Oleh: Wandi Bustami
Hidayatullah.com | BANYAK yang mengatakan abad 20 merupakan abad modern. Pasalnya sejumlah penemuan-penemuan sains mutakhir telah wujud sedemikian rupa.
Dahulu orang belum mengenal komputer namun sekarang alat canggih tersebut sudah bukan barang asing lagi. Dahulu orang hanya bisa melihat bulan dari bumi tapi sekarang orang bisa menginjakkan kakinya di sana.
Kemajuan sains dan teknologi memang tidak dapat dibendung. Karena Allah swt sendiri memberi keleluasaan kepada manusia untuk terus bereksplorasi dan berkreasi dalam segala hal. Tapi perlu diketahui bahwasanya bila dunia ini mendekati akhir zaman keadaan kembali seperti sedia kala.
Rasulullah ﷺ bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنَعَتِ الْعِرَاقُ دِرْهَمَهَا وَقَفِيزَهَا وَمَنَعَتِ الشَّأْمُ مُدْيَهَا وَدِينَارَهَا وَمَنَعَتْ مِصْرُ إِرْدَبَّهَا وَدِينَارَهَا وَعُدْتُمْ مِنْ حَيْثُ بَدَأْتُمْ وَعُدْتُمْ مِنْ حَيْثُ بَدَأْتُمْ وَعُدْتُمْ مِنْ حَيْثُ بَدَأْتُمْ.
Artinya
Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: Iraq menahan dirham dan takarannya, Syam menahan mud dan dinarnya, Mesir menahan timbangan dan dinarnya, kalian kembali seperti sedia kala, kalian kembali seperti sedia kala, kalian kembali seperti sedia kala.” (HR. Muslim)
Imam an-Nawawi (676 H) dalam al-Minhāj berkata: Pengulangan satu kalimat sebanyak tiga kali menunjukkan sesuatu yang urgen. Yaitu manusia akan benar-benar kembali kepada zaman dahulu kala.
Nah, apa yang dimaksud dengan ‘kalian kembali seperti sedia kala’? Terjadi perbedatan di kalangan para ulama. Abul Abbās al-Qurthubī (656 H) dalam al-Mufham berkata: Kembali seperti sedia kala yang dimaksud ialah orang-orang akan melakukan kerusakan, terjadinya perpecahan dan agama ditinggalkan. Ibnu Hajar al-Asqolānī (852 H) dalam al-Fath berkata: Kembali seperti sedia kala yang dimaksud ialah kembali ke zaman jahiliyah yaitu manusia mengabaikan hak-hak kalian. Imam as-Sayuthi (911 H) dalam syarah Muslim berkata: Islam datang dalam keadaan terasing dan akan kembali dalam keadaan terasing pula.
Rasulullah ﷺ bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ
“Dari Abu Hurairah dia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda: Islam muncul dalam keadaan asing, dan ia akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntunglah orang-orang yang terasing.” (HR. Muslim)
Namun bila hadits di atas ditinjau dari sudut pandang lain misalnya tentang perang akhir zaman maka ada yang mengakatan kala itu segala jenis senjata canggih tidak dipakai lagi. Saat itu, orang-orang akan menggunakan alat-alat tradisional seperti pedang, panah dan tombak.
Asumsi itu berlandaskan pada beberapa ayat dan hadits nabi. Dimana Allah swt memerintahkan berjihad dengan menggunakan kuda dan Rasulullah ﷺ menitahkan umatnya untuk belajar berenang dan memanah.
Allah berfirman: وَاَعِدُّوْا لَهُمْ مَّا اسْتَطَعْتُمْ مِّنْ قُوَّةٍ وَّمِنْ رِّبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُوْنَ بِهٖ عَدُوَّ اللّٰهِ وَعَدُوَّكُمْ وَاٰخَرِيْنَ مِنْ دُوْنِهِمْۚ لَا تَعْلَمُوْنَهُمْۚ اَللّٰهُ يَعْلَمُهُمْۗ
Artinya: “Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; tetapi Allah mengetahuinya.” (QS al-Anfāl 60).
Fakhruddīn ar-Rāzī (606 H) dalam Mafātīh berkata: al-Quwwah (kekuatan) yang dimaksud ialah benteng. Al-Khōzin (725 H) dalam Lubāb berkata: al-Quwwah (kekuatan) yang dimaksud dalam ayat ini ialah memanah. As-Syaukānī (1250 H) dalam Fathu al-Qoadīr berkata: al-Quwwah yang dimaksud ialah kemampuan dalam mengoperasikan panah. Lalu beliau mengutip hadits Rasulullah ﷺ .
Rasulullah ﷺ bersabda:
عَنْ أَبِي عَلِيٍّ ثُمَامَةَ بْنِ شُفَيٍّ أَنَّهُ سَمِعَ عُقْبَةَ بْنَ عَامِرٍ يَقُولُا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ يَقُولُ {وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ} أَلَا إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْيُ أَلَا إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْيُ أَلَا إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْيُ
Artinya: “Dari [Abu Ali Tsumamah bin Syufayi] bahwa dia mendengar [‘Uqbah bin ‘Amir] berkata, “Saya pernah mendengar Rasulullah ﷺ menyampaikan ketika beliau di atas mimbar: ‘(Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi) ‘ (Qs. Al Anfaal: 60), ketahuilah sesungguhnya kekuatan itu adalah melempar, ketahuilah sesungguhnya kekuatan itu adalah melempar, ketahuilah sesungguhnya kekuatan itu adalah melempar.” (HR. Muslim).
An-Nawawi (676 H) dalam al-Minhaj berkata: Dalam hadits ini dan hadits-hadits lainnya dengan makna yang serupa menunjukkan keutamaan memanah dalam berjihad serta penggunaan senjata lainnya. Dan juga sama halnya dengan menggunakan kuda. Badruddīn al-‘Aini (855 H) dalam al-‘Umdah berkata: al-Quwwah ialah sesuatu yang memberi kekuatan dalam perang seperti menggunakan pedang, panah dan busur. Jika ditilik dalam sejarah generasi umatnya ini kemerdekaan negeri-negeri dengan menggunakan panah dan kuda.
Rasulullah ﷺ bersabda:
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ سَتُفْتَحُ عَلَيْكُمْ أَرَضُونَ وَيَكْفِيكُمُ اللَّهُ فَلَا يَعْجِزُ أَحَدُكُمْ أَنْ يَلْهُوَ بِأَسْهُمِهِ
Artinya: “Dari ‘Uqbah bin ‘Amir dia berkata, Saya mendengar Rasulullah ﷺ wasallam bersabda: Kalian akan menaklukkan banyak negeri dan Allah akan menyempurnakan (janji-Nya) kepada kalian, karena itu janganlah kalian bosan berlatih memanah.” (HR. Muslim)
Dalam hadits lain Rasulullah ﷺ menerangkan penting belajar memanah hingga beliau mengatakan orang yang enggan belajar memanah bukan dari kelompoknya. Rasulullah ﷺ bersabda:
وَعَنْهُ قَالَ: «مَنْ عَلِمَ الرَّمْيَ، ثُمَّ تَرَكَهُ، فَلَيْسَ مِنَّا» أَوْ «قَدْ عَصَى»
Artinya: “Darinya (‘Uqbah bin ‘Amir Al-Juhani (semoga Allah Ta’ala ridho padanya): Rasulullah ﷺ bersabda, “barangsiapa telah diajarkan memanah dan kemudian meninggalkannya maka dia bukan termasuk golongan ku atau maka dia telah bermaksiat (terhadap Rasulullah ﷺ).” (HR. Muslim).
Sahabat Umar bin Khattab pernah menulis surat kepada penduduk Syam untuk mengajarkan berenang, memanah dan berkuda kepada generasi muda. Umar bin Khattab berkata:
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ كَتَبَ إِلَى أَهْلِ الشَّامِ أَنْ عَلِّمُوا أَوْلادَكُمُ السِّبَاحَةَ وَالرَّمْيَ وَالْفُرُوسِيَّةَ
Artinya: “Umar bin Khattab telah mewajibkan penduduk Syam supaya mengajar anak-anak kamu berenang, dan memanah, dan menunggang kuda.”
Dalam atsar ini disebutkan selain berkuda dan memanah, berenang merupakan sesuatu yang diperintahkan. Perintah ini juga sejalan dengan titah dari baginda Rasulullah ﷺ .
Rasulullah ﷺ bersabda:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: عَلِّمُوا أَبْنَاءَكُمُ السِّبَاحَةَ وَالرَّمْيَ، وَالْمَرْأَةَ الْمِغْزَلَ
Artinya: “Dalam hadits di atas, setelah kata ar-ramyu, tidak disebutkan kata ‘furusiyah’ sebagaimana hadist sebelumnya, melainkan al-mar’ah al-mighzal yang artinya pemintal bulu atau katun, baik manual maupun dengan alat khusus.” (HR. Baihaqi)
Dalam hadits ini dua yang harus dipersiapkan untuk berperang yaitu berenang dan memanah. Dalam hadist lain, Rasulullah ﷺ mengulang tiga kali tentang pentingnya belajar memanah. HR. Baihaqi
Al-Minawi (1031 H) dalam Faidhul Qadīr berkata: Mencoba mendudukkan aktivitas melatih kuda sebagai usaha untuk memenangkan sebuah peperangan.
تأديبه فرسه أي ركوبها وركضها والجولان عليها بنية الغزو وتعليمها ما يحتاج مما يطلب في مثلها. وفي
معنى الفرس: كل ما يقاتل عليه
Artinya: “Yang dimaksud dengan ‘melatih kuda’ adalah menaikinya, memacunya, dengan melakukan perjalanan dengannya serta mengajari kuda tersebut beberapa hal yang diperlukan. Adapun makna kuda adalah setiap kendaraan yang digunakan untuk berperang.”
Seorang laksamana Britania Raya Louis Lord Mountbatten pernah berkata: Jika Perang Dunia Ketiga adalah berjuang dengan senjata nuklir, yang keempat akan diperjuangkan dengan busur dan anak panah. Saya tidak tahu dengan apa senjata Perang Dunia Ketiga akan diperjuangkan, tetapi Perang Dunia Keempat akan diperjuangkan dengan kayu dan batu.” (Albert Einstein).*
Penulis alumni Al Azhar, Mesir dan Asatidz Tafaqquh Study Club