian mereka (orang-orang yang kaya) dengan sebahagian mereka (orang-orang miskin), supaya (orang-orang yang kaya itu) berkata: `Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah oleh Allah kepada mereka?’ (Allah berfirman), ‘Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepada- Nya)?” (Al An’aam: 53)
Manusia dapat dibedakan ke dalam kelompok yang bersyukur dan kelompok yang kufur. Manusia yang paling dibenci Allah adalah mereka yang kufur dan kelompok yang paling dicintai adalah mereka yang bersyukur. Allah berfirman,
“Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” (Al Insaan: 3)
Allah menyebutkan pula,
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih.” (lbraahiim: 7)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengkaitkan syukur dengan penambahan nikmat. Tambahan nikmat dari Allah adalah suatu yang tidak ada batasnya, sebagaimana tidak ada batasan untuk sikap bersyukur pada Allah. Dalam banyak ayat, Allah juga membatasi tambahan nikmat sesuai kehendak-Nya. Misalnya ayat;
“…Maka Allah nanti akan memberikan kekayaan kepadamu dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki… ” (At Taubah: 28)
Dalam memberi ampunan, Allah berfirman,
“…Dan Allah mengampuni siapa yang diinginkan-Nya…” (Al-Maa’idah: 40)
Dalam memberi taubat, Allah berfirman,
“Dan Allah menerima taubat orang yang dikehendaki-Nya…” (At-Taubah: 15)
Tambahan nikmat itu bersifat mutlak, seperti dalam ayat,
“Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (Aali `Imraan: 145)
Ketika setan mengetahui tentang nilai penting dan keutamaan sikap syukur ini, ia berusaha memutuskan manusia dari sifat itu. Hal ini dipaparkan oleh Al-Qur’ an,
“Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (ta`at).” (Al A’raaf: 17)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala menegaskan bahwa golongan yang bersyukur dari hamba-hamba-Nya hanya sedikit. Allah berfirman,
“…Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih.” (Saba’: 13)
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam melaksanakan shalat malam hingga kakinya bengkak. Saat itu dikatakan kepada beliau, “Apakah engkau melakukan ini semua, ya Rasulullah? Sedangkan Allah telah mengampuni dosamu yang telah lalu dan yang akan datang?”
Beliau menjawab, “Apakah aku tidak layak menjadi hamba yang bersyukur?” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Diriwayatkan pula bahwa Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam berkata kepada Mua’dz,
“Demi Allah, sesungguhnya aku mencintaimu. Janganlah engkau lupa untuk berdoa setelah selesai shalat, ‘Ya Allah, tolonglah hamba-Mu ini untuk senantiasa mengingat-Mu, mensyukuri-Mu, dan beribadah kepada-Mu.”* [Tulisan berikutnya]
Dari buku Mendidik & Membersihkan Jiwa Menurut Ulama Salaf karya Ibnu Eajab, Ibnu Qayyim, dan Imam Al Ghazali.