Lanjutan ARTIKEL sebelumnya
Oleh: Alwi Alatas
Era Shalahuddin al-Ayyubi dan Kemunduran Syiah
Pada pertengahan abad ke-12, masyarakat Sunni di Suriah semakin kuat dan bersatu di bawah pemerintahan Nuruddin Mahmud bin Zanki (w. 1174), sementara Dinasti Fatimiyah terus mengalami kemerosotan. Politik Fatimiyah sangat tidak stabil, para wazir naik dan turun silih berganti dalam waktu cepat, dan proses suksesi selalu diikuti tindak kekerasan dan pertumpahan darah. Ketika pada tahun 1160-an orang-orang Frank (tentara salib) berambisi untuk menguasai Mesir, Nuruddin terpaksa mengambil langkah yang sama. Bagaimanapun, tentara Nuruddin masuk ke wilayah Mesir beberapa kali atas permintaan pemimpin Mesir sendiri, termasuk Khalifah Fatimiyah yang terakhir, al-Adid (w. 1171). Kompetisi memperebutkan Mesir ini akhirnya dimenangkan oleh Nuruddin yang pasukannya ketika itu dipimpin oleh Asaduddin Shirkuh (w. 1169) dan keponakannya, Shalahuddin al-Ayyubi (w. 1193). Shirkuh meninggal dunia tak lama setelah menguasai Mesir dan kedudukannya segera digantikan oleh Shalahuddin yang umurnya baru sekitar 32 tahun.
Shalahuddin diangkat sebagai wazir Mesir oleh Khalifah Fatimiyah, walaupun pada saat yang sama ia juga merupakan salah seorang anak buah Nuruddin. Shalahuddin berhasil menghadapi pemberontakan dari sisa-sisa kekuatan politik Fatimiyah dan secara bertahap melakukan pergantian birokrasi pemerintahan dari kalangan Syiah kepada kalangan Sunni. Proses ini berjalan selama dua tahun, antara tahun 1169 dan 1171, dan pemerintahan Fatimiyah yang sudah terlalu mundur itu secara perlahan tapi pasti berkembang menjadi pemerintahan yang lebih kuat dan stabil. Walaupun demikian, Kekhalifahan Fatimiyah sendiri tidak serta merta dihapuskan, karena Shalahuddin khawatir masih ada banyak orang di Mesir yang secara diam-diam mendukung Kekhalifahan Fatimiyah. Khalifah Abbasiyah di Baghdad dan Nuruddin di Damaskus beberapa kali mendesak Shalahuddin agar segera menghapus Dinasti Fatimiyah dan membacakan doa secara resmi untuk Khalifah Abbasiyah pada waktu shalat Jum’at.
Shalahuddin masih merasa bimbang dan mencari waktu terbaik untuk menjalankan hal itu ketika sebuah jalan terbuka baginya. Al-Adid, Khalifah Fatimiyah, mengalami sakit keras. Shalahuddin mengumpulkan para emirnya dan meminta pendapat mereka tentang rencana penghapusan Dinasti Fatimiyah. Sebagianemir bawahan Shalahuddinternyata masih merasa khawatir terhadap kemungkinan perlawanan rakyat Mesir jika hal itu dilaksanakan, walaupun mereka juga merasa tidak mampu menolak perintah Nuruddin.
Saat Shalahuddin dan para emirnya sedang menimbang-nimbang, seorang ulama Persia yang sedang berada di Mesir mengambil sebuah tindakan. Ia melakukan inisiatif pribadi untuk memberikan doasecara terbuka bagi Khalifah Abbasiyah. Hal ini ia lakukan pada hari Jum’at pertama di bulan Muharram 567 H, yang bertepatan dengan 3 September 1171 M. Sebelum khatib menaiki mimbar, ulama ini berdiri di mimbar dan membacakan doa bagi al-Mustadi’ bi Amr Allah, Khalifah Abbasiyah ketika itu. Ternyata tidak ada satu pun orang yang memprotes perbuatannya tersebut.
Maka pada hari Jum’at kedua di bulan Muharram(10 September 1171), Shalahuddin memerintahkan para khatib Jum’at di Kairo Lama dan Kairo Baru untuk tidak lagi membacakan doa bagi al-Adid dan menggantinya menjadi doa bagi Khalifah Abbasiyah. Para khatib melaksanakan hal ini dan tidak ada seorang pun yang memprotesnya, apalagi sampai melakukan pemberontakan. Pada hari-hari Jum’at berikutnya, pergantian doa khutbah ini dijalankan ke seluruh negeri Mesir. Hal ini menandai berakhirnya secara resmi Kekhalifahan Fatimiyah yang telah berlangsung selama lebih dari satu setengah abad. Al-Adid yang sedang sakit parah tidak mengetahui bahwa kekhalifahannya telah dihapus.
Anggota keluarga al-Adid memutuskan untuk tidak memberitahunya tentang hal itu. “Jika ia sembuh, maka ia akan tahu dengan sendirinya,” kata mereka, “Tapi jika ia akan meninggal dunia, maka tidak tepat untuk membebaninya dengan perubahan keadaan ini sebelum kematiannya.” Al-Adid ternyata memang meninggal dunia pada minggu kedua di bulan Muharram itu juga, tepatnya pada tanggal 13 September 1171 M, yang bertepatan dengan hari Asyura (10 Muharram). Ia meninggal dunia tanpa mengetahui apa yang telah terjadi pada kekhalifahan dan tanpa adanya penerus kekuasaannya. Tanggal-tanggal di atas adalah menurut penuturan Ibn al-Athir dalam al-Kamil fil Ta’rikh. Adapun menurut Ibn Khallikan dalam Wafayat al-A’yan, al-Adid wafat pada hari Senin tanggal 12 Muharram.
Saat mendengar wafatnya al-Adid, Shalahuddin berkata, “Kalau kami mengetahui bahwa ia akan meninggal dunia pada waktu ini, kami tidak akan menyedihkannya dengan menghapuskan namanya pada khutbah Jum’at.” Shalahuddin memang seorang yang berjiwa lembut, bahkan terhadap lawan-lawannya sekalipun. Namun kata-katanya ini dibantah oleh al-Qadi al-Fadil, seorang sekretaris di pemerintahan Fatimiyah yang kemudian menjadi sekretaris dan penasihat utama Shalahuddin. “Tapi kalau ia mengetahui bahwa Anda tidak jadi menghilangkan namanya dalam khutbah Jum’at, mungkin ia tidak jadi meninggal dunia,” kata al-Qadi al-Fadil.
Setelah wafatnya al-Adid, keluarganya dipindahkan oleh Shalahuddin ke sebuah tempat di istana dan keperluan mereka diurus oleh beberapa penjaga. Sementara istana Fatimiyah diambil alih oleh Shalahuddin. Seluruh kekayaan yang ada di istana itu dikumpulkanyang jumlahnya sangat banyak. Di antara harta yang ada di Istana itu, sebagaimana disaksikan sendiri oleh Ibn al-Athir,adalah sebuah batu ruby yang beratnya sama dengan 17 keping dirham. Semua benda-benda berharga itu dijual. Budak-budak istana, laki-laki dan perempuan, sebagian diberikan kepada orang-orang, sebagian dibebaskan, dan sebagian lainnya dijual. Shalahuddin tidak mengambilnya sedikit pun dari harta benda di istana itu untuk dirinya sendiri. Semua masuk dalam kas negara dan digunakan sesuai dengan yang dibenarkan oleh syariah.
Dinasti Fatimiyah berakhir bukan melalui aksi kekerasan atau kedzaliman oleh Shalahuddin al-Ayyubi, tetapi disebabkan kemundurannya sendiri yang telah berlaku sejak beberapa dekade sebelumnya. Masyarakat Mesir sendiri tidak memprotes penghapusan Dinasti Fatimiyah dan memberikan dukungan kepada Shalahuddin disebabkan pemerintahan Shalahuddin yang baik dan karena kemampuannya dalam menjaga wilayah Mesir dari ancaman orang-orang Frank. Mereka juga menyintai Shalahuddin karena sifat zuhud dan sifat dermawan yang dimilikinya. Ia menghapus berbagai bentuk pajak di negeri itu dan banyak membagi-bagikan harta kepada masyarakat.
Hampir dua dekade kemudian, yaitu pada tahun 1189 M ketika Shalahuddin sedang menghadapi Perang Salib III di Suriah, ada dua belas orang Syiah di Mesir yang berusaha melakukan pemberontakan. Mereka memanfaatkan ketiadaan Shalahuddin dan minimnya pasukan di Mesir untuk memprovokasi masyarakat agar memberontak. Pada suatu malam, mereka melalui lorong-lorong kota Kairo dan berseru, “Wahai keluarga Ali, wahai keluarga Ali.” Namun, setelah mereka melakukannya selama beberapa saat, tak ada satu orang pun yang keluar untuk mendukung mereka. Mereka akhirnya ketakutan sendiri karena rencana mereka gagal total dan lari menyembunyikan diri. Namun, tak berapa lama kemudian mereka berhasil ditangkap.
Ketika berita ini sampai di telinga Shalahuddin, ia sempat merasa khawatir terhadap keadaan di Mesir. Namun al-Qadi al-Fadil menenangkannya. “Anda seharusnya merasa gembira karena hal ini, bukannya sedih atau khawatir, karena (sekarang) Anda telah mengetahui bahwa rakyat Anda menyintai Anda di dalam hatinya dan setia (pada Anda) serta meninggalkan segala kecenderungan terhadap musuh Anda,” kata al-Qadi al-Fadil. Apa yang dikatakan oleh al-Qadi al-Fadil memang benar. Masyarakat Mesir menghargai apa yang telah dilakukan oleh Shalah al-Din serta pemerintahannya yang baik. Pemerintahan Fatimiyah atau yang semisal dengannya tidak pernah muncul lagi di Mesir sejak keruntuhannya pada tahun 1171 M.*/Jakarta, 1 Muharram 1435/ 5 November 2013
Penulis adalah penulis buku “Nuruddin Zanki dan Perang Salib” kolumnis hidayatullah.com, kini sedang mengambil program doktoral bidang sejarah di Universiti Islam Antarabangsa, Malaysia
Daftar Pustaka
Ibn al-Athir. The Chronicle of Ibn al-Athir for the Crusading Period from al-Kamil fi-l-Ta’rikh, part 2, The Years 541-589/ 1146-1193: The Age of Nur al-Din and Saladin. Farnham: Ashgate. 2010.
Ibn Khallikan. Ibn Khallikan’s Biographical Dictionary, vol. I (diterjemahkan dari Wafayat al-A’yan oleh B Mac Guckin de Slane). Paris: Oriental Translation Fund of Great Britain and Ireland. 1843.
Klemm, Verena. Memoirs of a Mission: The Isma’ili Scholar, Statesman and Poet al-Mu’ayyad fi’l-Din al-Shirazi. London: I.B. Tauris. 2003.
Qutbuddin Tahera.Al-Mu’ayyad al-Shirazi and Fatimid Da’wa Poetry. Leiden: Brill. 2005.