Hidayatullah.com | DARI an-Nu’man bin Basyir ra, ia berkata, “Rasulullah ﷺ mengatakan Muslim dengan Muslim lainnya bersaudara, ibarat satu tubuh. Satu bagian tubuh yang sakit, maka bagian tubuh lainnya akan merasakanya.Nabi ﷺ bersabda;
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِيْ تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اثْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمى
“Perumpamaan kaum mukminin dalam kecintaan dan kasih sayang mereka adalah bagaikan satu jasad, apabila satu anggota tubuh sakit maka seluruh badan akan susah tidur dan terasa panas.” (HR. Muslim 2586).
Arti kata taraahum, tawa’ad dan ta’aathuf, semuanya dari bentuk tafaa’ul yang mempunyai arti dasar: menarik keikutsertaan unsur-unsur yang tergabung dalam jamaah. Ketiga kata ini sebenarnya punya arti yang berdekatan.
Taraahum, saling mengasihi lantaran keterikatan dengan tali keimanan. Tawa’ad, hubungan timbal balik dengan antara beberapa pihak yang mengakibatkan tumbuhnya rasa mencintai. Dan, ta’aathuf berarti saling menguatkan sebagaimana potongan-potongan baju yang saling melekat kuat.
Rasulullah ﷺ mengumpamakan orang-orang mukmin itu dalam tiga sifat tersebut, seperti satu kesatuan tubuh. Jika dalam salah satu anggota tubuhnya merasakan sakit, maka seluruh tubuh akan merasakan sakit itu. Matapun sulit untuk dipejamkan sehingga mengakibatkan demam.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah ﷺ juga bersabda,
لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثِ لَيَالٍ
“Tidak halal bagi seorang Muslim untuk memboikot (tidak menyapa) saudaranya lebih dari 3 hari.” (HR. Bukhari 6237 dan Muslim 2560).
Hubungan mukmin dengan mukmin lain, juga ditetapkan Allâh Azza wa Jalla dalam firmannya;
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang Mukmin dan Mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS: al-Ahzâb [33]: 58).
Semestinya begitulah sosok seorang mukmin yang sejati. Bila salah satu dari mereka tertimpa musibah, maka seluruhnya akan merasakan musibah. Selanjutnya mereka saling memberi bantuan untuk meringankan beban musibah yang dialami saudaranya itu dengan bentuk pemberian yang terbaik.
Begitupun kebaikan yang dikaruniakan kepada seseorang di antara mereka dapat dirasakan oleh semuanya. Tidak malah sebaliknya, pada saat saudaranya ditimpa musibah hatinya senang bukan kepalang, sementara ketika saudaranya mendapatkan karunia, dengkinya (juga) bukan alang kepalang. Kebaikan dan kejelekan yang dirasakan oleh sesama mukmin mestinya turut diembannya dan dirasakan secara bersama.
Dalam hadits Rasulullah ﷺ di atas beliau memerintahkan kepada ummat Islam agar saling mengikatkan tali persaudaraan lebih kuat lagi. Terlebih pada saat sekarang di mana umat Islam terus-menerus diombang-ambingkan, dicibirkan, dianggap enteng, dijadikan obyek permainan, diobok-obok dan diolok-olok.
Memperhatikan saudara seiman pada saat ini berarti memperhatikan keselamatan diri kita sendiri. Sebab kebinasaan yang menimpa mereka cepat atau lambat bila kita tidak turut mengulurkan tangan, maka bukan hal mustahil akan menimpa kita pula. Musibah kebinasaan, akan menyusul dan menghampiri kita.
Hadits ini hendaknya juga menjadi pelajaran bagi mereka yang berusaha dengan sekuat tenaga untuk mendapatkan kemaslahatan individualnya meskipun harus mengorbankan kepentingan orang lain. Tidaklah hal itu dilakukan, kecuali oleh orang yang di dalam dadanya belum timbuh benih keimanan. Wallahu `alam.* [diambil dari Majalah Suara Hidayatullah)