Hidayatullah.com | KETIKA penyanyi campur sari Didi Kempot meninggal dunia belum lama ini, salah seorang pengagum sekaligus rekannya sesama seniman jalanan menulis di wall Facebook–nya. “Selamat tinggal seniorku.”Beberapa teman di jejaring sosial itu protes. Mengapa mengucapkan selamat tinggal kepada orang yang wafat? Bukankah seharusnya selamat jalan? Begitulah kira-kira tegur mereka.
Tak tahu pasti apakah si penulis status memang sengaja menulis ucapan “selamat tinggal”, bukan “selamat jalan”, kepada rekannya itu. Hingga tulisan ini dibuat, ia sama sekali tak menjawab protes itu. Barangkali ia memang menulis itu secara sadar. Ucapan selamat tinggal biasanya disampaikan oleh orang-orang yang berlari, atau berjalan, lalu satu di antara mereka berhenti. Orang-orang yang berlari tadi kemudian mengatakan “selamat tinggal” kepada orang yang berhenti.
Banyak di antara manusia yang berusaha lari dari kematian. Mereka lari karena takut. Padahal, semakin ia berusaha berlari, semakin ia akan frustasi. Sebab, tak ada yang mampu menolak kematian. Tak ada seorang saudara atau sahabat yang mampu menolong kita menahan kematian. Selalu saja kematian datang berulang-ulang, menjemput setiap orang, baik tua maupun muda, kaya maupun miskin, kuat maupun lemah.
Fenomena ini sudah disebutkan oleh Allah Ta’ala dalam al-Qur’an
قُلْ إِنَّ ٱلْمَوْتَ ٱلَّذِى تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُۥ مُلَٰقِيكُمْ ۖ ثُمَّ تُرَدُّونَ إِلَىٰ عَٰلِمِ ٱلْغَيْبِ وَٱلشَّهَٰدَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
“Sesungguhnya kematian yang kamu lari darinya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu. Kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Surat Al Jumu’ah [62] ayat 8).
Allah Ta’ala juga berfirman;
وَجَآءَتْ سَكْرَةُ ٱلْمَوْتِ بِٱلْحَقِّ ۖ ذَٰلِكَ مَا كُنتَ مِنْهُ تَحِيدُ
“Dan datanglah sakaratul maut yang sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari darinya.” (QS: Qaaf [50] ayat 19).
Setiap jiwa pasti akan mati. Tak ada yang bisa luput darinya. Meskipun, kata Allah Ta’ala dalam surat An Nisa’ [4] ayat 78, kamu berada di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.
Seandainya ada orang yang mampu selamat dari maut, maka sepantasnya itu adalah manusia paling mulia, kekasih Allah Ta’ala, Muhammad ﷺ). Tapi faktanya, Muhammad ﷺ juga tak mampu membendung kematian. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya engkau (Muhammad ﷺ) akan mati, dan sesungguhnya mereka akan mati (pula).” (QS: Az Zumar [39]: 30).
Tentang kematian, Rasulullah ﷺ pada suatu hari berkumpul bersama para sahabatnya. Beliau, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari, membuat garis segi empat. Lalu Beliau membuat garis di tengahnya, keluar dari garis segi empat tadi. Beliau kemudian membuat garis-garis kecil di garis yang berada di tengah ini.
Beliau bersabda, “Ini manusia, dan ini ajal yang mengelilinginya, atau telah mengelilinginya. Yang keluar ini adalah angan-angannya. Dan garis-garis kecil ini adalah musibah-musibah. Jika ini luput darinya, ini pasti mengenainya. Jika ini luput darinya, ini pasti mengenainya.” Jadi, jika demikian keadaannya, mana mungkin manusia bisa lari dari kematian.
Yang dianjurkan oleh Rasulullah ﷺ justru memperbanyak mengingat kematian. Rasulullah ﷺ bersabda, “Perbanyaklah mengingat pemutus kenikmatan, yaitu kematian. Karena sesungguhnya tidaklah seseorang mengingatnya di waktu sempit kehidupannya, kecuali (mengingat kematian) itu melonggarkan kesempitan hidup atas orang itu. Dan tidaklah seseorang mengingatnya di waktu luas (kehidupannya), kecuali (mengingat kematian) itu menyempitkan keluasan hidup atas orang itu.” (Riwayat Ath Thabrani dan Al Hakim).
Mengingat kematian akan membuat kita senantiasa terdorong untuk mempersiapkan diri menyambut kedatangannya, bukan lari darinya. Rasulullah ﷺ pada suatu ketika duduk di tepi kubur. Beliau menangis berurai air mata hingga tanah di kuburan itu menjadi basah. Lalu Beliau berkata kepada para sahabatnya, “Wahai saudara-saudaraku! Persiapkanlah untuk kalian menghadapi keadaan seperti ini!” (Riwayat Ibnu Majah).
Didi Kempot, atau Didi Prasetyo, mudah-mudahan tidak sedang berlari dari kematian, lalu terhenti karena maut menjemputnya, sehingga sang sahabat mengucapkan “Selamat tinggal,” kepadanya.
Setidaknya, beberapa hari sebelum ajal menjemputnya, ia telah membuat persiapan yang mudah-mudahan bisa menjadi bekal kebaikannya di akhirat kelak. Ia telah menyumbang lebih dari Rp 2 miliar untuk masyarakat yang terdampak covid 19 melalui Laziz Muhammadiyah dan NU. Sesuatu yang belum tentu bisa kita lakukan.
Mari bersiap menyambut kematian. Jangan lari darinya!*/Mahladi Murni