Hidayatullah.com | BAGI muslim yang memiliki tauhid kuat, kekhawatiran pada corona dalam batas wajar masih dibenarkan. Namun, ketika sudah menjadi paranoid, hingga mengalahkan rasa takut kepada Allah, maka di sini tauhidnya jadi ternoda.
Mengapa demikian? Karena ada beberapa prinsip yang dimiliki oleh orang bertauhid.
Pertama, segalah sesuatu yang menimpa tidak lepas dari izin Allah, sebagaimana firman-Nya:
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ
“Tidaklah menimpa suatu musibah, melainkan dengan izin Allah.” (QS. At-Taghabun [64]: 11) Kalau semua atas izin Allah, maka ketakutan berlebihan tidaklah pantas terjadi pada orang yang bertauhid.
Dalam ayat lain juga ditegaskan:
{مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ} [الحديد: 22]
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadid [57]: 22)
Jadi, pada prinsipnya, bagi muslim semua yang terhadi dalam hidup ini sudah dicatatat dalam Lauhil Mahfud, karena itu tidak ada alasan untuk rasa takut berlebihan.
Kedua, ketika merasakan suatu sakit atau kekhawatiran tertular penyakit, bagi muslim bertauhid yang akan diingat terlabih dahulu bukan langsung pada sakitnya, tapi Allah Yang Maha Memberi kesembuhan.
Perhatikan doa Nabi Ayyub berikut:
وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَى رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ
“dan (ingatlah kisah) Ayyub ketika ia menyeru Tuhannya: “(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.” (QS. Al-Anbiya [21]: 23)
Di sini, saat Ayyub diuji dengan sakit yang sangat parah, yang dipangil lebih dahulu adalah Allah, bukan sakit yang dideritanya. Bahkan, untuk menyebut sakit pun dengan penuh adab dan kesopanan.
Ketiga, ada hadits yang mengatakan bahwa, “Apabila kalian mendengar wabah lepra di suatu negeri, maka janganlah kalian masuk ke dalamnya, namun jika ia menjangkiti suatu negeri, sementara kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar dari negeri tersebut.” (HR. Bukhari)
Ada pandangan menarik dari Badruddin Aini terkait hadits ini. Katanya, “Maksud larangan keluar atau masuk di suatu negeri yang ada wabah tha’unnya adalah agar orang tidak mengira bahwa kematian atau kebinasaannya karena datang ke tempat yang ada wabahnya atau keselematannya karena dia keluar dari sana. Karena, semua itu adalah ketetapan Allah. (Umdatul Qari, 24/125)
Di sini ketauhidan seseorang akan teruji. Bahwa masalah sakit dan kematian, pada prinsipnya mutlak kehendak Allah. Kebinasaan atau kematian pada dasarnya bukan karena mendatangi daerah yang ada wabahnya. Demikian juga keselamatan, bukan karena keluar dari daerah yang ada wabahnya. Pada dasarnya, semua itu tak lepas dari kehendak dan ketetapan-Nya, bukan karena sakit atau wabah itu sendiri.
Keempat, bagi muslim, apapun kondisinya baik baginya, sebagaimana gambaran Nabi: “Perkara orang mu`min mengagumkan, sesungguhnya semua perihalnya baik dan itu tidak dimiliki seorang pun selain orang mu`min, bila tertimpa kesenangan, ia bersyukur dan syukur itu baik baginya dan bila tertimpa musibah, ia bersabar dan sabar itu baik baginya.” (HR. Muslim)
Bagi Muslim, sembuh atau sehat semuanya adalah kebaikan. Jika sembuh atau sehat, dia bersyukur. Ketika sakit, dia bersabar. Ada banyak hadits yang menunjukkan bahwa ketika seorang sakit pun, masih mendapat kebaikan yaitu penghapusan dosa-dosa kecil. Bahkan, orang yang mati terkena wabah misalnya, terhitung syahid di jalan Allah.
Kelima, bukan berarti keempat prinsip tadai menafikan usaha manusia. Buktinya, Nabi memerintahkan agar tidak mendatangi negeri yang terjangkit wabah atau keluar dari negeri yang terserang wabah.
Maka kata Ibnu Qayyim dalam “Ath-Thibbu An-Nabawi” bahwa, “Larangan untuk memasuki negeri yang terkena wabah adalah sebagai kewaspadaan dan perlindungan diri serta larangan menjerumuskan diri pada faktor-faktor kebinasaan. Adapun larangan pergi bagi yang berada dalam suatu negeri yang terjangkit wabah, adalah adalah agar menjalanan perintah untuk tawakkal, berserah diri dan pasrah kepada Allah.”
Dari lima prinsip itu, nyatalah bahwa tidak seharusnya rasa takut corona melebihi takut kepada Allah. Muslim yang bagus tauhidnya adalah yang sehat keyakinannya tidak memiliki takut yang berlebihan. Baginya, Allah adalah yang pantas ditakuti. Meski begitu, juga tidak menafikan usaha untuk menghindarkan atau memproteksi dari wabah penyakit.*/Mahmud Budi Setiawan