Hidayatullah.com | KOTA Makkah berada dalam kegelapan sebelum kedatangan Nabi Muhammad ﷺ . Mereka menyembah tuhan batu, kayu dan roti yang dibentuk oleh tangan mereka sendiri.
Kehidupan penduduk Makkah ketika itu berada pada puncak kejahilan dimana tidak ada rasa saling menghormati dan menghargai antar sesama. Yang kaya tidak menghargai yang miskin, keturunan dari kalangan bangﷺ an memangdang hina kalangan budak.
Di kala penduduk Makkah mengalami degradasi moral yang signifikan, Allah swt mengutus seorang manusia agung. Ia bukan saja mulia dari segi nasab, budi pekerti yang baik dan suka membantu antar sesama. Muhammad muda menjadi suluh di tengah kegelapan.
Syeikh Sofiyurrahman dalam ar-Rahiq al-Makhtum bertutur, ”Muhammad muda telah berhasil menyatukan pertikaian antar kabilah melalui peristiwa peletakkan hajar Aswad pasca renovasi bangunan Ka’bah.”
Setelah diutus menjadi seorang Nabi, beliau benar-benar telah menjadi cahaya penerangan kegelapan bagi penduduk Makkah khususnya dan jazirah arab umumnya. Sifatnya yang menerangi kegelapan itu mendapat legitimasi dari Allah swt.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يٰۤـاَهْلَ الْكِتٰبِ قَدْ جَآءَكُمْ رَسُوْلُـنَا يُبَيِّنُ لَـكُمْ كَثِيْرًا مِّمَّا كُنْتُمْ تُخْفُوْنَ مِنَ الْكِتٰبِ وَيَعْفُوْا عَنْ كَثِيْرٍ ۗ قَدْ جَآءَكُمْ مِّنَ اللّٰهِ نُوْرٌ وَّكِتٰبٌ مُّبِيْنٌ
Artinya: Wahai Ahli Kitab! Sungguh, Rasul Kami telah datang kepadamu, menjelaskan kepadamu banyak hal dari (isi) kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula) yang dibiarkannya. Sungguh, telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan Kitab yang menjelaskan.” (QS: Al-Ma’idah 5: Ayat 15)
Imam al-Baghawi (w 516 H) dalam Ma’alimi an-Tanzil berkata: Nur (cahaya) yang dimaksud ayat di atas ialah Nabi Muhammad ﷺ . Al-Khazin (w 725 H) dalam Lubabu at-Ta’wil fi Ma’ani at-Tanzil berkata: Nabi Muhammad ﷺ disebut sebagai cahaya dikarenakan beliau menunjukkan jalan hidayah dan menerangi kegelapan.
Rasulullah ﷺ sendiri ialah cahaya. Dengan sifatnya itu beliau menerangi orang-orang yang terperangkap di dalam kegelapan. Kegelapan kekafiran, kemusyrikan dan kemunafikan. Dengan akhlak mulia yang tertanam di dalam dirinya itu mampu menjadikannya seorang pemimpin dan panutan umat sepanjang masa.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَقَدْ كَا نَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَا نَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَا لْيَوْمَ الْاٰ خِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًا
“Artinya: Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” (QS. Al-Ahzab 33: Ayat 21).
Syeikh al-Mutawalli as-Sya’rawi (w 1419 H) dalam Khawatir berkata: Rasulullah ﷺ merupakan panutan dalam segala hal yaitu panutan dalam bentindak, berbicara, melihat dan memberi. Maka apapun yang datang darinya wajib diambil.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ۗ وَمَاۤ اٰتٰٮكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهٰٮكُمْ عَنْهُ فَا نْتَهُوْا ۚ وَا تَّقُوا اللّٰهَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَا بِ
“Artinya: Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr 59: Ayat 7).
Rasulullah ﷺ ketika hendak datang ke masjid mengajarkan umatnya agar mendapat cahaya.
Rasulullah Bersabda:
اللَّهُمَّ اجْعَلْ فِي قَلْبِي نُورًا وَفِي بَصَرِي نُورًا وَفِي سَمْعِي نُورًا وَعَنْ يَمِينِي نُورًا وَعَنْ يَسَارِي نُورًا وَفَوْقِي نُورًا وَتَحْتِي نُورًا وَأَمَامِي نُورًا وَخَلْفِي نُورًا وَاجْعَلْ لِي نُورًا
Artinya: “(Ya Allah, jadikanlah cahaya di dalam hatiku, cahaya di dalam pendengaranku, cahaya di penglihatanku, cahaya di sebelah kananku, cahaya di sebelah kiriku, cahaya di hadapanku, cahaya di belakangku, cahaya di atasku, cahaya di bawahku dan muliakanlah cahaya bagiku).” (HR: Bukhari).
Badruddin al-‘Aini (w 855 H) dalam Umdah berkata: Yang dimaksud meminta cahaya dalam hadits ini ialah meminta ditunjukkan kebenaran dan taufik dalam segala hal. At-Tibbi berkata: Maksud meminta cahaya untuk anggota tubuh ialah segala ma’rifat dan ketaatan diliputi oleh cahaya dan dijauhi dari selain keduanya karena setan mengampiri manusia dari enam arah.
Rasulullah ﷺ meminta kepada Allah swt untuk diberi cahaya pada: 1) Qalbu, 2) Penglihatan, 3) Pendengaran, 4) Arah Sebelah Kanan, 5) Arah Sebelah Kiri, 6) Arah dari Atas, 7) Arah dari Bawah, 8) Arah dari Depan dan )9 Arah dari Belakang, 10) Dirinya Cahaya Meminta cahaya dari segala arah dan anggota tubuh bertujuan agar diterangi dalam menjalankan kehidupan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
اَفَمَنْ شَرَحَ اللّٰهُ صَدْرَهٗ لِلْاِ سْلَا مِ فَهُوَ عَلٰى نُوْرٍ مِّنْ رَّبِّهٖ ۗ فَوَيْلٌ لِّلْقٰسِيَةِ قُلُوْبُهُمْ مِّنْ ذِكْرِ اللّٰهِ ۗ اُولٰٓئِكَ فِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ
“Artinya: Maka apakah orang-orang yang dibukakan hatinya oleh Allah untuk (menerima) agama Islam lalu dia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang hatinya membatu)? Maka celakalah mereka yang hatinya telah membatu untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Az-Zumar 39: Ayat 22).
Orang-orang beriman yang telah mendapatkan cahaya Allah swt memiliki keistimewaan tersendiri. Bila mereka berbuat maka pasti mendatangkan manfaat yang banyak, bila mereka berfirasat maka firasatnya itu bisa menjadi acuan dan pedoman dalam bertindak.
Rasulullah ﷺ Bersabda:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اتَّقُوا فِرَاسَةَ الْمُؤْمِنِ فَإِنَّهُ يَنْظُرُ بِنُورِ اللَّهِ
“Artinya: Dari Abu Sa’id Al Khudri berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: Takutlah pada firasat orang mu`min karena sesungguhnya ia melihat dengan cahaya Allah.” (HR: Tirmizi)
وقال عمرو بن نجيد: كان شاه الكرماني حادَّ الفراسة لا يخطئ، ويقول: من غض بصره عن المحارم، وأمسك نفسه عن الشهوات، وعمّر باطنه بالمراقبة، وظاهره باتباع السنة، وتعوّد أكل الحلال، لم تخطئ فراسته
“Artinya: Umru bin Najib berakata: Syah al-Karmani ialah orang yang memiliki firasat yang tajam yang jarang meleset, dan dia pun berkata: Siapa yang menjaga pandangannya dari perkara haram, menahan diri dari gejolak syahwat, memakmurkan batinnya dengan sifat muraqabah, mengikuti sunnah, makan yang halal maka firasatnya tidak akan salah.”
Ibnu Mas’ud ra berkata: Ada tiga macam firasat manusia.
Pertama, al-‘Aziz (Qithmir atau Ithfir bin Ruhaib) terhadap Yusuf.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَقَا لَ الَّذِى اشْتَرٰٮهُ مِنْ مِّصْرَ لِا مْرَاَ تِهٖۤ اَكْرِمِيْ مَثْوٰٮهُ عَسٰۤى اَنْ يَّـنْفَعَنَاۤ اَوْ نَـتَّخِذَهٗ وَلَدًا ۗ
“Artinya: Dan orang dari Mesir yang membelinya berkata kepada istrinya, Berikanlah kepadanya tempat (dan layanan) yang baik, mudah-mudahan dia bermanfaat bagi kita atau kita pungut dia sebagai anak.” (QS: Yusuf 12: Ayat 21)
Kedua, anak Nabi Sya’aib.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قَا لَتْ اِحْدٰٮہُمَا يٰۤاَ بَتِ اسْتَأْجِرْهُ ۖ اِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَـأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْاَ مِيْنُ
“Artinya: Dan salah seorang dari kedua (perempuan) itu berkata, Wahai ayahku! Jadikanlah dia sebagai pekerja (pada kita), sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil sebagai pekerja (pada kita) ialah orang yang kuat dan dapat dipercaya.” (QS: Al-Qasas 28: Ayat 26).
Ketiga, istri Fir’uan (Asiah)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَقَا لَتِ امْرَاَ تُ فِرْعَوْنَ قُرَّتُ عَيْنٍ لِّيْ وَلَكَ ۗ لَا تَقْتُلُوْهُ ۖ عَسٰۤى اَنْ يَّـنْفَعَنَاۤ اَوْ نَـتَّخِذَهٗ وَلَدًا وَّهُمْ لَا يَشْعُرُوْنَ
“Artinya: Dan istri Fir’aun berkata, (Dia) adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu. Janganlah kamu membunuhnya, mudah-mudahan dia bermanfaat kepada kita atau kita ambil dia menjadi anak, sedang mereka tidak menyadari.”(QS: Al-Qasas 28: Ayat 9).
Selain kata nur (cahaya) yang disebutkan di dalam al-Quran yang menjelaskan Rasulullah ﷺ , kata nur juga merujuk kepada makna al-Quran itu sendiri.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
اَوَمَنْ كَا نَ مَيْتًا فَاَ حْيَيْنٰهُ وَجَعَلْنَا لَهٗ نُوْرًا يَّمْشِيْ بِهٖ فِى النَّا سِ كَمَنْ مَّثَلُهٗ فِى الظُّلُمٰتِ لَـيْسَ بِخَا رِجٍ مِّنْهَا ۗ كَذٰلِكَ زُ يِّنَ لِلْكٰفِرِ يْنَ مَا كَا نُوْا يَعْمَلُوْنَ
“Artinya: Dan apakah orang yang sudah mati lalu Kami hidupkan dan Kami beri dia cahaya yang membuatnya dapat berjalan di tengah-tengah orang banyak, sama dengan orang yang berada dalam kegelapan, sehingga dia tidak dapat keluar dari sana? Demikianlah dijadikan terasa indah bagi orang-orang kafir terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS: Al-An’am 6: Ayat 122).
Imam Ibnu Katsir (w 744 H) dalam Tafsir al-Quran al-‘Azhim berkata: Nur yang dimaksud ayat ini ialah al-Quran. Ibnul Jauzi (w 597 H) dalam Zadul Muyassar fi Ilmi Tafsir berkata: Keberadaan cahaya (al-Quran) di tengah-tengah mereka itu sebagai petunjuk dan ilmu ke jalan yang lurus (Surga).
Nur bermakna Muhammad ﷺ dan Nur bermakna al-Quran berfungsi menyinari kehidupan manusia sehingga manusia mampu mengenal Allah swt yang ghaib. Jadi sesungguhnya Muhammad itu cahaya yang menerangi kehidupan manusia dan kitab yang dibawa juga cahaya untuk mengenalkan manusia kepada tuhannya.*/Wandi Bustami, penulis asatidz Tafaqquh Study Club