Hidayatullah.com | MENYINGKAP aib dan membeberkan kesalahan orang-orang kini kian marak terutama karena adanya andil dari media massa dan media sosial. Mudah viral kalau yang digunjingkannya itu ialah artis, pejabat, politisi dan tokoh masyarakat.
Dalam pandangan Islam, hal yang disebut sebagai ghibah itu adalah ibarat memakan daging mayat saudara sendiri (Lihat Surat al-Hujurat 49: 12). Ibnu Abbas Radhiyallahuanhu berkata bahwa memakan bangkai busuk itu haram dan menjijikkan, demikian juga ghibah, sama-sama haram, menjijikan dan buruk bagi diri seseorang (Dikutip oleh Imam al-Qurthubi pada tafsirnya tentang Surat al-Hujurat 12 dalam al-Jami li Ahkam al-Qur’an, jilid 19, [Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 2006], hal. 403).
Ulama sepakat bahwa ghibah termasuk ke dalam dosa besar (Lihat: Imam al-Qurthubi, ibid., hal. 405), maka watak dan kelakuan tersebut perlu dijauhi. Bahkan, mendengarkannya pun diharamkan dan si pendengar wajib mengingkarinya walaupun hanya mampu dalam hati (Lihat: Imam an-Nawawi, al-Adzkar, [Beirut & Damaskus: Maktabah Dar al-Bayan, 2007], hal. 391).
Namun, dalam kondisi tertentu, ada beberapa jenis ghibah yang diperbolehkan. Misalnya, (1) Mengadukan kezhaliman seseorang kepada pihak yang berwenang; (2) Mencari bantuan atau pertolongan kepada yang memiliki otoritas untuk menghilangkan kemunkaran; (3) Saat meminta fatwa dan menceritakan masalahnya agar mendapat solusi; (4) Memperingatkan kaum Muslim agar terhindar dari keburukan seseorang dan menasihati mereka, contohnya melaporkan pejabat yang tidak amanah; (5) Menyebutkan orang yang melakukan dosanya secara terang-terangan seperti minum khamr, merampas harta orang, dan lainnya; (6) Menyebutkan ciri atau julukan seseorang agar mudah dikenali, misalnya “Si Fulan yang buta matanya” dan semacamnya (Lihat: Imam an-Nawawi, ibid., hal. 392-393).
Mentang-mentang dibolehkan, bukan berarti dibenarkan untuk mengolok-olok, mencela, menghujat, menertawakan, nyinyir, menjuluki dengan gelaran-gelaran yang konyol dan melontarkan makian kasar terhadap orang yang berbuat salah dan mempunyai aib tersebut.
Ghibah dilarang justru karena kehormatan saudara seiman itu wajib dijaga saat mereka sedang tak bersama dengan kita (Lihat: Imam Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, jilid 28, [Beirut: Dar al-Fikr, 1981], hal. 134). Maka, dalam menyampaikan kabar dari jenis-jenis ghibah yang diperbolehkan itu niat, maksud, tujuan serta caranya mesti baik, jangan dijadikan ajang untuk mengumbar hawa nafsu dan amarah yang tidak pada tempatnya.
Dakwah pun ada aturannya; Allah Subhanahu Wata’ala dalam Surat an-Nahl ayat 125 memerintahkan untuk amar makruf nahi munkar secara hikmah (bijak), menasihati dalam kebaikan dengan menggunakan adab yang benar dan membantah secara ilmiah serta sehat.
Lagipula, ulama menyatakan bahwa tugas dakwah khusus bagi orang-orang yang memiliki kapasitas keilmuan saja, baik dalam perkara yang diperbincangkannya, maupun dalam ilmu dakwah itu sendiri. Sedangkan orang-orang yang jahil tentang ilmu-ilmu tersebut dan tak memiliki otoritas tidaklah terkena perintah dakwah karena mereka cenderung dekat dengan kebathilan dan malah menyeru kepada kemunkaran serta mencegah kebaikan. Jadi, bila hendak berdakwah, syaratnya harus dengan ilmu ataupun kemampuan (Lihat Imam Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, jilid 8, hal. 182.; Syaikh Wahbah az-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir, jilid 2, [Damaskus: Dar al-Fikr, 2009], hal. 353-354, 355 dan 357).
Tanpa kapasitas dan hanya bermodalkan dalih menegakkan kebenaran, maka kualitas dirinya itu tercermin pada perilakunya yang hanya bisa meledek orang yang melakukan kesalahan dan kezhaliman. Tanpa disadari, sikap yang demikian adalah merupakan sebuah kesombongan juga ketertipuan karena ia merendahkan saudaranya dan merasa aman dari dosa yang dilakukan oleh orang yang ditertawakannya itu.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Imam al-Ghazali rahimahullah berkata bahwa orang yang memiliki maksud yang benar, tetapi cara atau prosedur yang ditempuhnya keliru, maka ia termasuk dungu/pandir. Sebaliknya, langkah dan kaidah sudah benar, namun tujuannya salah adalah merupakan kegilaan atau kesesatan (Lihat: Ihya’ Ulum al-Din, jilid 5, [Jeddah: Dar al-Minhaj, 2011], hal. 195). Keduanya bukanlah merupakan adab dan akhlak yang mulia.
Sebelum mencemooh dan menertawakan orang yang berbuat salah, baiknya kita berkaca pada diri sendiri yang juga sebenarnya dipenuhi oleh aib dan kesilapan. Tiada pula jaminan di masa mendatang bahwa kita bakal lolos tak terjerumus kepada dosa yang sama dari orang yang kita caci dan ghibahi itu. Bagaimana kalau kita ditempatkan pada posisi orang tersebut, pastikah selamat?*/ Muhamad Ridwan, alumnus PAAP UNPAD, Ma’had al-Imarat dan STAIPI Bandung