Hidayatullah.com | Setelah Allah Ta’ala mengutuk Iblis dengan mengeluarkannya dari Surga karena ingkar, Iblis mencoba menawar dengan mengatakan, “Ya Tuhanku (Rabbi), berilah penangguhan kepadaku sampai hari (manusia) dibangkitkan (kiamat),” (Al-Hijr [15]: 36).
Dari perkataan Iblis ini kita menjadi paham bahwa ia sebenarnya sosok yang sangat mengenal Allah Ta’ala, bahkan membenarkan bahwa Allah Ta’ala adalah Rabb (Tuhan). Namun, iblis jelas tak masuk dalam kaum beriman. Tempatnya sudah ditentukan, yakni neraka.
Jadi, mereka yang mengenal Rabb-nya secara baik, belum tentu otomatis beriman. Ada hal lain yang harus ia penuhi agar bisa terkategori mukmin (beriman).
Perhatikan juga Fir’aun, Raja Mesir pada zaman Nabi Musa Alaihissalam (AS). Setelah melihat berbagai mukjizat yang diturunkan oleh Allah Ta’ala kepada Nabi Musa AS berupa tongkat yang berubah menjadi ular besar, tangan yang mengeluarkan cahaya, datangnya banjir, belalang, kutu, katak, darah, dan kekeringan, Fir’aun pun membenarkan bahwa Allah Ta’ala adalah Tuhan pemelihara langit dan bumi.
Ini diungkapkan oleh Allah Ta’ala dalam al-Qur’an surat Al-Isra’ [17] ayat 102 lewat perkataan Musa AS, “Sesungguhnya kamu (Fir’aun) telah mengetahui bahwa tiada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Tuhan yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata …”
Begitu juga di dalam surat al-A’raf [7] ayat 134, Fir’aun yang telah ditimpa berbagai musibah berkata kepada Musa, “Wahai Musa! Mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu sesuai dengan janji-Nya kepadamu. Jika engkau bisa menghilangkan azab itu dari kami, niscaya kami akan beriman kepadamu …”
Namun, Fir’aun tak pernah menjadi beriman meskipun berbagai bukti telah tampak di depan matanya. Lagi-lagi, mereka yang membenarkan bahwa Allah Ta’ala adalah Rabb, belum tentu otomatis menjadi mukmin. Masih ada sejumlah syarat lain agar mereka benar-benar bisa membuktikan bahwa ia telah beriman.
Para ulama, termasuk Imam Malik, as-Syafi’i, Ahmad, dan al-Auza’i, berpendapat bahwa iman bukan sekadar pembenaran oleh hati, namun juga pengakuan oleh lisan, dan pengamalan oleh anggota badan.
Seseorang yang telah banyak membaca fenomena alam semesta, boleh jadi telah menemukan bukti-bukti adanya Rabb sebagai pencipta semua itu. Namun, selama ia tak bersaksi secara lisan bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad SAW adalah utusan Allah, maka ia belum bisa disebut mukmin, bahkan belum juga muslim. Ia masih ingkar (kafir).
Demikian juga orang yang telah berikrar syahadat secara lisan namun tak pernah mengamalkan ajaran Islam, boleh jadi ia belum sepenuhnya beriman (mukmin), melainkan sekadar menjadi Muslim. Kisah orang-orang Arab pedalaman (badui) yang mengaku telah beriman namun dibantah oleh Allah Ta’ala dalam al-Qur’an surat al-Hujarat [49] ayat 14, adalah contoh yang nyata tentang ini.
Ayat tersebut berbunyi, “Orang-orang Arab badui berkata, ‘Kami telah beriman.’ Katakan kepada mereka, ‘Kamu belum beriman’, tetapi katakanlah, ‘Kami telah tunduk (Islam)’, karena iman belum masuk ke dalam hatimu …”
Jadi, iman yang sempurna membutuhkan ilmu, lalu membenarkannya di dalam hati, mengikrarkan secara lisan, dan membuktikannya dalam amal perbuatan. Wallahu a’lam. *