SETIAP manusia memiliki kelebihan satu dengan yang lain. Allah swt mengangkat derajat orang-orang berilmu dan orang beriman. Dengan ilmu yang dimiliki dan keimanan yang melekat dalam dirinya; mereka dihormati, dihargai dan bahkan dijaga oleh para malaikat. Maka termasuklah mereka orang-orang yang beruntung, sebab mendapat kedudukan khusus di sisi Allah Subhanahu Wata’ala.
Allah Subhanahu Wata’ala Subhanahu Wata’ala berfirman:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ (المجادلة 11)
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”
Imam al-Baghowi menafsirkan makna ‘derajat’ dengan “mereka yang tunduk dan patuh kepada perintah Allah Subhanahu Wata’ala memperoleh pahala dari-Nya”. Diganjar dengan pahala merupakan suatu keistimewaan, karena belum tentu setiap amal yang diperbuat dibalas dengan pahala.
Dalam kehidupan ini tidak semua orang diberi kesempatan menuntut ilmu; baik ilmu agama maupun ilmu umum. Ada diantara mereka yang pergi menuntut ilmu dan ada pula yang menghabiskan waktu dengan aktivitas yang lain.
Allah berfirman.
ومَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَائِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا (التوبة 122)
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya.” (QS: at Taubah: 122)
Berbagai latar belakang, mereka tidak sempat dan tidak memiliki peluang seperti orang-orang yang disebutkan al-Quran tersebut. Orang-orang yang pergi berperang tidak sempat menuntut ilmu.
Sejarah mencatat Abu Hurairah ra adalah sahabat yang banyak mengahbiskan waktu menuntut ilmu, sementara Kholid bin Walid tidak demikian. Kasus yang berlaku pada panglima Kholid juga banyak terjadi pada sahabat yang lain. Namun, dengan sederet keterbatasan tidak menjadikan mereka absen keistimewaan. Bermodalkan pengetahuan ala kadarnya, mereka bisa mencapai derajat mulia.
Abad ini, banyak dijumpai orang-orang seperti Abu Hurairah ra yang gemar menuntut ilmu dan tak sedikit pula ditemukan orang-orang seperti Kholid bin Walid yang sibuk berperang demi bertahan hidup. Menariknya, orang dengan tipologi kedua (kholid) dengan akal pikiran yang sehat serta ilmu secukupnya lahir sikap hormat, sopan dan santun dari prilakunya sehari-hari.
Dikala bertemu dengan orang yang lebih tua, spontan rasa hormat muncul; ketika bersua dengan yang lebih muda, lahir darinya sikap saling menyayangi. Pendek kata, dengan segenap kekurangan tersebut mampu mereka tutupi dengan sikap arif dan bijak yang pada akhirnya mereka disenangi dan dicintai oleh semua golongan.
Flashback di zaman Rasulullah Shalalallahu ‘Alaihi Wassallam hidup, ada sebuah kisah yang patut dicontoh oleh umat Islam. Ketika itu sekelompok orang membawa jenazah orang yahudi di depannya, spontan beliau berdiri dari tempat duduknya guna menujukkan sikap hormat dan menghargai meski beda keyakinan, karena menurutnya, setiap manusia perlu dihormati dan dihargai.
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman;
ولقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تفصيلا (الإسراء 70)
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” [QS: al Isra’: 70]
Imam Ibnu Katsir menuturkan bahwa “manusia diciptakan sebaik-baik bentuk, tidak satupun makhluk yang lebih baik ciptaannya selain manusia”. (At-tīn 4).
Akhlak mulia yang diteladankan oleh baginda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam dewasa ini sudah mulai memudar. Ada sekelompok orang atau individu yang mengaku ‘berilmu’ dan mengikuti sunnah justru tidak mencerminkan sebagai orang berilmu dan pengikut sunnah. Bahkan sebaliknya, semakin tinggi titel akademik yang diraih dan semakin luas bacaannya yang dijelajah, semakin jauh dari akhlak salaf.* >> klik (Bersambung)