Hidayatullah.com | APA arti radikal? Belakangan istilah ini kembali marak dibicarakan masyarakat, namun dimaknai sebagai sesuatu yang negatif. Padahal, tidak seutuhnya seperti itu. Mari kita bahas!
Bila merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah radikal memiliki tiga makna. Pertama, secara mendasar, atau sampai kepada hal-hal yang prinsip. Misal, perubahan yang radikal.
Kedua, amat keras menuntut perubahan, baik undang-undang maupun pemerintahan. Lalu makna ketiga, maju dalam berpikir dan bertindak.
Dari ketiga definisi ini tampaknya makna radikal yang sering disebut-sebut belakangan lebih pas pada makna kedua yang terkesan negatif. Adapun makna pertama dan ketiga justru bermakna positif.
Jika radikal dimaknai hanya pada definisi kedua maka padanan kata yang agak pas dalam Islam adalah ghuluw atau tatarruf. Artinya berlebihan atau ekstrim dalam beragama.
Memang, Islam mengajarkan kepada umatnya untuk tidak berlebih-lebihan dalam beragama. Rasulullah ﷺ bersabda;
وَإِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمُ الْغُلُوُّ فِي الدِّينِ
“Jauhkanlah diri kalian dari berlebih-lebihan dalam agama. Sesungguhnya berlebih-lebihan dalam agama telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.” (HR: Ibnu Hibba)
Lalu, apakah benar istilah radikal yang marak belakangan ini sama dengan ghuluw? Mari kita simak pendapat pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh Kementrian Agama.
Pada akhir 2019, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah menggelar acara Silaturahim Nasional Forum Ukhuwah Islamiyah. //Penulis// ikut dalam acara tersebut. Dalam acara itu, Wakil Menteri Agama, Zainuttauhid, menjelaskan definisi radikal.
Menurut Zainuttauhid, pemerintah telah membuat kriteria tentang paham radikal. Ada tiga kriteria.
Pertama, jika suatu paham menistakan nilai-nilai kemanusian. Misalnya, bertindak anarkhis dan membahayakan orang lain, apalagi sampai melakukan bom bunuh diri. Tindakan seperti itu terkategori radikal.
Kedua, jika ada paham yang mengingkari kesepakatan nasional. Apa itu kesepakatan nasional? Misalnya, kata Zainuttahid, menentang Pancasila dan NKRI yang telah menjadi kesepakatan bersama termasuk para pendahulu kita.
Lalu ketiga, jika ada paham yang merasa paling benar dan intoleran, maka ia juga terkategori radikal. Misalnya, kelompok yang suka mengkafirkan orang lain, seakan-akan cuma kelompoknya sendiri yang masuk surga.
Itulah macam-macam makna radikal. Semoga kita tidak termasuk dalam makna yang negatif. Cukup yang positif saja.*