Melalui spirit tajdid, ‘trio mujadid’ – KH Ahmad Dahlan, Syaikh Ahmad Surkati dan Tuan Guru Ahmad Hasaan—mampu mengubah kejumudan melalui edukasi lewat sekolah, buku, media dan forum dialog
Hidayatullah.com | MENGUTIP ungkapan dosen Universitas Muhammadiyah HAMKA, Desvian Bandarsyah yang diambil berdasarkan teori Sidney Hook dalam The Hero in History, bahwa ada dua jenis manusia yang berhubungan dengan sejarah, yaitu ‘eventful man’ dan ‘event-making man’. Yang pertama adalah ‘manusia dalam peristiwa’ dan yang kedua adalah ‘manusia sebagai pencipta peristiwa’.
Dari teori Sidney Hook di atas, ‘event-making man’ memiliki derajat kebebasan dan kemampuan yang tinggi, sehingga mereka tidak disukai oleh peristiwa, melainkan telah menciptakan sebuah peristiwa dan membelokkan arah sejarah, sehingga tercipta sejarah baru.
Dalam catatan sejarah bangsa Indonesia, kita bisa mengidentifikasi sejumlah nama tokoh yang dapat dikategorikan sebagai ‘event-making man’, termasuk antaranya adalah tokoh-tokoh para pembaharu Islam seperti pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan, pendiri Al-Irsyad Al-Islamiyyah Syaikh Ahmad Surkati dan Guru Utama Persatuan Islam Tuan Ustadz Ahmad Hasaan.
Ketiga orang tokoh yang dilebeli sebagai ‘Trio Mujaddid Abad 19 itu, berhasil melakukan perubahan mendasar terhadap cara pandang dan pola pikir keagamaan umat Islam dari belenggu kebodohan, kemiskinan dan penjajahan.
Sebagai motor penggerak pembaharuan Islam, terutama yang berpusat di tanah jawa dengan basis wilayah masing-masing, tempat dimana mereka mulai merintis ide-idenya.
Ketiga orang pencipta peristiwa itu sama-sama harus berhadapan dengan banyak pihak yang tidak menyukainya, terutama dari lingkungan disekitarnya yang telah mengadaptasikan kehidupannya dengan tradisi-tradisi dan kondisi yang ada selama lebih dari ratusan tahun.
Ide dan gagasan ‘Trio Mujaddid’ itu dilakukan dengan cara yang tidak biasa, melalui sebuah pergerakan terorganisir yang dianggap asing di zamannya masa itu.
Spirit ayat 104 dalam Kitabullah pada Surat Ali Imran sama-sama menjadi pemicu dan motto ketiga organisasi pembaharuan Islam yang dirintisnya tersebut yang membersamai mereka dalam melawan berbagai tantangan dan rintangan yang dihadapinya.
Spirit tajdid terutama dalam gerakan pemurnian ajaran Islam, membersihkan unsur-unsur jumud dan taqlid buta umat terhadap pemahaman yang sulit dirubah, mampu dirubah oleh Trio Mujaddid melalui edukasi lewat sekolah, buku, media dan forum dialog.
Tidak sedikit lawan yang bertekuk lutut dan terbuka cakrawala berfikirnya dari sikap dan sifat jumud menjadi dinamis, setelah adu ketangkasan berbicara yang mempersejantai mereka dalam berdakwah dari ilmu mantiq yang terkuasainya.
Edukasi berdialog dan berdebat secara terbuka seperti buku verslag debat tentang taqlid di Gebang, jarang dan bahkan sudah tidak lagi peristiwa itu akan kita jumpai di masa sekarang ini.
Para ‘Trio Mujaddid’ melalui pergerakan yang dirintisnya, Muhammadiyah di Yogyakarta 1912, Al-Irsyad Al-Islamiyyah di Jakarta 1914 dan PERSIS di Bandung 1923, telah menampilkan Islam modern yang mampu mengubah peristiwa melalui edukasi, termasuk menciptakan kader yang mumpuni dalam bidang ilmu mantiq.
Pada dekade tahun 1920an, Syeikh Surkati bersama murid-murid utamanya tampil dalam forum terbuka yang berbicara tentang konsepsi berbangsa dan bernegara saat berhadap-hadapan dengan Semaun yang berhaluan kiri.
Demikian juga dalam permasalahan-permasalahan agama dengan ulama-ulama dari kalangan konservatif, tapi uniknya usai perdebatan, nara sumber yang saling berhadap-hadapan itu, satu sama lain saling menunjukan rasa hormat dan mengagumi keilmuan satu sama lain secara objektif.
Semoga saja ada kesadaran dari semua anak keturunan idiologis ‘Trio Tajdid’ yang ketiganya sama-sama bernama Ahmad dan juga dikenal sebagai jagonya ‘ahli’ debat, dapat melahirkan kembali kader-kader ahli mantiq, dalam makna yang dalam dan bukan yang sempit, debat bukan untuk menjatuhkan lawan bicara dan untuk mencari pemenangan, tapi membangun kesadaran berfikir agar lawan bicara kembali kepada jalan yang lurus.
Karena dalam merintis pergerakan Islam lewat jumiyyah (organisasi) yang dibentuknya, Trio Mujaddid berusaha dan berupaya memberikan pandangan bahwa ajaran Islam bukan sekedar sebagai aqidah dan ibadah semata, tetapi merupakan kesempurnaan ajarannya yang menyangkut akhlaq dan muamalah.*/Abdullah Abubakar Batarfie, Ketua Pusat Dokumentasi & Kajian Al-Irsyad Bogor