DALAM al-Qur`an, kisah terkait Nabi Luth bersama kaumnya disebut di banyak surah, seperti: Al-A’raf, Hud, Al-Hijr, Al-Anbiya, Al-Haj, Syu’ara, An-Naml, Al-Ankabut, Ash-Shaffat, Shad, Qaf , Adz-Dzariyat, An-Najm, Al-Qamar, dan At-Tahrim. Bila ditotal secara keseluruhan, pembahasannya tidak kurang dari delapan puluh sembilan ayat. Mengingat banyaknya ayat yang mengupas persoalan ini, maka topik ini pun menjadi sangat penting.
Meski demikian, penulis membatasi tadabbur pada lima poin yang penting: Pertama, penyimpangan Kaum Luth. Kedua, upaya Nabi Luth dalam meluruskan penyimpangan kaumnya. Ketiga, tuduhan yang disematkan kepada Nabi Luth. Keempat, ancaman yang ditujukan kepada Nabi Luth. Kelima, kesesuaian antara siksa dengan perilaku menyimpang Kaum Luth. Setelah itu, tulisan ini akan dipungkasi dengan pengambilan solusi.
Penyimpangan Kaum Luth
Terkait penyimpangan Kaum Nabi Luth, yang paling menonjol adalah penyimpangan seksual. Ada tiga surah yang membahas penyimpangan tersebut, yaitu: Al-A’raf [7]: 80; Asy-Syu’ara [26]: 165; dan An-Naml [27]: 54-55. Berdasarkan ayat ini diketahui bahwa mereka adalah kaum yang mempraktikkan penyimpangan seksual yang belum pernah dilakukan oleh kaum-kaum sebelumnya. Dalam negeri yang dikenal dengan Sodom atau Gomora, mereka terbiasa melakukan hubungan seksual sesama jenis. Bahasa kita sekarang adalah homoseksual.
Perbuatan ini tentu menyalahi sunnah para nabi dan rasul yang memberi teladan nikah dengan lawan jenis (QS. Ar-Ra’du [13]: 38). Di sisi lain, yang mempertegas perbuatan mereka adalah sangat menyimpang, adalah beberapa karakter yang disematkan kepada mereka, yaitu: qaumun musrifûn (QS. Al-A’raf [7]: 81), qaumun ‘âdûn (QS. Asy-Syu’ara [26]: 166), qaumun tajhalûn (QS. An-Naml [27]: 55), qaum mujrimin (QS. Al-Hijr [15]: 58), qaum munkarûn (QS. Al-Hijr [15]: 62), qaum sau`in fâsiqîn (QS. Al-Anbiya [21]: 74), qaum mufsidin (QS. Al-Ankabut [29]: 30), zâlimin (QS. Al-Ankabut [29]: 31) Di sini mereka disebut: melampau batas, bodoh, berdosa, munkar, jahat, fasik, perusak dan zalim.
Perbuatan mereka pun dikategorikan sebagai ‘fâhisyah’ (QS. Al-A’raf [7]: 80) dan ‘al-khabâ`its’ (QS. Al-Anbiya [21]: 74) yang berarti perbuatan keji dan buruk. Maka sangat aneh jika ada orang muslim –walau setingkat profesor- seperti Musdah Mulia misalnya, yang menghalalkan homoseksual dan homoseksualitas (Suara Hidayatullah, 2008: 294)
Sangat lucu jika memisahkan antara tindakan homoseksual dengan orientasi seksual. Sebab, jika tidak memiliki orientasi menyimpang, bagaimana bisa terjadi tindakan penyimpangan.
Di Barat sendiri, sebelum LGBT menyebar luas dan diakui, dulunya perbuatan ini secara psikologis dianggap menyimpang. Dalam buku berjudul “Gay Histories and Cultures” (2000) karya George E. Haggerty, ada catatan menarik. Awalnya, pada DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) I dan II Homoseksualitas dianggap sebagai gangguan kepribadian dan penyimpangan seksual. Kemudian dihapus oleh APA (American Psychiatric Association) pada tahun 1973.
Upaya Nabi Luth Meluruskan Penyimpangan
Nabi Luth sebenarnya bukan penduduk asli negeri Sodom. Saat diutus ke negeri tersebut, kondisi penyimpangan seksual sesama jenis sudah sangat dominan dan massif. Ibaratnya, yang dilakukan Nabi Luth adalah bukan sekadar mengantisipasi atau mencegaah tapi mengobati orang yang sudah sakit parah. Apa yang dilakukan Luth ini nanti bisa dijadikan gambaran bagaimana jika kaum homoseksual ini dominan dan berkuasa di suatu negeri. Tindakan mereka –seperti yang dijelaskan al-Qur`an- sangat tidak beradab dan jauh dari akhlak mulia.
Walau demikian, Luth ‘alaihis salam tidak tinggal diam. Beliau melakukan dakwah secara massif; menegakkan amar makruf nahi mungkar; meluruskan kesalahan konsep; menjawab syubhat-syubhat yang dihembuskan pecinta seks sesama jenis. Namun, hasilnya tak begitu signifikan. Yang mengikuti beliau hanya segelintir orang. Kegigihan Luth ‘alaihis salam dalam berdakwah ini memberi pelajaran bagi para dai akan pentingnya dakwa dalam situasi segenting apapun. Tugas dai hanya berusaha secara maksimal, sedangkan hasil terserah Allah ta’ala.
Tuduhan yang Disematkan kepada Nabi Luth
Karena Kaum Luth ‘alaihis salam sudah dikuasai syahwat menyimpang, maka kata-kata baik yang keluar dari lisan Luth ‘alaihis salam bagaikan angin lalu. Sebenarnya mereka tahu tindakan yang dilakukan adalah tercela, namun nasihat-nasihat beliau malah mendapat ejekan. Luth ‘alaihis salam beserta pengikutnya dituduh sebagai ‘unas yatatahharun’ (QS. 7: 82 dan 27: 56) mereka dituduh sebagai orang-orang yang pura-pura suci. Meminjam bahasa kekinian mungkin kurang-lebih: ‘Manusia Sok Suci’.
Perhatikan kengototan dan kengeyelan mereka. Sudah tahu salah tapi mencari-cari pembenaran dan pongah. Orang yang saleh dianggap salah; orang yang baik ditampik; argumentasi orang benar, dilempar. Ternyata, karakter ini juga ditiru oleh pengusung LGBT zaman sekarang. Orang yang menentang penyimpangan seksual dianggap intoleran dan anti HAM. Bahkan, ada yang secara akademis membongkar tafsir-tafsir ulama yang sudah mapan diganti pandangan-pandangan yang ramah LGBT.
Ancaman Terhadap Nabi Luth
Dalam mengemban misi dakwah luhur ini, Luth ‘alaihis salam menghadapi risiko yang sangat berat. Ketika menyampaikan dakwahnya, alih-alih kaumnya mendengar, mereka justru mengancamnya. Mereka lebih mengikuti apa kata syahwat daripada mengikuti jalan selamat. Jika beliau dan pengikutnya tidak mau berhenti berdakwah, akan diusir dari wilayah mereka (QS. 7: 82, 27: 56) Bahkan, yang lebih parah mereka dengan enteng berani menantang Luth ‘alaihis salam untuk mendatangkan azab (QS. 29: 29)
Para dai khususnya, dan umat Islam pada umumnya perlu waspada. Dari kisah Nabi Luth ‘alaihis salam kita bisa mengenal karakter mereka secara jelas ketika otoritas kekuasaan di tangan mereka. Yang dijunjung tinggi adalah syahwat. Jika ada yang tidak setuju, maka akan mereka bully, dicitrakan negatif, bahkan pada tahap tertentu akan diusir dari negeri mereka. Maka, sebelum mereka menjadi dominan, langkah-langkah preventif untuk mengatasi LGBT harus terus diupayakan umat agar virus ini tidak menjalar ke mana-mana dan menjadi dominan.
Kesesuaian antara Siksa dan Penyimpangan
Bila pembaca mau menelaah kisah kaum nabi Luth yang diazab, maka akan mendapati kesesuaian yang mencengangkan antara azab dan perbuatan mereka. Fitrah yang terbalik (berupa hubungan lawan jenis) diazab dengan wilayah yang dibalik (QS. Hud [11]: 82 dan Al-Hijr [16]: 74). Tadinya tempat tinggal mereka yang ada di permukaan tanah, dibalik ke bawah. Pada ayat yang sama, fitrah yang menyimpang ini juga menurunkan fenomena azab yang menyimping. Mereka dihujani batu keras dari langit. Hujan yang seharusnya air yang menghidupkan tanaman di bumi, di balik menjadi batu sehingga mematikan apa yang di bumi. Ini karena fitrah mereka telah mati dan membatu.
Uniknya, di zaman modern, ketika fenomena ini kembali menjangkit dan menjalari manusia, ada penyakit baru yang belum pernah ada sebelumnya, yaitu penyakit: Aids-HIV. Menurut catatan Dr. Malik Badri dalam buku: “The AIDS Crisis: a Natural Product of Modernity’s Sexual Revolution Virus”, virus ini pertama kali ditemukan di Amerika pada tahun 1981 (1999: 11) dari orang yang menjalankan aktivitas seks menyimpang, yaitu homoseksual (1999: 148-150).
Kesesuaian dengan amal mereka –sebagaimana perbuatan menyimpang yang dilakukan- adalah karena perbuatan mereka yang menyimpang adalah hal baru yang belum pernah dilakukan oleh kaum sebelum kaum Nabi Luth (QS. Al-A’raf [7]: 80 dan Al-Ankabut [29]: 28). Jadi, kalau ada penyakit baru yang mendera mereka, itu sesuai dengan perilaku mereka.
Tawaran Solusi
Dari lima poin tadabbur tersebut, pembaca bisa melihat betapa bahayanya fenomena penyimpangan seksual tersebut. Sebelum mereka menjadi dominan dan menguasai wilayah di Indonesia,–sebagaimana yang hadapi Nabi Luth- maka perlu ditanggulangi secara cepat agar tidak meluas. Bila kita tadabburi ayat-ayat terkait kisah Nabi Luth, ada beberapa solusi yang bisa diterapkan: Pertama, meluruskan persepsi menyimpang (QS. Al-A’raf [7]: 80-81. Kedua, menegakkan amar ma’ruf nahi munkar (QS. Al-Ankabut [29]: 28). Ketiga, menguatkan institusi keluarga (bahkan hingga negara) dan memperkokoh hubungan vertikal dengan Allah (QS. Hud [11]: 80). Keempat, membimbing mereka untuk taubat disertai alternatif solusi (QS. Hud [11]: 78) Kelima, membina komunitas yang takwa dan taat agama (QS. Asy-Syu’ara [26]: 160).
Semoga kita masuk bagian yang akan diselamatkan Allah sebagaimana Nabi Luth dan pengikutnya seperti yang tertera pada Surah Al-A’raf ayat 83. Wallâhu a’lam.*/Mahmud Budi Setiawan