oleh: Nugra Abu Fatah
NAMA putera ketigaku Ghofiqy al Ghifary Grania. Kata Ghofiqy saya ambil dari kekaguman pada sosok panglima 1300 silam di Andalusia (Spanyol).
Ia adalah Gubernur Abdurrahman al-Ghafiqy yang sekaligus pemimpin tertinggi Andalusia di tahun 732 M. Hanya 20 tahun setelah penaklukkan Thariq bin Ziyad-Musa bin Nushair, seluruh kerajaan di sekitarnya sudah tunduk total pada kerajaan Islam di Andalusia.
Gubernur Abdurrahman al-Ghafiqy adalah pimpinan Andalusia yang terkenal paling berpengaruh, adil, shaleh, dan cakap.
Berawal dari sebuah gangguan pengkhianatan di perbatasan Andalusia dan kerajaan Romawi (Frank) sehingga al Ghofiqy mengirimkan sekitar 20.000 pasukan kavaleri (berkuda) menuju Timur Laut (mengarah ke Prancis saat ini). Selesai menaklukkan kerajaan kecil tersebut, sang raja musuh melarikan diri, al Ghofiqy mengejar sekaligus bertekad menuju ke jantung Eropa, mengarah ke Paris di utara.
Karena menggunakan kavaleri sehingga pergerakan alGhafiqy sangat cepat tanpa halangan. Namun pasukan membawa ghonimah (harta rampasan) yang tak sedikit dari kerajaan kecil yang ditaklukkan, menjadi beban di kemudian hari.
Mendengar kedatangan pasukan Muslim, Raja Romawi Charles Martil mengumpulkan pasukan gabungan seluruh Romawi (Eropa, semacam NATO) dari wilayah Frank, Prussia (German), Austria dan lain-lain.
Pasukan Charles hanya terdiri dari infanteri besar dengan sedikit kavaleri.
Charles mengambil posisi di perbukitan/lereng sementara al Ghafiqy di pedataran luas di Poitier, yang hanya berjarak ratusan kilometer dari Paris.
Berhari-hari konflik kecil terjadi antar dua pasukan. belum hendak gegabah menerjang musuh di posisi tinggi.
Sampai di hari penentuan, al Ghafiqy menyerang bersama puluhan ribu Muslimin seperti air bah menghantam karang.
Charles selalu mengambil posisi bertahan, dan, melakukan taktik mengalihkan kekuatan Muslim. Charles mengirim pasukan kecil untuk berpura-pura merampok ghonimah Muslim di kemah belakang.
Mendengar hal tersebut, pasukan Muslim terpecah menjadi dua dan di saat genting tersebut sebuah panah musuh melesat dan menancap di leher al Ghafiqy yang berjihad di barisan depan. Ia jatuh dan syahid. Pertempuran reda memasuki malam.
Ketiadaan pemimpin pengganti (kaderisasi) menyebabkan pasukan Muslim memilih mundur di malam harinya.
Perang yang disebut sebagai salah satu perang yang menentukan dalam sejarah Eropa tersebut dikenal dengan peristiwa Perang Balath Syuhada, (rumah para syuhada) karena tidak sedikit Muslimin yang syahid pada perang menentukan tersebut.
Perang yang terjadi bulan Syaban 114 H (bertepatan Oktober 732 M), dikenal orang Barat dengan The Batle of Tours.
Balath adalah sebuah daerah di selatan Poiters, melewati Tours Utara, dekat dengan wilayah Rumania.
Dalam bukunya Famous Men of the Middle Ages John H. Haren Perang Tours merupakan salah satu perang yang menentukan di dunia. Perang yang menentukan bahwa Kristenlah yang akhirnya menguasai Eropa, bukan Islam.” Perang yang menentukan nasib Eropa, tapi pernahkah kita mendengar tentang Balath Syuhada ini? Sejarawan yang berada di pihak yang kalah umumnya akan menutup rapat sejarah kekalahannya, inilah yang kita sayangkan, peristiwa besar ini tidak banyak terekspos dalam literature kita, sementara begitu banyak ibrah dan inspirasi yang dapat kita peroleh dari peristiwa Balath Syuhada ini.
Gibbon menyatakan bahwa salah satu penyebab kekalahan muslimin adalah karena Abdurrahman tidak mengetahui kondisi alam daerah yang baru dimasukinya dan kelemahan intelijen sehingga tidak mengetahui persis kekuatan lawannya. Namun yang tak kalah jauh penting dari hal itu adalah faktor melemahnya ruhiyah muslimin.
Sejarawan Barat berpendapat andaikata Muslim menang saat itu maka sudah pasti Eropa menjadi Islam.
Charles Martil seratus tahun kemudian mewarisi cucu Charlemagne pemimpin besar Romawi yang mendapat kiriman hadiah jam, gajah dan lain-lain oleh Harun al Rasyid. Hadiah yang membuat takjub bangsa Romawi akan kemajuan peradaban Islam.*
Penulis buku “Panglima Surga”. Twutter @nugrazee