JIKA menurut pandangan hawa nafsu, hidup serba mudah dalam urusan duniawi tentu menjadi satu taraf hidup ideal yang siapa berhasil memilikinya akan disebut beruntung.
Akan tetapi, kehidupan ini bukan semata berisi hal-hal yang sesuai dengan pandangan hawa nafsu, tetapi banyak hal yang dapat menghidupkan akal dan hati manusia.
Oleh karena itu, kebaikan hidup tidak bisa disandarkan pada kebaikan yang didambakan hawa nafsu. Bahkan kadang kala ada hidup yang cukup sulit, namun itu berhasil membuat hati seorang Muslim bersih, hidup, dan memancarkan kebaikan-kebaikan iman dan Islam.
Dalam hal kekayaan misalnya, semakin cepat dapat menghimpun dana besar, semakin baik kehidupan. Tetapi Isalm membatasi dengan syariatnya berupa koridor halal dan koridor haram.
Jual beli, dalam Islam adalah halal. Sebaliknya, riba, haram dan karena itu pelakunya akan menjadi penghuni neraka.
Dari Ibn Mas’ud, dia berkata, Rasulullah ﷺ melaknati orang yang memakan riba dan yang menyerahkannya.” (HR. Muslim).
At-Tirmidzi menambahkan, “Kedua saksi dan penulisnya.”
Kemudian dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba (rentenir), penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris) dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba.” Kata beliau, “Semuanya sama dalam dosa.” (HR. Muslim).
Hal ini menunjukkan bahwa manusia yang menjalani praktik riba di dalam kehidupannya boleh jadi akan dengan mudah dan cepat memperoleh kekayaan. Akan tetapi pada dasarnya ia sedang menentang syariat Allah dan karena itu, laknat-Nya menjadi layak bagi dirinya. Adakah hal semacam ini keberuntungan?
Kemudian sisi kesehatan. Sebagian besar orang nampaknya tidak menolak bahwa hidup bahagia apabila diri tidak pernah bertemu dengan sakit dan penyakit. Hal ini memang wajar dalam pandangan akal dan hawa nafsu, mengingat orang yang sehat dapat berbuat banyak hal.
Namun demikian, kasih sayang Allah tidak berarti hanya melalui karunia-Nya berupa kesehatan kepada setiap manusia. Terkadang, kasih sayang Allah itu melimpah justru dalam bentuk sakit.
Oleh karena itu ditekankan agar seorang Muslim tidak memandang buruk orang yang sakit bahkan ketika sakit itu menimpa diri sendiri.
أَنَّ رَسُوْلَ الله صلى الله عليه وسلم دَخَلَ عَلَى أُمِّ السَّائِبِ (أَوْ: أُمِّ الْمُسَيَّبِ)، فَقَالَ: مَا لَكِ يَا أُمَّ السَّائِبِ (أَوْ: يَا أُمَّ الْمُسَيَّبِ) تُزَفْزِفِيْنَ؟ قَالَتْ: اَلْحُمَّى، لاَ بَارَكَ اللهُ فِيْهَا. فَقَالَ: لاَ تَسُبِّي الْحُمَّى، فَإِنَّهَا تُذْهِبُ خَطَايَا بَنِيْ آدَمَ كَمَا يُذْهِبُ الْكِيْرُ خَبَثَ الْحَدِيْدِ.“
Dari Jabir, bahwa Rasulullah ﷺ pernah mendatangi Ummu Sa-ib atau Ummul Musayyib, lalu bersabda, “Kenapa kamu gemetar (menggigil) wahai Ummu Sa-ib?”
Dia menjawab, “Demam! Semoga Allah tidak memberkahinya.”
Beliau pun bersabda, “Janganlah mencela demam. Sesungguhnya demam menghapuskan dosa-dosa anak Adam, sebagaimana ubub (alat pemanas besi) melenyapkan karatnya besi.” (HR. Muslim).
Syaikh Salim bin ‘Id Al-Hilali dalam syarah Riyadhus Sholihin menjelaskan bahwa rasa sakit dan penyakit yang menimpa seorang Muslim adalah penghapus dosa-dosanya dan dapat mengangkat derajatnya.
Karena itu tidak boleh mencela sakit yang hakikatnya dapat mendekatkan diri seseorang kepada Allah meskipun sesuatu itu mengandung kesulitan bagi mereka. Kemudian, tidak boleh mengeluh dan jenuh terhadap ketentuan (qadar) Allah, karena yang demikian itu dapat mematikan kesabaran dan keridhaan.
Dengan demikian, mari kita kembali kepada ajaran Islam dengan benar, karena dengan cara itu kita dapat melihat hakikat, sehingga hidup kita dapat sampai pada tataran ideal, hidup yang senantiasa memberikan pemahaman positif, senantiasa mengutamakan kesyukuran kepada Allah, dan tidak melihat apapun melainkan dengan kacamata iman, sehingga semangat ibadah dan amal shaleh tak pernah padam dalam dada.* Imam Nawawi