Hidayatullah.com | DALAM suatu ceramah “Nuzulul Qur`an” pada bulan Ramadhan 1373 (Mei 1954), Buya M. Natsir menyampaikan topik menarik bertajuk: “Apakah Pantjasila Bertentangan dengan Adjaran Al-Qur`an?” Ceramah ini termuat dalam buku “Capita Selecta II” yang terbit tahun 1957.
Meski ceramah ini sudah disampaikan Natsir sekitar 66 tahun yang lalu, tapi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya masih relevan untuk ditelaah. Utamanya, al-Qur`an sebagai kitab yang mengandung revolusi (perubahan hingga ke akar-akarnya).
Berikut ini, akan dikemukakan poin-poin ceramah pada acara Nuzulul Qur`an tersebut, terkhusus kaitan antara al-Qur`an dan nilai revolusi. Kemudian, akan penulis sisipkan nilai-nilai al-Qur`an yang terkait dengannya.
Pertama: “Nuzulul-Quran mentjetuskan revolusi, memberantas ta’asub atau intoleransi agama! Adjarannja menegakkan kemerdekaan agama dan meletakkan dasar2 bagi keragaman hidup antar-agama”
Dalam al-Qur`an memang ada ajaran toleransi agama. Tidak ada sama sekali pemaksaan dalam memeluk agama Islam. Allah berfirman:
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 256)
Bahkan, kalau dilihat dari “Asbabun Nuzul” ayat ini, teranglah bahwa agama Islam tidak pernah memaksa pemeluk agama lain untuk masuk Islam. Berdasarkan keterangan Ibnu Jarir, sebab turunnya ayat ini adalah terkait dengan sahabat dari Anshar bernama Al-Hushain. Ia memiliki dua anak yang beragama Nashrani. Maka ia kemudian berkonsultasi kepada Nabi mengenai kebolehan memaksa anaknya untuk memeluk Islam. Sebagai jawaban atas pertanyaan itu, turunlah ayat 256 yang intinya tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam.
Kedua: “Nuzulul-Quran mentjetuskan revolusi memberantas racialisme dan xenophobie, yakni ketjongkakan-bangsa dan bentji-kesumat terhadap bangsa lain. Adyarannjft meletakkan dasar yang sehat bagi kesuburan hidup bangsa dan suku-bangsa.”
Isalam memang tidak mengajarkan rasialisme. Meski begitu, tidak pula meniadakan bangsa. Dalam al-Qur`an disebutkan bahwa kabilah, suku hingga bangsa itu memang dibuat untuk suatu tujuan luhur, yaitu agar saling mengenal satu sama lain. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat [49]: 13). Jadi, dibuatnya keragaman itu adalah untuk saling mengenal. Meski begitu, ada ukuran subtantif yang dijadikan ukuran untuk suatu kemuliaan, yaitu yang paling bertakwa kepada Allah.
Ketiga: “Islam jang terhimpun dalam Al-Quran itu pada hakikatnja merupakan suatu revolusi, jang membebaskan manusia dari pada belenggu atas ruhani dan akal, belenggu atas kehidupan sosial, jang telah melumpuhkan kehidupan manusia. Turunnja Al-Quran 13 abad jang lalu adalah merupakan suatu pernjataan dan penegasan akan hak asasi manusia disamping kewadjiban2 asasi manusia.”
Ini adalah saripati dari nilai tauhid “Laa ilaaha illallaah” (Tidak ada Tuhan yang berhak disembah, melainkan Allah). Sebuah nilai revolusioner yang membuat orang terbebas dari berbagai belenggu dalam kehidupan dunia. Meminjam istilah Rib’i bin Abi Amir, “Kami adalah suatu kaum yang diutus oleh Allah Ta’ala untuk membebaskan manusia yang dikehendaki Allah dari suatu penghambaan kepada makhluk menuju penghambaan kepada Sang Pencipta; dari kesempitan dunia menuju keluasan akhirat; dan dari kelaliman agama menuju keadilan Islam.” (al-Bidaayah wa al-Nihaayah).
Kata-kata Rib’i yang legendaris itu mengandung nilai revolusioner yang menunjukkan bahwa Islam membebaskan manusia dari berbagai belenggu yang merenggut haknya serta menunjukkan jalan dan kewajiban yang tepat sebagai manusia.
Keempat: “Nuzulul Quran adalah suatu revolusi memberantas kemiskinan dan kemelaratan (elimination of poverty). Nuzulul Quran adalah suatu revolusi memberantas perhambaan dan memberantas eksploitasi manusia atas manusia (exploitation of man by man).”
Ajaran seperti zakat, sedekah, infak dan semacamnya, kalau meminjam bahasa al-Qur`an agar tercipta suatu tatanan sosial yang tidak timpang dan mewujudkan keadilan sosial:
كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ
“Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS. Al-Hasyr [59]: 7). Ketimpangan sosial terjadi ketika yang kaya semakin kaya dan tidak mempedulikan nasib orang-orang miskin. Islam datang untuk menciptakan keseimbangan itu. Bukan mencela kekayaan atau orang kaya, tetapi membuat mereka peka dan peduli kepada orang-orang miskin.
Sejak awal, Islam juga mengajarkan arti penting suatu kemerdekaan. Betapa banyak ajaran Islam yang menganjurkan untuk mengentaskan perbudakan yang sudah ada sejak berabad-abad sebelumnya. Manusia dipandang sama. Yang membedakan adalah ketakwaanya. Ini adalah ajaran yang sangat revolusioner yang kala itu sangat dibenci oleh penguasa-penguasa Arab tiran yang sudah mapan dengan segala kekuasaannya.
Nilai-nilai revolusioner (yang menghendaki perubahan ke akar-akarnya) itu sudah lahir sejak awal kemunculan risalah Islam yang dibawa Nabi Muhammad ﷺ yang termaktub dalam al-Qur`an dan dijelaskan oleh Nabi melalui haditsnya. Tulisan ini akan penulis tutup dengan quote Natsir dalam ceramah Nuzulul Qur`an tersebut, “Nuzulul Quran membawa tauhid jang memelopori kemerdekaan berpikir dan menghargai akal pikiran manusia, sebagai ni’mat Ilahi jang perlu dikembangkan, dan dipergunakan untuk kesedjahteraan hidup manusia.”*/ Mahmud Budi Setiawan