“DI DUNIA dunia ini, dari banyaknya jumlah manusia hanya sedikit saja dari mereka yang sadar. Dari sedikit yang sadar hanya sedikit yang berislam. Dari sedikit yang berislam itu hanya sedikit yang berdakwah. Dari mereka yang berdakwah lebih sedikit lagi yang berjuang. Dari mereka yang berjuang sedikit sekali yang bersabar. Dan dari mereka yang bersabar hanya sedikit sekali dari mereka yang sampai akhir perjalanan,” demikianlah ungkapan Hasan Al-Banna.
Sejauh mata memandang langit, seperti itulah jalan dakwah. Panjang, lama, tidak bertepi dan tentunya sangat melelahkan. Jadi, tidak heran jika Hasan Al-Banna memotivasi para kader dakwah dengan statementnya setegas itu.
Dakwah seusia dengan umur kehidupan itu sendiri, yakni sepanjang zaman. Bahkan dalam setiap babaknya, selalu hadir sosok-sosok Nabi dan Rasul yang membawa risalah dakwah ini. Tetapi, tetap saja, hingga penutup Rasul tiba sekalipun, tugas dakwah tetap belum pernah sampai pada garis finish, hingga di masa kita, bahkan ke masa depan, yang kita sudah pasti tidak tahu lagi, bagaimana wajah dunia ini.
Ada yang sukses dalam menjalani risalah dakwah, namun tidak sedikit yang berguguran di medan juang yang sangat mulia ini.
Dakwah memang bukan untuk para pecundang. Dakwah juga bukan jalan para pemalas dan pemelihara imajinasi. Bahkan dakwah juga bukan untuk para pakar retorika, yang mampu mempesona kala bicara. Dakwah adalah jalan para pejuang, para sholihin, para muttaqin, dan jalan orang-orang mukmin.
Kualitas Ruhiyah
Sudah cukup banyak buku mengulas mengapa banyak mujahid dakwah berguguran di tengah jalan. Banyak faktor menjadi penyebab utama juru dakwah gugur di tengah jalan. Mulai tekanan sosial, tekanan keluarga, hingga pada tekanan ekonomi.
Mundurnya seorang mujahid dakwah bisa dilihat dari kualitas ruhiyahnya. Pandangan ini tidak berdasar pada teori apa pun, melainkan murni berdasarkan pada apa yang Allah wahyukan di dalam al-Qur’an.
Kualitas ruhiyah ini hanya bisa dinilai secara murni oleh setiap pribadi mujahid dakwah itu sendiri. Karena kualitas ruhiyah itu sangat berhubungan kuat dengan kemurnian niat, ketulusan cita-cita, dan keaslian tekad.
Enam ‘Zimat’
Bekal tersebut adalah enam ‘zimat’ yang Allah ajarkan kepada Rasulullah, yang secara eksplisit tertuang di dalam 10 ayat pertama Surah Al-Muzzammil.
Pertama, bangun di tengah malam (qiyamul lail). Mujahid dakwah yang tidak memelihara tradisi ini, sudah pasti akan terkapar di medan dakwah. Sebab, dari mana ia akan memperoleh kekuatan Ilahiyah, jika malam hari dihabiskan untuk tidur semata.
Kedua, membaca al-Qur’an secara tartil. Seorang Mujahid dakwah tidak boleh tidak membaca al-Qur’an. Ia sangat wajib, bahkan sesungguhnya sangat butuh untuk membaca al-Qur’an secara tartil dalam setiap denyut nadinya, sehingga senantiasa ada energi Ilahiyah yang memancar dan mengalir ke segenap organ tubuhnya.
Ketiga, dzikir kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Dzikir ini sungguh sangat penting agar orientasi mujahid dakwah dalam menjalankan misi mulianya tidak terkotori oleh kepentingan-kepentingan hawa nafsunya.
Keempat, tawakkal. Seorang mujahid dakwah tidak semata-mata menggunakan analisis kausalitas dalam kinerja dakwahnya. Keberhasilan dakwah tidak diukur dari seberapa banyak pengikut yang berhasil direkrut, tetapi lebih pada sejauh mana keikhlasan kita sehingga tetap konsisten bersama dakwah.
Kelima, sabar. Seperti telah disinggung di awal pembahasan, jalan dakwah adalah jalan yang penuh lika-liku. Sudah pasti, seorang mujahid dakwah harus memiliki stok kesabaran yang tak boleh habis oleh situasi dan kondisi apa pun.
Keenam, hijrah. Yakni menjaga kemurnian niat, metode, dan strategi dalam menjalankan misi dakwah. Tidak boleh atas nama ingin cepat berhasil, lalu menggunakan segala cara dalam dakwah.
Mudah-mudahan dengan enam ‘zimat’ tersebut, para mujahid dakwah tak pernah lari dari medan dakwah. Karena di medan inilah kebahagiaan sejati menanti setiap hamba Ilahi.*/Wahyu Rahman