Hidayatullah.com | PROSES iqro’ atau “membaca” ada baiknya dimulai dari “bertanya”. Proses bertanya merupakan reaksi awal setelah kita membaca ayat-ayat Allah Ta’ala. Bahkan adakalanya proses bertanya mendahului proses iqro’.
Bertanya menjadikan proses membaca tak terputus. Setiap kali satu pertanyaan berhasil kita temukan jawabannya, selalu saja muncul pertanyaan baru yang harus kita cari lagi jawabannya. Begitulah seterusnya.
Ibarat tulisan, pertanyaan akan menyambungkan satu alinea kepada alinea yang lain. Begitu satu alinea telah selesai, muncullah pertanyaan baru yang jawabannya akan melanjutkan tulisan kita kepada alinea berikutnya. Begitulah seterusnya hingga rangkaian alinea tersebut menjadi sebuah artikel yang menarik, bahkan sebuah kitab yang akan menjadi petunjuk buat kita.
Adakalanya kita juga perlu bertanya pada diri sendiri tentang hal-hal yang ghaib. Sebab, meskipun kita tahu jawabannya, belum tentu kita yakin dengan jawaban tersebut. Jangan-jangan selama ini kita salah rasa. Kita hanya merasa yakin, padahal sesungguhnya tidak.
Misalnya, apakah kita tahu bahwa kelak akan datang hari kiamat dan Allah Ta’ala telah menyediakan dua tempat kembali bagi kita, yakni Surga dan Neraka?
Ya! Sebagai Muslim tentu kita tahu hal itu! Orang tua atau guru kita telah mengajarkan itu semua. Tapi, apakah kita benar-benar telah meyakini (mengimani) adanya hari kiamat, surga, atau neraka?
Mari kita ambil pelajaran dari ucapan ‘Amar bin Yasir. “Cukuplah kematian sebagai pemberi nasehat…,” kata beliau sebagaimana dikutip Syaikh Abdul Malik Qasim dalam Aina Nahnu Min Haa-ula-i.
Nasehat kematian begitu banyak kita dapati dalam kehidupan sehari-hari. Perkuburan yang kita lewati setiap hari mana kala kita pergi ke tempat kerja, khabar tentang orang sakit dan meninggal yang berseliweran di jejaring sosial, rumah sakit dan klinik kesehatan tempat kita membesuk orang sakit, korban kecelakaan dan kriminalitas yang banyak kita jumpai di laman-laman berita, semua adalah nasehat kematian.
Belum lagi mereka yang bekerja di tempat-tempat yang dekat dengan nasehat kematian, seperti para penggali kubur, para pembuat batu nisan, para petugas kesehatan, sopir ambulan, atau tentara yang biasa begelut di medan perang.
Namun, apakah nasehat kematian tersebut telah mengubah diri kita menjadi lebih baik? Mestinya, ya. Sebab, rasa takut menghadapi kehidupan setelah kematian” akan membuat kita lebih berhati-hati.
Tapi faktanya tidak. Kebanyakan kita tidak sungguh-sungguh merasa takut kepada hal-hal yang ghaib setelah kematian. Padahal, Allah Ta’ala menjelaskan di awal surat al-Baqarah [2] bahwa al-Qur’an menjadi petunjuk bagi orang-orang yang percaya (mengimani) hal-hal yang ghaib. Merekalah orang-orang yang bertakwa.
Bagi mereka yang tak mengimani hal-hal yang ghaib, nasehat kematian tak akan berarti apa-apa. Apakah termasuk kita? Semoga tidak! Karena itulah kita perlu sering-sering bertanya pada diri kita sendiri, percayakah kita kepada kampung akhirat tempat kita kelak kembali?
Jika kita yakin, maka adakah keinginan kuat untuk mengetahui seperti apa jalan pulang menuju surga? Jika kita sudah tahu, apakah ada tekad yang kuat untuk meniti jalan itu dan istiqomah di dalamnya? Semoga ada! */Mahladi Murni