AMERIKA Serikat, yang konon merupakan salah satu negara terdepan dalam demokrasi dan penjunjung tinggi HAM (Hak Asasi Manusia), pada praktiknya masih jauh dari apa yang digembor-gemborkan selama ini.
Dalam memaknai istilah terorisme misalnya, mereka menggunakan standar ganda. Jika yang melakukan tindakan kekerasan adalah orang Islam, dicap sebagai teroris. Sedangkan ketika yang berbuat kejahatan adalah di luar Islam, maka mereka cuwek, tak bergeming.
Tidak mengherankan ketika terjadi penembakan massal di USA: 13 korban di Colombine (1999), 13 di Fort Hood (2009), 14 di Edmond (1986), 14 di San Bernadino (2015), 21 di San Ysirdo, 27 di Sandy Hook (2012), 32 di Virgiana Tech (2007), 50 di Orlando (2016) dan 50 lebih tewas di Las Vegas (2017), tidak dianggap sebagai tindak terorisme karena bukan muslim yang melakukannya. Tapi bandingkan ketika Israel yang melakukan tindakan terorisme, tiba-tiba Amerika seperti kehilangan taji.
Dalam buku “Napak Tilas Reformasi Politik Indonesia: Talkshow Denny J.A. dalam Dialog Aktual Radio Delta F.M.” (2006: 334) ada obrolan menarik antara Denny J.A. (Konsultan Politik dan Media Sosial) dengan Bantarto Bandoro (Pakar Ilmu Hubungan Internasional) mengenai standar ganda ini.
Kata Denny, akan ada blunder kebijakan AS terkait terorisme dan standar ganda dalam penilaiannya terutama dalam kasus Palestina-Israel. Bantarto pun menanggapi bahwa sudah menjadi rahasia umum jika AS melakukan politik standar ganda. Banyak negara yang mengecamnya. Isu terorisme hanya ditujukan kepada kelompok Islam radikal, tapi tidak menerapkan penilaian yang sama terhadap Israel.
“Jika standar ganda ini diketahui efeknya buruk, tidak saja popularitas AS menurun tetapi juga warganya di seluruh dunia tidak aman, mengapa AS masih mempertahankannya?” tanya Denny melanjutkan dialog. “Ada alasan AS mempertahankan standar ganda itu. Sejauh memberikan keuntungan jangka panjang atau jangka pendek. AS akan bertahan dengan kebijakan seperti itu,” jawab Bantarto.
Dari pemaparan dialog singkat ini, di balik penerapan politik standar ganda atas istilah terorisme yang diterapkan AS, meski pada faktanya merugikan popularitas dan warganya, tetap diambil karena ada kepentingan yang dituju. Kepentingan pragmatis jangka pendek dan jangka panjanglah yang menjadi alasannya. Selama itu menguntungkan, maka cara ini tetap diterapkan.
Apa yang dilakukan AS ini mengingatkan penulis pada karakteristik orang munafik dalam Surah Al-Baqarah [2] ayat 11, 12 dan 14. Di publik mereka mengatakan bahwa kami adalah orang-orang yang berbuat perbaikan, padahal apa yang dilakukan adalah kerusakan. Lebih dari itu, jika bertemu orang beriman, mereka menunjukkan simpati, tapi jika sudah bertemu dengan kroninya, tiba-tiba tersingkap wajah aslinya, yang mereka inginkan adalah kerusakan dan keuntungan duniawi semata.
Untuk menghadapi politik standar ganda ini atau pun yang lainnya, ada solusi dari al-Qur`an bagi orang-orang beriman dalam Surah Al-Hasyr [59]: ayat 1 sampai 17. Dengan mentadabburi ayat-ayat ini, ditemukan beberapa solusi:
Pertama, memperbaiki kembali kualitas iman. Mungkin dalam pandangan manusiawi umat Islam tidak akan mampu mengalahkan mereka, tapi Allah mengingatkan semua itu kecil di mata Allah jika benar-benar yakin kepada Allah.
Kedua, berpegang teguh kepada dua sumber Islam: Al-Qur`an dan Hadits. Bukan sekadar jargon, tapi diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Ketiga, menggiatkan kembali spirit jihad. Dalam sejarah terbukti, nyali mereka ciut jika spirit jihad umat Islam kuat. Keempat, mengokohkan dan menggalang kembali persatuan umat dan membersihkan diri dari penyakit dengki. Sebagaimana yang terjadi antara kaum Muhajirin dan Anshar.
Kelima, waspada dan mengkaji sejarah mereka secara mendalam untuk diambil pelajaran. Mengapa mesti minder menghadapi mereka? Al-Qur`an secara jelas memberi tahu karakter buruk mereka, di antaranya: pengecut (hanya berani berperang dalam benteng atau kalau dalam bahasa sekarang mungki tank dan senjata canggih lainnya), kondisi internal mereka sebenarnya terpecah belah meski secara lahiriah tampak bersatu padu, penakut dan lain sebagainya.
Standar ganda yang digunakan untuk memenuhi kepentingan duniawi mereka tidak akan berlangsung lama jika beberapa hal tadi dijalankan oleh umat Islam. Pada ayat 16 dan 17, ada analogi menarik terhadap orang yang melakukan standar ganda sebagaimana orang-orang munafik: bagaikan setan yang menyuruh manusia ingkar (kafir) saat di dunia, namun setelah di akhirat, setan berlepas diri darinya, karena pada dasarnya itu hanya tipuan, dan setan sendiri sebenarnya takut kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
كَمَثَلِ الشَّيْطَانِ إِذْ قَالَ لِلْإِنسَانِ اكْفُرْ فَلَمَّا كَفَرَ قَالَ إِنِّي بَرِيءٌ مِّنكَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ رَبَّ الْعَالَمِينَ
فَكَانَ عَاقِبَتَهُمَا أَنَّهُمَا فِي النَّارِ خَالِدَيْنِ فِيهَا وَذَلِكَ جَزَاء الظَّالِمِينَ
“(Bujukan orang-orang munafik itu adalah) seperti (bujukan) shaitan ketika dia berkata kepada manusia: “Kafirlah kamu”, maka tatkala manusia itu telah kafir, maka ia berkata: “Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu, karena sesungguhnya aku takut kepada Allah, Rabb semesta Alam”.
Maka adalah kesudahan keduanya, bahwa sesungguhnya keduanya (masuk) ke dalam neraka, mereka kekal di dalamnya. Demikianlah balasan orang-orang yang zalim.” (QS: al Hasyr : 16-17)
Lebih dari itu, yang tak kalah penting, orang yang melakukan tindakan sebagaimana analogi al-Qur`an pada Surah Al-Hasyr ayat 16, maka jawabannya jelas, pada ayat 17 disebutkan bahwa mereka akan rugi sebagai balasan atas kezaliman mereka. Artinya, yang akan berjaya, beruntung atau mendapat ‘happy ending’ adalah orang-orang beriman dan bertakwa.
Masalahnya kemudian, kita yakin apa tidak dengan hal itu? Wallahu a’lam.*/Mahmud Budi Setiawan