Allah menurunkan hujan, dan memerintahkan Malaikat Mikail membagikan dan mendistribusikan ke semua mahluk di bumi
Hidayatullah.com | AWAN hitam menyelimuti bumi, kilat menyambar menggelegar, membelah angkasa. Angin bertiup pelahan kadang kencang, dinginnya menusuk tulang.
Tetes demi tetes air hujan jatuh membasahi persada, menimbulkan aroma khas. Burung-burung mengepakkan sayapnya, menggelepar dan bersembunyi di balik rimbunya dedaunan.
Ketika hujan reda, sinar matahari perlahan menembus awan, menerangi mayapada. Bekas tetesanya memantulkan bias cahaya berwarna-warni, melengkung indah di atas bumi, menciptakan pelangi.
Allah menurunkan hujan, berupa butir-butir air dari langit ke permukaan bumi. Jatuhnya air hujan ini merupakan proses kondensasi (perubahan wujud benda ke wujud yang lebih padat) uap air di atmosfer menjadi air yang jatuh ke daratan.
Hujan membutuhkan keberadaan lapisan atmosfer tebal supaya dapat memenuhi suhu di atas titik leleh es di dekat dan atas permukaan bumi. Ada banyak fakta menarik terkait turunnya air hujan ini.
Di dalam al-Qur’an, disebutkan bahwa Allah menurunkan air hujan dalam ukuran atau kadar tertentu, sebagaimana firman Nya berikut:
وَالَّذِىۡ نَزَّلَ مِنَ السَّمَآءِ مَآءًۢ بِقَدَرٍۚ فَاَنۡشَرۡنَا بِهٖ بَلۡدَةً مَّيۡتًا
“Dan yang menurunkan air dari langit menurut ukuran (yang diperlukan) lalu dengan air itu Kami hidupkan negeri yang mati (tandus).” (QS: Az-Zuhruf: 11).
Kata “kadar” yang disebutkan dalam ayat tersebut merujuk pada salah satu karakterıstik hujan. Secara umum, jumlah hujan yang turun ke bumi selalu sama.
Diperkirakan ada sebanyak 16 ton air di bumi menguap setiap detiknya. Jumlah ini sama dengan jumlah air yang turun ke bumi pada setiap detiknya.
Hal ini menunjukkan bahwa hujan secara terus-menerus beredar dalam sebuah siklus seimbang menurut ‘ukuran tertentu’. Atas kehendak-Nya, Allah menurunkan hujan secara mutlak, yang telah terurai lewat banyak peristiwa di alam.
Kemutlakan kehendak Allah ini telah tersimpan di balik Lauh Mahfuzh, sebagai sebuah keabadian yang tak tersentuh oleh siapa pun. Bahkan hal itu terjadi 50.000 tahun sebelum kelahiran bumi dan langit.
Allah menurunkan hujan dan dengan kehendak-Nya pula tercipta langit dan bumi.
Kemudian dengan air hujan Dia menghidupkan bumi menciptakan lautan, sungai, bahkan buah-buahan. Sebagaimana dikutip Al-Quran dalam Surat Ibrahim;
اَللّٰهُ الَّذِىۡ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالۡاَرۡضَ وَاَنۡزَلَ مِنَ السَّمَآءِ مَآءً فَاَخۡرَجَ بِهٖ مِنَ الثَّمَرٰتِ رِزۡقًا لَّـكُمۡ ۚ وَسَخَّرَ لَـكُمُ الۡـفُلۡكَ لِتَجۡرِىَ فِى الۡبَحۡرِ بِاَمۡرِهٖۚ وَسَخَّرَ لَـكُمُ الۡاَنۡهٰرَۚ
“Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air (hujan) dari langit, kemudian dengan (air hujan) itu Dia mengeluarkan berbagai buah-buahan sebagai rezeki untukmu; dan Dia telah menundukkan kapal bagimu agar berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan sungai-sungai bagimu.” (QS: lbrahim [14]: 32).
Tidak hanya air hujan, bahkan petir. Petir biasanya mengiringi hujan besar membuat suasana mencekam.
Bunyinya menggelegar merimbulkan ketakutan dan kekhawatiran. Padahal, petir adalah hamba Allah yang senantiasa bertasbih dan takut kepada-Nya.
هُوَ الَّذِىۡ يُرِيۡكُمُ الۡبَرۡقَ خَوۡفًا وَّطَمَعًا وَّيُنۡشِئُ السَّحَابَ الثِّقَالَۚ
“Dialah yang memperlihatkan kilat (petir) kepadamu, yang menimbulkan ketakutan dan harapan, dan Dia menjadikan mendung.” (QS: Ar-Ra’d : 12).
Terkait turunnya air hujan telah diulang Al-Quran di banyak surat.
اَللّٰهُ الَّذِىۡ يُرۡسِلُ الرِّيٰحَ فَتُثِيۡرُ سَحَابًا فَيَبۡسُطُهٗ فِى السَّمَآءِ كَيۡفَ يَشَآءُ وَيَجۡعَلُهٗ كِسَفًا فَتَرَى الۡوَدۡقَ يَخۡرُجُ مِنۡ خِلٰلِهٖۚ فَاِذَاۤ اَصَابَ بِهٖ مَنۡ يَّشَآءُ مِنۡ عِبَادِهٖۤ اِذَا هُمۡ يَسۡتَبۡشِرُوۡنَۚ
“Dialah yang mengirim angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal; lalu kamu lihat hujan keluar dari celah-celahnya, maka apabila hujan itu turun mengenai hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya, tiba-tiba mereka menjadi gembira.” (QS: Ar-Rum:48).
Dalam surat lain disebutkan;
اَلَمۡ تَرَ اَنَّ اللّٰهَ يُزۡجِىۡ سَحَابًا ثُمَّ يُؤَلِّفُ بَيۡنَهٗ ثُمَّ يَجۡعَلُهٗ رُكَامًا فَتَرَى الۡوَدۡقَ يَخۡرُجُ مِنۡ خِلٰلِهٖۚ وَيُنَزِّلُ مِنَ السَّمَآءِ مِنۡ جِبَالٍ فِيۡهَا مِنۡۢ بَرَدٍ فَيُـصِيۡبُ بِهٖ مَنۡ يَّشَآءُ وَ يَصۡرِفُهٗ عَنۡ مَّنۡ يَّشَآءُ ؕ يَكَادُ سَنَا بَرۡقِهٖ يَذۡهَبُ بِالۡاَبۡصَارِؕ
“Tidakkah engkau melihat bahwa Allah menjadikan awan bergerak perlahan, kemudian mengumpulkannya, lalu Dia menjadikannya bertumpuk-tumpuk, lalu engkau lihat hujan keluar dari celah-celahnya dan Dia (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung, maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran es) itu kepada siapa yang Dia kehendaki dan dihindarkan-Nya dari siapa yang Dia kehendaki. Kilauan kilatnya hampir-hampir menghilangkan penglihatan.” (QS: al Nur:43).
Malaikat Mikail membagi air hujan
Suatu ketika, saat Rasulullah Muhammad ﷺ dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj, Baginda Nabi menceritakan obrolanya dengan Malaikat Jibril yang mendampingi beliau.
Dalam waktu sekejap, Jibril bersama Rasulullah ﷺ sampai di tempat tertinggi. Jibril membentangkan kedua sayapnya, yang saat itu mampu menutupi antara langit dan bumi.
Rasulullah ﷺ merasa takjub dengan besarnya wujud Jibril. Saat itu Jibril berkata, “Wahai Muhammad, saudaraku, Mikail, memiliki 600 buah sayap, yang besar masing- masing sayapnya seperti kedua sayapku ini. Akan tetapi ketika ia berada di hadapan Allah, ia seperti burung kecil, karena takut dan tunduknya kepada Allah.”
Jibril berhenti di Sidratul Muntaha, sebuah pohon yang amat besar yang seandainya ada seorang pengendara kuda melarikan kudanya dengan kencang di bawah naungannya selama seratus tahun, niscaya ia tetap tidak akan sampai ke ujungnya.
Jibril lalu berkata, “Wahai Muhammad, di sinilah tempat perpisahan antara yang mencintai dan yanq dicintai-nya (antara aku dengan engkau). Jika engkau terus naik, engkau akan selamat, sedang aku, aku akan terbakar jika terus naik.”
Rasulullah terus naik sendirian. Nabi ﷺ melihat daun-daun emas pohon Sidratul Muntaha yang besar daun-daun pohon itu seperti telinga gajah. Tempat itu adalah tempat tertinggi di alam semesta ini, sebelum ‘Arsy Allah. Di sinilah akhir pengetahuan seluruh makhluk.
Dalam perjalan ini Rasulullah ﷺ bercerita, “Disaat aku tiba di langit di malam Isra’ Mi’raj, aku melihat satu malaikat memiliki 1000 tangan, di setiap tangan ada 1000 jari. “Aku melihatnya menghitung jarinya satu persatu. Aku bertanya kepada Jibril pendampingku. Siapa gerangan malaikat itu, dan apa tugasnya?”
Lalu Jibril menjawab, “Sesungguhnya dia adalah malaikat yang diberi tugas untuk menghitung tetesan air hujan yang turun dari langit ke bumi. Rasulullah bertanya kepada malaikat penghitung tetesan air hujani tadi, ‘Apaka kami tahu berapa jumlah tetesan air hujan yang turun dari langit ke bumi sejak diciptakan Adam?”
Malaikat itu pun menjawab, “Wahai Rasulullah, demi yang telah mengutusmu dengan haq (kebenaran), sesungguhnya aku mengetahui semua jumlah tetesan air hujan yang turun dari langit ke bumi, dari mulai diciptakan Adam sampai sekarang ini, begitu pula aku mengetahui jumlah tetesa yang turun ke laut, ke darat, ke hutan rimba, ke gunung ke lembah, ke sungai, ke perkebuiman, dan ke manusia,” katanya.
Begitulah cara Allah Subhanahu wata’ala. Allah menurunkan air hujan dan selanjutnya menugaskan Malaikat Mikail untuk mengatur sirkulasi air hujan yang dapat menumbuhkan segala jenis tumbuh-tumbuhan dan binatang dan juga menyubur kan tanah tandus. (Lihat Ushulul Iman, Muhammad bin Abdul Wahab).
Dalam Tafsir Ibun Katsir disebutkan, “Dan sesuatu yang turun dari langit entah hujan, salju, embun, kepastian / perkiraan dan hukum itu turunnya disertai malaikat-malaikat yang mulia dan telah lewat keterangan dalam Surat Al-Baqarah bahwa tidaklah ada disetiap tetes hujan yang turun dari langit kecuali disertai malaikat yang menetapkan pada tempatnya yang mana telah diperintahkan ALLOH pada sesuatu yang dikendaki-NYA.” Sementara menurut Imam Al-Ghazali disebutkan, bahwa setiap tetes hujan dari langit dikawal oleh malaikat. Maha Suci Allah dengan segala ketetapannya.*