Hidayatullah.com | Masyarakat Madani, adalah ciri masyarakat dambaan banyak orang. Masyarakat Madani mengingatkan kita pada perjuangan Rasulullah menegakkan Islam.
Di saat ruang gerak dakwah Rasulullah di Makkah terasa semakin sempit, beliau kemudian berupaya mencari potensi kekuatan yang dapat melindungi kaum Muslimin. Beliau mencari basis teritorial yang dapat melindungi kaum Muslimin.
Akhirnya Rasulullah ﷺ berhasil mendapatkan dukungan dari orang-orang Suku Aus dan Khazraj dari Yatsrib (Madinah). Madinah sebagai pusat perkembangan Islam ke seluruh penjuru bumi, berdiri tegak ditopang dengan pilar-pilar sendi kehidupan.
Hal pertama yang dilakukan Nabi Muhammad kala saat tiba di Madinah kala itu adalah membangun masjid. Tepat di tempat menderumnya unta itulah beliau memerintahkan untuk membangun masjid.
Beliau membeli tanah tersebut milik dua anak yatim yang diasuh dan menjadi tanggungjawab As’ad bin Zurarah. Beliau terjun langsung dalam pembangunan masjid, memindahkan bata dan bebatuan.
Tujuan utama pembangunan masjid ialah memperkokoh hubungan umat Islam dengan Allah SWT (hablum minallah). Karena, pilar utama bagi tegaknya masyarakat religius adalah pemeliharaan iman dan takwa.
Yusuf Al-Qaradhawi menyatakan, fungsi masjid pada masa itu sebagai pusat bimbingan dan perbaikan umat; tempat berkumpul untuk ibadah dan belajar pengetahuan; tempat pendidikan; ajang saling mengenal, dan tempat bermusyawarah.
Dengan begitu terwujud baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
وَلَوۡ اَنَّ اَهۡلَ الۡقُرٰٓى اٰمَنُوۡا وَاتَّقَوۡا لَـفَتَحۡنَا عَلَيۡهِمۡ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَآءِ وَالۡاَرۡضِ وَلٰـكِنۡ كَذَّبُوۡا فَاَخَذۡنٰهُمۡ بِمَا كَانُوۡا يَكۡسِبُوۡنَ
Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan. (QS: Al-A’raf [7]: 96).
Kedua, mempersaudarakan Kaum Muhajirin dan Anshar. Disamping membangun masjid sebagai tempat mempersatukan umat Islam, Rasulullah ﷺ melakukan langkah untuk mempersaudarakan antara orang-orang Muhajirin dan Anshar di rumah Anas bin Malik.
Rasulullah ﷺ mempersudarakan sembilan puluh orang dari Muhajirin dan Anshar. Dengan tujuan untuk saling tolong menolong, saling mewarisi harta jika ada yang meninggal dunia di samping kerabatnya.
Mengenai warisan ini berlaku hingga Perang Badar setelah turun Surat Al-Anfal ayat 75. Maka hak waris mewarisi menjadi gugur, tetapi ikatan persaudaraan tetap berlaku.
Dalam pertautan persaudaraan ini terdapat kisah yang masyhur dari Abdurrahman bin Auf yang dipersaudarakan dengan Sa’d bin Ar-Rabi. Sa’d berkata kepada Abdurrahman, “Sesungguhnya aku adalah orang yang paling banyak harta di kalangan Anshar. Ambillah separoh hartaku itu menjadi dua. Aku juga mempunyai dua istri. Lihatlah mana yang engkau pilih, agar aku bisa menceraikannya. Jika masa iddahnya sudah habis maka nikahilah.”
Abdurrahman berkata, “Semoga Allah memberkahi bagimu dalam keluargamu dan hartamu. Lebih baik tunjukkan saja mana pasar kalian.”
Maka ditunjukkanlah pasar Bani Qainuqa. Tak lama kemudian ia sudah mendapatkan sejumlah samin dan keju. Jika pagi hari ia sudah pergi untuk berdagang, hingga suatu hari ia bertemu Rasulullah ﷺ dengan wajah agak pucat.
Kemudian Rasulullah bertanya, “Bagaimana keadaanmu. “Aku sudah menikah.” Jawab Abdurrahman. “Berapa mas kawin yang engkau serahkan kepada istrimu?” Ia menjawab “Beberapa keping emas.”
Persaudaraan, soliditas, persatuan dan kesatuan ini merupakan asas tegaknya tatanan masyarakat. Kaum Muslimin melandasinya atas dasar keimanan, sehingga menjadi kekuatan yang kokoh.
إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا۟ بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (QS: Al-Hujurat [49]: 10).
Pertautan persaudaraan sebagai langkah yang sangat tepat, karena dapat menyelesaikan berbagai problematika kehidupan.
Ketiga, piagam Madinah. Setelah mempersaudarakan orang-orang mukmin, tidak lama setelah itu Rasul ﷺ mengikat dengan sebuah perjanjian (Piagam Madinah) antara kaum Muhajirin dan Anshar dengan kaum Yahudi sehingga dapat menyingkirkan belenggu fanatisme kekabilahan.
Piagam Madinah dikenal sebagai konstitusi pertama yang tertulis secara resmi dalam perjalanan sejarah umat manusia.
Keempat, membangun pasar (penumbuhan perekonomian). Pada saat itu, pasar Nabi ﷺ ini disebut Baqi Al-Khail (Pasar Baqi), di sampingnya kuburan Baqi Al-Gharqad.
Lokasinya berada di pinggir Kota Madinah memudahkan pada pedagang menyuplai barang tanpa harus melewati jalan-jalan Kota Madinah dan mengganggu aktivitas warga. Pasar di area terbuka ini memiliki panjang 500 meter dan lebar 100 meter.
Berbagai barang yang disuplai ke pasar tidak hanya makanan, tetapi juga bahan dapur, kain, minyak wangi, peralatan perang, dan berbagai macam komoditas dipasok ke Pasar Baqi.
Nabi ﷺ menerapkan kebijakan di Pasar Baqi dalam membangun ekonomi umat, di antaranya tidak mengizinkan seseorang membuat tempat khusus di pasar, dan membebaskan pedagang dari pajak dan upeti.
Jika nilai-nilai pilar-pilar pembangunan masyarakat madani ini dapat diinternalisasikan dan diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara maka dapat mengantarkan kepada baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
Pengertian Masyarakat Madani
Dalam bahasa Arab kata madaniyah digunakan untuk menyebut ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan di Madinah atau diturunkan setelah Nabi Muhammad ﷺ hijrah ke Yatsrib kemudia namanya diganti Madinah al-Munawarah (Kota yang bercahaya). Madani sendiri berasal dari akar dana-yadinu, aryinya patuh pada norma, nilai/ aturan yang berlaku, aturan khusus agama (din).
Secara bahasa, istilah madani berkaitan dengan hak-hak sipil; berhubungan dengan perkotaan; menjunjung tinggi nilai, norma, hukum yang ditopang oleh penguasaan iman, sains, dan teknologi yang berperadaban.
Istilah masyarakat madani pertama kali dimunculkan Anwar Ibrahim, saat menjadi wakil perdana menteri Malaysia. Dimaksudkan untuk menyebut civil society atau ”masyarakat yang berperadaban”.
Dalam konteks Islam, masyarakat madani adalah masyarakat yang patuh pada aturan din, yaitu Islam, di bawah kepemimpinan langsung Nabi Muhammad ﷺ.*/ H. Imam Nur Suharno, Pengurus Korps Mubaligh Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat