Hidayatullah.com | AZAR adalah ayah Nabi Ibrahim AS, namanya beberapa kali disebutkan dalam kisah Nabi mulia itu. Ia berprofesi sebagai pembuat dan penjual patung berhala yang menjadi sesembahan masyarakat Haran, Babilonia. Berhala-berhala tersebut dibuat menyerupai simbol benda-benda langit. Kala itu, kaum Nabi Ibrahim AS memang gemar beribadah kepada bintang-bintang, matahari, dan bulan. Berbeda dengan kaum Nabi Nuh AS yang hidup pada masa sebelumnya yang gemar menyembah kuburan dan patung-patung orang-orang shalih pada zamannya.
Meski sang ayah pembuat patung, namun Ibrahim AS tak pernah sekali pun menyembah berhala-berhala itu, juga tak pernah menjual satu pun patung-patung itu. Sama seperti para Nabi lainnya, Ibrahim AS bersih dari praktik-praktik syirik. Semua tidak lain karena petunjuk Allah Ta’ala.
Suatu ketika, Ibrahim AS berkata kepada ayahnya dan kaumnya, “Patung-patung apakah ini yang kalian tekun menyembahnya?” (Al Anbiya [21]: 52). Kaumnya menjawab, “Kami mendapati nenek moyang kami menyembahnya.” (Al Anbiya [21]: 53).
Ibrahim AS berkata lagi, “Sesungguhnya kalian dan nenek moyang kalian berada dalam kesesatan yang nyata.” (Al Anbiya [21]: 54). Dalam kesempatan lain, Ibrahim AS berkata kepada ayahnya, “Wahai ayahku! Mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolongmu sedikit pun? Wahai ayahku! Janganlah engkau menyembah setan. Sungguh, setan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pengasih. Wahai ayahku! Sungguh, telah sampai kepadaku sebagian ilmu yang tidak diberikan kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai ayahku! Aku sungguh khawatir engkau akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pengasih, sehingga engkau menjadi teman bagi setan.” (Maryam [19]: 42-45).
Mendapati pertanyaan yang bertubi-tubi seperti itu, Azar marah dan berkata, “Bencikah engkau kepada tuhan-tuhanku, wahai Ibrahim? Jika engkau tidak berhenti, pasti engkau akan kurajam.” (Maryam [19]:46).
Ibrahim AS tak kehilangan akal. Ia mengajak ayahnya dan kaumnya untuk berfikir dengan melihat benda-benda langit yang selama ini mereka ibadahi. Benda langit pertama yang ia saksikan ketika malam telah gelap adalah bintang. Ibrahim AS berkata, sebagimana difirmankan Allah Ta’ala dalam al-Qur’an surat Al Anam [6] ayat 76, “Inilah Tuhanku.”
Bintang itu kemudian tenggelam dan tidak lagi terlihat. Ibrahim AS lantas berseru, “Aku tidak suka kepada yang terbenam.” (Al Anam [6]: 76).
Lalu Ibrahim AS melihat bulan muncul di langit yang hitam. Dia berkata lagi, “Inilah Tuhanku.” Lama kelamaan bulan itu juga terbenam. Ibrahim AS kembali berkata, “Sungguh, jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.” (Al Anam [6]:77).
Setelah itu terbitlah matahari. Kembali Ibrahim AS berkata, “Inilah Tuhanku. Ini lebih besar.”
Menjelang senja, matahari perlahan-lahan terbenam di ufuk barat. Melihat fenomena ini, Ibrahim AS menasehati kaumnya;
“Wahai kaumku. Sungguh aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan. Aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik.” (Al Anam [6]:78-79).
Ketika hari raya tiba, penduduk Haran, Babilonia, berbondong-bondong menuju tengah-tengah negeri untuk merayakannya. Ibrahim AS tak ikut. Ia malah pergi ke tempat patung-patung penyembahan.
Di sana, ia hancurkan semua patung-patung itu dengan kapak dan membiarkan yang paling besar. Ibrahim AS lalu meletakkan kapak tersebut di tangan patung yang paling besar itu. Ketika orang-orang pulang dari perayaan, mereka terkejut melihat patung sesembahan mereka hancur berantakan. Mereka berkata, “Siapa yang melakukan (perbuatan) ini terhadap tuhan-tuhan kami? Sungguh dia termasuk orang yang zalim.” (Al Anbiya [21]:59)
Sebagian dari mereka berkata, “Kami mendengar ada seorang pemuda yang mencela (berhala-berhala ini). Namanya Ibrahim.” (Al Anbiya [21]:60). Yang lain berkata, “(Kalau begitu) bawalah dia dan perlihatkan kepada orang banyak agar mereka menyaksikan.” (Al Anbiya [21]:61).
Maka Ibrahim AS didatangkan ketika semua orang sudah berkumpul di tempat pemujaan. Seorang dari mereka bertanya, “Apakah engkau yang melakukan (perbuatan) ini terhadap tuhan-tuhan kami, wahai Ibrahim?” (Al Anbiya [21]:62)
Ibrahim AS menjawab, “Sebenarnya (patung) besar itu yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada mereka jika mereka dapat berbicara.” (Al Anbiya [21]:63) Kaum Ibrahim AS kebingungan. Mereka tak bisa berhujah lagi. Malah sebaliknya, mereka mengakui kebodohan mereka sendiri dengan mengatakan, “Engkau (Ibrahim) pasti tahu bahwa (berhala-berhala) itu tidak dapat berbicara.” (Al Anbiya [21]:65)
Ibrahim AS menimpali, “Mengapa kalian menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi mafaat sedikit pun, dan tidak (pula) mendatangkan mudharat kepada kalian? Celakalah kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah! Tidakkah kalian mengerti?” (Al Anbiya [21]:66-67)
Ungkapan ini kemudian dibalas oleh kaumnya dengan membuat lubang besar dan mengumpulkan kayu bakar di atasnya. Mereka menyalakan api di atas kayu-kayu bakar itu. Lalu mereka mengikat Ibrahim AS dan melemparnya ke dalam kobaran api yang menyala-nyala. Namun, atas kuasa Allah Ta’ala, api itu menjadi dingin dan tidak bisa membakar tubuh Ibrahim AS.
Begitulah kisah Nabi Ibrahim AS yang tertulis jelas dalam al-Quran. Ia mengajak kaumnya dan ayahnya sendiri untuk berfikir bahwa benda-benda yang selama ini mereka sembah tidaklah pantas untuk di-Tuhan-kan. Tak mungkin Tuhan bisa hancur lebur seperti patung-patung itu. Tak mungkin juga Tuhan bisa muncul dan tenggelam seperti matahari, bulan, dan bintang.
Ibrahim AS telah menyampaikan dalil-dalil yang kuat tentang keesaan Allah Ta’ala. Kaumnya dan ayahnya sendiri jelas tak bisa membantah logika yang diperlihatkan Ibrahim AS.
Namun, semua logika yang amat masuk akal itu tak menjadikan hati kaumnya dan ayahnya berubah. Bahkan, mereka membalasnya dengan melemparkan tubuh Ibrahim AS kedalam kobaran api yang menyala-nyala.
Inilah pelajaran amat berharga dari kisah Nabi Ibrahim AS bagi para juru dakwah. Selama dakwah ditegakkan maka benturan akan terjadi antara pemilih jalan lurus dan penikmat jalan bengkok. Bahkan, antara ayah dan anak pun bisa saling berhadapan di jalan yang berbeda. Wallahu a’lam.*