JODI Setiadi saat hendak dilantik menjadi kepala daerah meminta nasihat kepada ayahnya yang bernama Cahyadi, “Assalamu’alaikum. Bapak….Sebentar lagi aku akan diangkat menjadi pemimpin. Jodi minta nasihatnya.” Mendengar permintaan anaknya, Cahyadi termenung cukup lama. Dengan mimik wajah serius, keluarlah nasihat emas, “Nak! Jangan jadi pemimpin stuntman!”
“Lho, apa maksudnya pak? Kok ga boleh jadi pemimpin peran pengganti.” tanyanya agak keheranan. “Maksudku, kalau jadi pemimpin jangan sampai menjadi pemimpin figuran atau boneka; yaitu pemimpin yang tindakannya bukan orisinil dari integritasnya sebagai pemimpin, tapi didikte oleh orang lain. Pemimpin semacam ini tak layak jadi pemimpin. Ia hanya mengejar keuntungan pribadi ketimbang memperjuangkan aspirasi rakyat. Tindakannya pun mengarah pada hal-hal remeh untuk mendongkrak citranya.”
“Nak! Kamu tahu kisah Ibnu Alqami?” tanya Cahyadi kepada anaknya yang pernah nyantri di pondok tradisional dan modern. “Iya pak! Tokoh syi’ah, sang pengkhianat yang menyebabkan kejatuhan Daulah Abbasiyah di Baghdad.” “Kalau bapak, tak sekadar melihat dari sisi itu. Figur Alqami adalah gambaran dari pemimpin boneka, figuran alias stuntman.”
“Demi kepentingan pribadi dan golongan, jabatan mentereng yang diberikan kepadanya oleh Khalifah al-Musta’shim disalahgunakan. Ia berambisi mendapat kekuasaan dengan cara-cara curang. Ketika kesempatan tiba, ia bersekongkol dengan Hulaghu Khan untuk memporak-porandakan daulah dari dalam. Baginya, biarlah rakyat terpecah-belah, sengsara dan negeri terjajah asal dirinya mendapat kekuasaan dan keuntungan.”
“Baghdad pun hancur. Konspirasinya dengan orang nomer satu Mongol berhasil. Kamu pasti tau apa yang dia dapat. Orang Mongol tak menepati janji. Ia hanya dijadikan pejabat rendahan dan hanya menjadi penguasa boneka di sana. Alih alih mendapat kuasa, justru nasibnya menjadi orang terhina. Bahkan dengan nada satire ada ibu-ibu yang mencibirnya dengan pertanyaan. Intinya: pernakah dulu kamu diperlakukan seperti ini oleh khalifah Abbasiyah?”
“Iya Pak! Nasihat bapak akan selalu saya pegang. Ada lagi pak nasihat yang lain?” “Masih ada,” tukas laki-laki berusia 65 itu dengan nada meyakinkan, “jadilah pemimpin seperti Shalahuddin Al-Ayyubi!” “Sisi mana pak yang perlu dijadikan teladan?” tanyanya penasaran.
“Nanti kalau ada waktu lenggang, baca buku “Uluwwu al-Himmah” (Hal: 316) karya Muhammad Ahmad Ismail Muqaddam. Di situ Al-Qadhi bin Syaddad menggambarkan kapasitas agung kepemimpinan Shalahuddin.”
Shalahuddin adalah tipe pemimpin berintregitas tinggi, tegas, berpikir dan bertindak besar dan yang jelas bukanlah seorang stuntman. “Kamu tahu cita-citi tinggi Shalahuddin? Ia ingin memerdekakan Aqsha dari tangan penjajah. Bagi Shalahuddin, masalah Al-Aqsha adalah perkara amat besar yang tak kan mampu ditanggung gunung sekalipun.”
“Nak! Kehilangan Al-Aqsha bagi beliau laksana seorang ibu yang kehilangan anak yang berkeliling sendiri untuk mencari anaknya. Beliau memotivasi umat Islam untuk berjihad (merebut kembali Al-Aqsha), seraya berkeliling melibatkan diri secara langsung untuk menemukannya, seraya berujar, ‘Wahai umat Islam!’ pada waktu bersamaan, kedua matanya basah dengan air mata.”
Dari diksi-diksi yang dipakai, terasa jelas betapa tingginya cita-cita Shalahuddin: gunung saja tak mampu menanggung beban problem Al-Aqsha, antusiasnya dalam membebaskannya bagai ibu yang kehilangan anaknya.
Sebagai pemimpin dia bukanlah pemimpin boneka yang gila citra dan suka mencari keuntungan pribadi. Beliau adalah pemimpin yang sangat peduli dengan nasib rakyatnya. Bagi kebanyakan umat Islam kala itu membebaskan Aqsha –dengan kondisi rill saat itu—hampir terbilang mustahil. Namun, tidak bagi Shalahuddin. Beliau bekerja keras tanpa lelah, menyatukan umat, menggalang persatuan, berpikir dan bertindak besar.
“Berbeda dengan Alqami, nasib pemimpin sekaliber Shalahuddin berujung manis. Al-Aqsha menjadi merdeka kembali, persatuan umat bisa tergalang dan izzah Islam kembali ke pangukan umat.”
“Baik pak! Terimakasih atas nasihat sangat berharga ini. Wassalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh.”
Nasihat Pak Cahyadi ini hanyalah imaginer, namun sangat penting direnungkan di tengah pecintraan para pemimpin negeri yang begitu tinggi. Apalagi, mendekati tahun-tahun Pemilu, janji-janji manis pemimpin akan kembali diucapkan yang pada akhirnya sering dilanggar sendiri ketika menjadi penguasa. Karena pada hakikatnya, selain kepentingan pribadi, ia tak sungguh-sungguh berkuasa. Ada dalang-dalang besar yang berada di belakangnya.
Seorang pemimpin yang memburu keuntungan pribadi dan disibukkan dengan membesarkan citranya yang sebenarnya kecil dan tidak disertai dengan pikiran dan tindakan besar untuk rakyat, maka tidak layak dijadikan pemimpin.
“Barangsiapa ingin mengambil teladan yang baik, maka ambillah teladan orang yang sudah meninggal!” demikian sepenggal nasihat dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu. Di bumi pertiwa ini, ada banyak pahlawan-pahlawan besar yang bisa diteladani bagi orang yang menjadi pemimpin agar tidak menjadi figuran, boneka dan stuntman. Mereka adalah orang yang berjuang bukan untuk kepentingan pribadi dan hal-hal remeh, tapi untuk kemaslahatan yang lebih besar bagi bangsa dan negara.*/Mahmud Budi Setiawan